“Sit, kita bicara di halaman belakang sebentar ya.” Ucapku dengan sedikit berbisik.
Siti yang baru selesai piket memasak langsung mengangguk. Dia paham bahwa itu berarti percakapan rahasia, tak ada yang boleh tau.
Setelah kami duduk di rerumputan, dia bertanya dengan wajah serius, “Ada apa, Yat?”
“kau masih ingat lukisan di rumah besar itu, Sit?” tanyaku
Siti mengangguk sambil menunggu kata-kataku selanjutnya.
“walaupun sudah kucoba untuk tidak memikirkannya, tetap saja ingatan itu tak mau hilang. Dan sejak pertama kali kita sadar bahwa Adi hilang, entah mengapa pikiranku langsung melayang pada lukisan di rumah besar itu. Aku membayangkan wajah Adi lah yang terlukis di sana.” Ujarku.
“Kau terlalu banyak nonton film, Yat.” Ucap Siti menggodaku.
“Aku serius, Sit.” Ujarku tanpa senyum.
“Ah, kau ini, bagaimana bisa menuduh seseorang tanpa bukti? Apalagi kita belum tahu apakah Adi masih hidup atau tidak, dibunuh atau disiksa. Lha wong mayatnya aja ngga ada.”
“Aku juga bingung, tapi yang pasti, aku benar-benar penasaran dan ingin datang ke rumah itu lagi, Sit. Aku akan membuktikan pada orang-orang bahwa memang ada yang tidak beres dengan rumah itu.”
“Kau gila, Yat. Bisa-bisa kau ditendang sebelum menyentuh halamannya, atau malah digiring ke kantor polisi.”