Kelas Haikal dan Naren itu bersebelahan, sedangkan Naren dan Juan itu sekelas. Jadi, bila ingin bermain bersama, tinggal jalan sebentar saja.Â
Waktu sudah menunjukkan pukul 10 pagi, masing-masing walikelas datang dan siap memberi rapot hasil perjuangan murid-muridnya, para orang tua murid pun sudah banyak yang datang. Begitu pun dengan Bu Ina, yang kebetulan sedang tidak terlalu sibuk.Â
Saat nama Narendra Drayasa terpanggil, Bu Ina langsung berdiri dan maju ke depan. Naren menatap guru sekaligus tetangganya itu sedang membuat wajah terkejut dengan alis mengkerut.Â
Setelah beberapa menit, Bu Ina mendatangi Naren dan mengajaknya untuk pulang. Tapi Naren menolak dan meminta untuk melihat hasil rapotnya terlebih dahulu, baru ia mau pulang. Dengan terpaksa, Bu Ina memberi rapot tersebut padanya.Â
Naren membuka rapotnya, lembar demi lembar dan melihat hasilnya. Dia terdiam, bagaimana tidak? Semua mata pelajaran yang ia pelajari dapat C, dan hanya ada 1 yang dapat B.Â
Ryan yang merupakan teman sekelas Naren bersama Juan, mengintip isi rapotnya berkata, "Buset Na, Nilai lo C semua, lagian sih lo disuruh bikin sejarah malah pake rumus fisika, ya gitu tuh. " Ucap Ryan dengan nada ketus.Â
"Tau tuh, disuruh bikin matematika malah nulis gombalan, tapi nggak apa-apa Na, nilai lo nggak ada yang D, aman." Lanjut Juan.Â
"Iya, " Naren hanya menganggukkan kepalanya dan berjalan keluar kelas untuk pulang, disusuli oleh Bu Ina.Â
Diperjalanan, Bu Ina meminta agar mampir ke taman kota. Mereka duduk di kursi taman sembari menikmati pemandangan sekitar.Â
Tiba-tiba Bu Ina berkata pada Naren, "Nilai tidak menentukan bagaimana dirimu, Na. Kamu tidak bodoh, kepintaran yang ada dalam dirimu itu tidak berdasarkan nilai yang kamu dapatkan. Tak apa mendapatkan nilai rendah, asal kamunya tetap berakhlak mulia. "
"Ibu benar, tapi gimana cara Naren jelasinnya ke ayah? Ayah pasti kecewa, bu, " Naren menunduk untuk menutupi raut wajah kesedihannya.Â