Akhirnya kuberanikan diri bertanya, “Meninggal karena apa mbok?”
“Mbok ndak tau. Dari yang Mbok dengar selewatan, sepertinya kepala Pak Lurah hancur dan wajahnya sulit dikenali lagi. Kalau bukan karena baju dan akiknya, mungkin istrinya dan orang-orang tak akan tahu bahwa yang meninggal itu Pak Lurah. Dia ditemukan meninggal di dapur rumahnya.”
Aku menelan ludah dengan rasa yang ganjil. Apakah kejadian itu hanya ada dalam mimpiku? Ataukah…? Oh, kepalaku tiba-tiba pusing.
“Sukma, kau kenapa?”
Aku menggeleng lemah, “Tidak apa-apa, Mbok. Sepertinya aku memang butuh istirahat.”
*****
Selepas petang, bapak, ibu, dan aku makan bersama. Wajah bapak dan ibu pucat, tanpa senyum. Yang terdengar hanya denting sendok beradu dengan piring.
Seiris daging di masing-masing piring, menggoda untuk dikunyah. Tapi bapak dan ibu seperti enggan memakannya. Mereka hanya beradu pandang, untuk kemudian akhirnya saling menyuapi tanpa memperdulikanku sedikitpun. Setiap gigitan pada daging yang mereka makan meneteskan darah di sela-sela bibir. Ketika kulihat daging di piringku sendiri, ternyata semuanya telah berubah menjadi darah. Rasa mual yang hebat langsung menyerangku.
Aku berlari ke kamar mandi, memuntahkan seluruh isi perutku. Ketika aku membuka pintu kamar mandi, aku hampir berteriak saking kagetnya. Bapak dan ibu persis berdiri di depan pintu dengan wajah pucatnya dan darah yang masih menetes di sela bibir, juga masih tanpa senyum.
Mereka berdua menyodorkan garpu dan sendok yang berlumuran darah, “Makanlah, Nak. Kau belum makan seharian,” kata mereka tanpa intonasi sedikitpun.
Kulihat di belakang mereka, Pak Sadikin dengan kepalanya yang hancur melahap habis makananku.