Mohon tunggu...
Nisrina Sri Susilaningrum
Nisrina Sri Susilaningrum Mohon Tunggu... Guru - Great Learner

Great Learner

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

[KC] Lelaki di Pemakaman

3 Oktober 2015   11:40 Diperbarui: 3 Oktober 2015   11:41 240
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Nisrina Sri Susilaningrum, No. 81

Sore kelabu, begitu juga hatiku. Baru saja aku mengikuti upacara pemakaman Ariel, teman masa kecilku. Masih saja terbayang di mataku, senyum cerianya. Mengapa kau begitu cepat pergi, Riel?

Kususuri kompleks pemakaman sambil menghirup udara yang mulai dingin. Sedingin hatiku kini. Tak ada lagi sahabat untuk berbagi. Tak ada lagi teman tuk tertawa bersama lagi.

Entah sudah berapa lama aku berjalan, ketika tiba di sebuah bukit kecil, aku menemukannya. Duduk sendiri di bangku kayu. Dia tersenyum, bergeser sedikit untuk memberiku tempat di bangku panjang itu.

Upacara pemakaman itu masih berlangsung, namun hatiku tak sanggup tuk melihat karibku tertimbun tanah. Di sinilah aku kini, duduk berdua dengan seorang lelaki asing, dalam diam.

Tak sepatah pun kata yang terucap, kami hanya sesekali melempar senyum. Hingga dia bertanya, “Siapa yang meninggal? Saudara, sahabat...ataukah...?” tanyanya

“Sahabat,” jawabku singkat.

“Semoga kita bertemu lagi saat suasana hatimu membaik,” dia tersenyum dan melangkah pergi. Aku hanya termangu.

Sejak saat itu, ingin kuulangi lagi pertemuan dengannya. Aku sudah lupa pada Ariel, aku sudah lupa pada kesedihanku kehilangan dia, sahabatku satu-satunya. Aku tak tau sejak kapan aku begitu mudah melupakan sahabat yang sudah kuanggap sebagai saudara sendiri. Saat ini yang ada dalam benakku hanya lelaki itu, lelaki di pemakaman.

Hampir setiap sore aku berkunjung ke sana, pemakaman sepi, begitu pula bukit kecil itu. Namun aku tetap menunggunya. Menunggu entah untuk apa, yang pasti aku hanya ingin melihatnya, bertemu dengannya.

Hingga suatu saat aku sadar satu hal, bahwa lelaki itu muncul hanya saat ada upacara pemakaman. Aku menyadarinya ketika aku telah menunggunya selama dua purnama. Sore itu sedikit basah, setelah seharian gerimis. Aku amat suka suasana selepas hujan, bau tanah basah amat membiusku. Tak sadar ketika kakiku sampai di bukit kecil itu, dia duduk persis seperti saat kami pertama bertemu. Dia tersenyum lagi, dan bergeser sedikit. Gemuruh di dadaku tak beraturan, namun aku tetap melangkah agar tak begitu kentara gejolak hatiku di matanya.

“Kali ini kau datang untuk melepas kepergian siapa?” tanyanya hati-hati.

“Seorang teman kantor,” ucapku dengan agak bergetar.

Dia memandangku sejenak, kemudian berdiri untuk bersiap melangkah pergi.

“Apakah kita bisa bertemu lagi?” tanyaku ragu-ragu.

Dia mengangguk pasti sambil tersenyum.

“Apakah kau datang bersama kematian?” tanyaku lirih

Kali ini dia hanya tersenyum, senyum yang amat mendamaikan, kemudian pergi tanpa menoleh lagi.

Dua pekan sudah aku tak bertemu dengannya, kini aku sengaja menunggunya. Sebelum pemakaman ayah dua jam lagi, aku sengaja datang lebih dulu ke bukit kecil ini. Hatiku berdebar, aku tak tau harus berkata apa bila bertemu dengannya lagi.

Teringat lagi apa yang kulakukan semalam, pergi ke kamar ayah untuk membawakan minuman sebelum tidur, segelas cokelat panas. Pagi harinya, tak ada bentakan atau omelan seperti biasanya dari beliau, ya aku tau, karena bisa kupastikan bahwa minuman pengantar tidurku telah benar-benar membawa beliau tidur selamanya. Maafkan aku ayah, aku hanya ingin bertemu dengannya.

Lelaki itu datang dari kaki langit, latar belakangnya adalah cahaya matahari sore yang keemasan. Aku hampir tak bisa bernapas, dia begitu mempesona. Entah siapa dia, yang kutahu pasti kini, bahwa dia datang bersama kematian.

“Kau tampak cantik,” pujinya.

Aku hanya tersenyum, kini giliranku menggeser tubuh untuk memberinya tempat duduk. Dia langsung duduk dan memandangku. Lama dan dalam. Aku seperti tersedot arus tak bernama. Cukup hanya dengan diam, kami telah merasa bahwa kami memahami semuanya. Dia juga pasti tahu apa yang telah kulakukan demi hanya untuk bertemu dengannya.

“Kau tahu, kau bermain-main dengan takdir?” ucapnya terdengar tak ingin berjawab.

Kematian, takkan pernah bisa direncanakan, juga takkan pernah bisa dihindari. Kematian adalah selubung nyata yang tak mungkin pernah bisa terbuka.” Ucapnya lagi.

“Tapi aku membuktikannya padamu bahwa aku bisa, aku membawa kematian dalam genggamanku. Aku bisa mengundangnya. Dan itu seharusnya kau tahu, aku melakukannya hanya untukmu. Hanya demi bertemu denganmu. Salahkah aku?” ucapku hampir terisak.

“Entah ini kau anggap sebagai ungkapan cinta yang membabi buta atau apa, aku pasrah. Yang pasti aku tak pernah menyesal melakukannya.” Ucapku lagi sambil berdiri dan berbalik untuk pergi

“Terima kasih atas perasaanmu itu. Aku hanya bisa mengingatkan, jangan bermain-main dengan takdirmu. Kematian bukanlah permainan.”

Aku hanya mendengarkannya, kemudian melangkah pelan menuju upacara pemakaman ayahku. Lelaki itu benar, aku mungkin memang tak menyesal untuk kematian ayah karena segala yang dilakukannya padaku, dulu. Namun aku bukanlah Tuhan, yang berkuasa atas segala hal di semesta raya ini. Aku tak berhak melakukan apa yang menjadi kuasaNya. Aku hanyalah makhluk yang tugasnya menjalani kehidupan yang disajikan olehNya. Airmataku turun satu-satu, baru kali ini aku menangis di pemakaman. Kulihat lelaki itu tersenyum di bawah pohon kamboja di seberang makam ayahku. Senyum yang tulus. “Terima kasih,” ucapku lirih.

 

*) Untuk membaca karya peserta lain silahkan menuju akun Fiksiana Community (disini).

**) Silahkan bergabung di FB Fiksiana Community (disini).

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun