Pada zaman kebangkitan Islam (abad VII-XII M), hampir semua sarjana muslim saat itu tidak merasa cukup hanya dengan menguasai satu cabang ilmu pengetahuan saja. Kecenderungan seperti ini merupakan sebuah kebiasaan para tokoh Islam dalam rangka meningkatkan kualitas diri sekaligus sebagai upaya untuk memajukan Islam. Hal ini dilatarbelakangi oleh dasar dan pandangan Islam sendiri terhadap eksistensi dan pentingnya penguasaan berbagai disiplin ilmu pengetahuan.
Ada juga di dalam sebuah pemikiran tidak terlepas dari yang namanya filsafat yang dimana filsafat pemikirian ini memiliki banyak pemikiran salah satunya adalah pemikiran pendidikan. Dan di dalam pemikiran pendidikan ini ada salah seorang tokoh yang cukup ahli dan terkenal yaitu Ibnu Sina. Beliau ini adalah ahli filsafat pendidikan yang cukup terkenal. Pendidikan adalah suatu kebutuhan yang penting bagi manusia. Pendidikan juga merupakan hal yang paling mendasar dimana dalam pendidikan kita akan mengenal yang namanya ”belajar”, yang dimana belajar ini juga merupakan suatu hal yang awalnya kita tidak bisa menjadi bisa.
Artikel ini akan membahas tentang fenomena tersebut, dan mengulas tentang pandangan dan pemikiran pendidikan Ibnu Sina, kontribusi Ibnu Sina di dalam pendidikan islam serta juga mengetahui tujuan adanya pendidikan dari Ibnu Sina. Dengan memahami konteks ini, kita dapat banyak mengetahui bagaimana pemikiran pendidikan oleh tokoh Ibnu Sina.
Pandangan dan Pemikiran Pendidikan Oleh Ibnu Sina
Pada masa periode klasik ini sejumlah ulama besar dan banyak yang muncul seperti Imam Maliki, Imam Abu Hanifah, Imam Syafi’i dan Imam Ibn Hambal ini ahli di dalam bidang fiqih dan ulama lain sebagainya. Nah, Ibnu Sina ini adalah sebagai salah satu ulama’ besar yang muncul pada masa periode ini. Ibnu Sina nama lengkapnya adalah Ali al-Husien bin Abdullah al- Hasan bin Ali bin Sina. Beliau dilahirkan di desa Afsyanah, dekat Bukhara, di kawasan Asia Tengah pada tahun 370 H dan meninggal dunia di Hamadzan pada tahun 428 H (1038 M) dalam usia 57 tahun.
Pada usia 16 tahun beliau telah banyak menguasai ilmu pengetahuan, sastra Arab, fikih, ilmu hitung, ilmu ukur, dan filsafat. Bahkan ilmu kedokteran pun beliau dipelajarinya sendiri. Pada usia 18 tahun ia telah berprofesi dalam berbagai bidang yaitu sebagai guru, penyair, filsuf, pengarang, dan seorang dokter termasyhur sehingga diundang untuk mengobati sulthan Samani di Bukhara yaitu Nuh ibn Mansur. Kemudian ia diberi kesempatan oleh sultan untuk menelaah buku-buku yang tersimpan di perpustakaan. Dengan daya ingatnya yang luar biasa itu ia mampu menghafal sebagian besar isi kitab-kitab tersebut.
Ibnu Sina ini juga memberikan sumbangan yang sangat besar terutama di bidang filsafat, yang tidak pernah lepas dari pengaruh filsafat yunani sebagai pijakan filsafat dunia melalui pemikiran Plato dan Arsitoteles yang kemudian dikemas oleh Ibnu Sina dengan memasukkan nilai-nilai yang berunsur islam di dalamnya.
Membahas tentang pendidikan, tentu tidak terlepas dari kajian tentang hakikat manusia. Di dalam hal pendidikan juga, kontribusinya tidak terbatas pada pengembangan ilmu pengetahuan. Ibnu Sina sangat menyadari bahwa betapa pentingnya pendidikan untuk membangun pemikiran rasional dan ilmiah. Beliau percaya bahwa pendidikan adalah kunci untuk membangun masyarakat yang maju dan orang-orang yang bijaksana.
Pandangan seseorang terhadap manusia akan berpengaruh terhadap konsep-konsep pendidikan yang ia kemukakan. Demikian oleh Ibnu Sina, beliau juga memiliki pandangan tentang hakikat manusia dan bahkan dalam kajian filsafat, pembahasan tentang Ibnu Sina tidak pernah terlepas dari pemikirannya tentang manusia, khususnya tentang konsep jiwa. Namun secara garis besar, manusia terdiri dari unsur jasmani dan rohani. Keduanya ini mesti saling dipelihara dalam kelangsungan hidup di dunia ini. Demikian juga dengan Ibnu Sina, meskipun ia sebagai seorang dokter yang mengkaji tentang organ tubuh manusia secara jasmani, tetapi ia juga memiliki pemikiran yang unik tentang jiwa.
Ibnu Sina membagi jiwa dalam tiga bagian, yaitu jiwa tumbuh-tumbuhan, hewan, dan manusia. Hanya saja Ibnu Sina menguraikan lebih rinci, dan tentunya sesuai dengan ajaran yang terkandung dalam al-Qur’an. Adapun pembagian jiwa tersebut adalah:
A. Jiwa tumbuh-tumbuhan (nabatîyah). Daya ini terbagi tiga macam, yaitu ghadzîyah (makan); munmîyah (tumbuh); muwallidah (mereproduksi). Daya jiwa nabatîyah ini adalah jiwa terendah dari dua jiwa yang lain.
B. Jiwa binatang (hayawanîyah). Daya jiwa ini terdiri dari dua macam, yakni:
1) Daya jiwa hayawanîyah muhrikah (menggerakkan) sesuai dengan tuntutan daya-daya keinginan
2) Daya jiwa hayawanîyah mudrikah (menanggapi); ialah jiwa menangkap dari penginderaan terhadap rangsangan-rangsangan yang datang dari luar, dan yang datang dari dalam jiwa atau dalam dirinya sendiri.
C. Jiwa manusia (insânîyah), yang disebut juga alnafs al-nâthiqât, mempunyai dua daya, yaitu:
1) daya praktis (al-’âmilah), hubungannya dengan jasad. Daya jiwa al-’âmilah disebut juga al-’aql al-’amali (akal atau intelegensia praktis), yakni daya jiwa insani yang punya kekuasaan atas badan manusia yang dengan daya jiwa inilah manusia melaksanakan perbuatanperbuatan yang mengandung pertimbangan dan pemikiran yang membedakan dia dengan binatang
2) daya teoretis (al-’âlimah) hubungannya dengan hal-hal yang abstrak. Daya jiwa al-’âlimah disebut juga “aql alnazhari” (akal intelegensia teoretis), daya jiwa ini menemukan konsep-konsep umum yang ditimbulkan dari materi. Daya teoretis ini mempunyai beberapa tingkatan akal, yaitu; a) al-’aql bi al-quwwâb, yaitu intelegensia yang berkembang disebabkan proses interaksi dengan lingkungannya baik melalui proses belajar mengajar ataupun pengalaman. di dalamnya juga terdapat; a) al-aql alhayulanî (akal materil), al-’aql al-malakât, (kebenaran aksioma) dan al-aql bi al-fi’l, (akal aktual); b) al-‘aql al-mustafâd (konsepsi rasional). Jadi, akal seperti inilah yang dapat berhubungan dan menerima limpahan ilmu pengetahuan dari akal aktif.
Menurut Ibnu Sina, untuk meningkatkan kualitas jiwa dan akal manusia, diperlukan latihan-latihan berupa penelitian dan pendidikan. Dari konsep ini, terlihat jelas peran penting pendidikan bagi pengembangan diri manusia. Beliau juga menjelaskan bahwa sifat seseorang bergantung pada jiwa mana dari ketiga jiwa itu yang berpengaruh pada dirinya.
Kontribusi Ibnu Sina Didalam Pendidikan Islam
Pendidikan Islam bertujuan untuk perbaikan lebih lanjut sikap memanifestasikan dirinya dalam tindakannya, baik dalam hubungannya dengan diri sendiri maupun orang lain. di samping itu, Pendidikan Islam tidak hanya teoritis tetapi juga praktis, Ajaran Islam tidak memisahkan iman dan cinta keagamaan Oleh karena itu pendidikan Islam mencakup pendidikan iman dan amal. Ibnu Sina juga membahas dimensi pendidikan Islam menurut perspektif beliau. Berikut ini adalah :
1. Dimensi Kurikulum Pendidikan
Ibnu Sina menekankan pentingnya kurikulum untuk mencapai tujuan pendidikan. Kurikulum awal yang disarankan adalah pembelajaran Al-Qur'an dengan pendekatan bertahap dan sistematis.
2. Dimensi Metode Pendidikan
Metode pembelajaran mencakup talqin, demonstrasi, adat, teladan, diskusi, dan hukuman yang bijaksana. Metode harus disesuaikan dengan karakteristik siswa dan fleksibel untuk memenuhi kebutuhan mereka.
3. Dimensi Pendidik
Guru menurut Ibnu Sina haruslah cerdas, berpengetahuan luas, memiliki akhlak mulia, dan memahami dunia anak. Guru yang kompeten dan beretika dapat memberikan dampak positif pada siswa.
4. Dimensi Peserta Didik
Pendidikan harus memperhatikan potensi fisik, mental, dan moral siswa, dengan tujuan membentuk insan kamil. Siswa juga didorong untuk menghormati guru dan menjaga etika dalam proses belajar.
5. Dimensi Hukuman
Hukuman lebih difokuskan pada disiplin yang dilakukan dengan lembut dan hati-hati, bukan hukuman fisik, untuk mendukung pembentukan karakter yang baik.
Dapat kita simpulkan bahwa dimensi pendidikan Ibnu Sina bertujuan menciptakan manusia yang seimbang dalam pengembangan seluruh potensinya, baik secara fisik, mental, maupun moral. Pendekatan ini relevan untuk memperkuat pendidikan Islam, termasuk di era modern ini.
Tujuan Di bentuknya Pendidikan Islam Ibnu Sina
Mengenai tujuan pendidikan menurut Ibnu Sina adalah bahwa pendidikan harus diarahkan pada pengembangan potensi manusia secara menyeluruh dan seimbang, meliputi aspek fisik, intelektual, sosial, dan spiritual. Tujuan pendidikan menurut Ibnu Sina adalah untuk mencapai kebahagiaan dunia dan akhirat. Kebahagiaan ini bertingkat, mulai dari kebahagiaan individu, rumah tangga, masyarakat, hingga kebahagiaan manusia secara keseluruhan, yang berpuncak pada kebahagiaan akhirat.
Pendidikan juga dipandang sebagai sarana membentuk manusia berakhlak mulia yang mampu menjalankan fungsinya sebagai khalifah di bumi dengan keahlian yang bermanfaat. Ibnu Sina menekankan pentingnya pengembangan fisik melalui olahraga dan menjaga kesehatan, intelektual melalui pembelajaran, budi pekerti melalui sopan santun, dan seni untuk mempertajam perasaan. Pendidikan juga bertujuan untuk membentuk manusia yang mandiri, berkeahlian, dan siap hidup bermasyarakat, sekaligus mencegah pengangguran.
Secara keseluruhan, pendidikan ini menurut Ibnu Sina bertujuan untuk membentuk Insan Kamil, manusia yang sempurna, yang memiliki keseimbangan dalam pengembangan dirinya serta kontribusi terhadap masyarakat dan akhirat.
Kesimpulan
Ibnu Sina adalah tokoh besar Islam yang memberikan kontribusi penting di bidang filsafat, kedokteran, dan pendidikan. Ia memandang pendidikan sebagai kunci untuk mengembangkan potensi manusia secara fisik, intelektual, sosial, dan spiritual. Menurutnya, manusia terdiri dari jasmani dan rohani, sehingga keduanya harus dikembangkan secara seimbang.
Dalam pendidikan Islam, Ibnu Sina menekankan pentingnya kurikulum berbasis Al-Qur'an, metode yang fleksibel, guru yang berakhlak mulia, dan perhatian pada potensi siswa. Hukuman harus dilakukan dengan bijaksana untuk membentuk karakter tanpa merusak.
Tujuan pendidikannya adalah menciptakan insan kamil, manusia yang sempurna secara fisik, mental, dan spiritual, yang mampu menjalankan perannya sebagai khalifah di bumi serta mencapai kebahagiaan dunia dan akhirat. Konsep ini tetap relevan hingga kini untuk membangun masyarakat yang berakhlak dan berilmu.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H