Mohon tunggu...
Nisrina Sri Susilaningrum
Nisrina Sri Susilaningrum Mohon Tunggu... Guru - Great Learner

Great Learner

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

[KC] Lelaki di Pemakaman

3 Oktober 2015   11:40 Diperbarui: 3 Oktober 2015   11:41 240
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Aku hanya tersenyum, kini giliranku menggeser tubuh untuk memberinya tempat duduk. Dia langsung duduk dan memandangku. Lama dan dalam. Aku seperti tersedot arus tak bernama. Cukup hanya dengan diam, kami telah merasa bahwa kami memahami semuanya. Dia juga pasti tahu apa yang telah kulakukan demi hanya untuk bertemu dengannya.

“Kau tahu, kau bermain-main dengan takdir?” ucapnya terdengar tak ingin berjawab.

Kematian, takkan pernah bisa direncanakan, juga takkan pernah bisa dihindari. Kematian adalah selubung nyata yang tak mungkin pernah bisa terbuka.” Ucapnya lagi.

“Tapi aku membuktikannya padamu bahwa aku bisa, aku membawa kematian dalam genggamanku. Aku bisa mengundangnya. Dan itu seharusnya kau tahu, aku melakukannya hanya untukmu. Hanya demi bertemu denganmu. Salahkah aku?” ucapku hampir terisak.

“Entah ini kau anggap sebagai ungkapan cinta yang membabi buta atau apa, aku pasrah. Yang pasti aku tak pernah menyesal melakukannya.” Ucapku lagi sambil berdiri dan berbalik untuk pergi

“Terima kasih atas perasaanmu itu. Aku hanya bisa mengingatkan, jangan bermain-main dengan takdirmu. Kematian bukanlah permainan.”

Aku hanya mendengarkannya, kemudian melangkah pelan menuju upacara pemakaman ayahku. Lelaki itu benar, aku mungkin memang tak menyesal untuk kematian ayah karena segala yang dilakukannya padaku, dulu. Namun aku bukanlah Tuhan, yang berkuasa atas segala hal di semesta raya ini. Aku tak berhak melakukan apa yang menjadi kuasaNya. Aku hanyalah makhluk yang tugasnya menjalani kehidupan yang disajikan olehNya. Airmataku turun satu-satu, baru kali ini aku menangis di pemakaman. Kulihat lelaki itu tersenyum di bawah pohon kamboja di seberang makam ayahku. Senyum yang tulus. “Terima kasih,” ucapku lirih.

 

*) Untuk membaca karya peserta lain silahkan menuju akun Fiksiana Community (disini).

**) Silahkan bergabung di FB Fiksiana Community (disini).

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun