Aku bangun megap-megap dengan peluh bercucuran, dalam cahaya lilin yang remang-remang.
*****
Malam ini cuaca amat panas. Aku keluar dan duduk di balai bambu belakang rumah mbok Minah. Kupandangi bulan yang terlihat pucat, ditemani segelas teh dan ubi rebus.
Masih jelas terngiang kata-kata Lurah sialan itu tentang bapak. Bagaimanapun juga, aku harus mencari tahu kebenarannya. Aku tak mau sampai mati mesti memendam penasaran.
Sekilas kulihat lagi bulan di atas sana. Ternyata kini tak pucat lagi, permukaannya penuh dengan titik-titik merah yang lama-kelamaan membesar menjadi darah yang siap menetes.
Kupandangi lagi dengan seksama, dan sekarang bulan telah menjadi merah darah. Benar-benar merah darah!
Kudengar Mbok Minah memanggil dari dalam.
“Sukma...”
“Ya, Mbok,” sahutku
Ketika wajahnya muncul di pintu, dia langsung menjerit melihatku
“Sukmaaaaaa!!!” teriaknya dengan wajah ngeri.