Nisrina Sri Susilaningrum, No. 81
Sore kelabu, begitu juga hatiku. Baru saja aku mengikuti upacara pemakaman Ariel, teman masa kecilku. Masih saja terbayang di mataku, senyum cerianya. Mengapa kau begitu cepat pergi, Riel?
Kususuri kompleks pemakaman sambil menghirup udara yang mulai dingin. Sedingin hatiku kini. Tak ada lagi sahabat untuk berbagi. Tak ada lagi teman tuk tertawa bersama lagi.
Entah sudah berapa lama aku berjalan, ketika tiba di sebuah bukit kecil, aku menemukannya. Duduk sendiri di bangku kayu. Dia tersenyum, bergeser sedikit untuk memberiku tempat di bangku panjang itu.
Upacara pemakaman itu masih berlangsung, namun hatiku tak sanggup tuk melihat karibku tertimbun tanah. Di sinilah aku kini, duduk berdua dengan seorang lelaki asing, dalam diam.
Tak sepatah pun kata yang terucap, kami hanya sesekali melempar senyum. Hingga dia bertanya, “Siapa yang meninggal? Saudara, sahabat...ataukah...?” tanyanya
“Sahabat,” jawabku singkat.
“Semoga kita bertemu lagi saat suasana hatimu membaik,” dia tersenyum dan melangkah pergi. Aku hanya termangu.
Sejak saat itu, ingin kuulangi lagi pertemuan dengannya. Aku sudah lupa pada Ariel, aku sudah lupa pada kesedihanku kehilangan dia, sahabatku satu-satunya. Aku tak tau sejak kapan aku begitu mudah melupakan sahabat yang sudah kuanggap sebagai saudara sendiri. Saat ini yang ada dalam benakku hanya lelaki itu, lelaki di pemakaman.
Hampir setiap sore aku berkunjung ke sana, pemakaman sepi, begitu pula bukit kecil itu. Namun aku tetap menunggunya. Menunggu entah untuk apa, yang pasti aku hanya ingin melihatnya, bertemu dengannya.
Hingga suatu saat aku sadar satu hal, bahwa lelaki itu muncul hanya saat ada upacara pemakaman. Aku menyadarinya ketika aku telah menunggunya selama dua purnama. Sore itu sedikit basah, setelah seharian gerimis. Aku amat suka suasana selepas hujan, bau tanah basah amat membiusku. Tak sadar ketika kakiku sampai di bukit kecil itu, dia duduk persis seperti saat kami pertama bertemu. Dia tersenyum lagi, dan bergeser sedikit. Gemuruh di dadaku tak beraturan, namun aku tetap melangkah agar tak begitu kentara gejolak hatiku di matanya.