Di sebuah ruangan yang mungkin adalah ruang baca, kami menemukan tiga lukisan ukuran besar.
Ketiganya tergantung di atas rak berisi buku-buku tebal.
“Coba kau pandangi matanya, Sit, lukisan yang di sebelah kirimu itu,” kataku
Siti mencoba berkonsentrasi, aku juga melakukannya tapi pada lukisan yang satu lagi. Untuk beberapa saat kami sama-sama hampir berteriak, namun segera sadar dan menutup mulut kami dengan tangan. Perlahan dengan tubuh yang agak gemetar, kami keluar dari ruangan itu.
Hingga acara selesai, gemetar tubuh kami masih terasa. Sepanjang perjalanan kami hanya terdiam, sampai-sampai teman-teman agak heran. Tumben si Dayat dan si Siti tak banyak bicara. Namun kami tak peduli, yang ada dalam pikiran kami saat ini hanyalah ingatan tentang lukisan-lukisan dalam rumah itu yang begitu hidup.
Sesampainya di panti, seperti biasa, sebelum tidur Ibu Ratih mengecek kami satu-persatu. Saat itulah kami semua baru menyadari, bahwa Adi telah hilang. Kami semua bingung, tidak biasanya Adi pergi tanpa pamit. Dia adalah anak yang penurut, dan selalu meminta ijin bila ada keperluan. Bu Ratih segera menghubungi Ibu kepala panti, Bu Dini. Bu Dini segera menghubungi Satpam Pak Gondo, apakah ada anak yang tertinggal di sana? Ternyata jawabannya tak ada. Sopir angkot yang membawa kami tadi juga ditanyai, apakah ada anak yang tertinggal di mobil? Jawabannya sama, tidak ada. Akhirnya, Bu Dini menghubungi polisi dan mengabarkan bahwa ada salah satu anak panti yang hilang.
Sekilas dalam benakku teringat tentang lukisan itu. Ya, lukisan aneh yang tersebar di rumah itu. Lukisan yang ‘bernyawa’. Entah mengapa aku agak bergidik, membayangkan wajah Adi terpampang dalam lukisan itu. Tapi aku tak berani mengatakan kecemasanku ini, pun pada Siti.
Sudah sebulan ini Adi menghilang, dan berita di koran maupun televisi tak ada yang menayangkan tentang ditemukannya anak hilang. Yang kudengar malah berita tentang hilangnya beberapa anak dari beberapa panti asuhan lain. Berita itu ada yang terjadi beberapa tahun yang lalu, ada pula yang beberapa bulan terakhir ini. Dan yang paling mencurigakan adalah lokasi hilangnya, mereka diperkirakan hilang sesaat setelah menghadiri undangan di rumah Bapak Prof. Dr. Gondo Prawiro.
Aku masih belum berani mengatakan kecurigaanku ini pada siapapun. Bagaimanapun juga ini menyangkut nyawa. Bila aku salah tuduh, aku akan mencemarkan nama baiknya. Sedangkan bila hal itu benar terjadi, aku tak punya bukti kuat untuk membuka masalah ini.
Aku seorang bocah sebelas tahun yang hanya berbekal prasangka, pasti akan kalah dengan para pembesar itu. Semakin hari, berita itu semakin membuatku cemas. Jangan-jangan korban-korban ini masih akan terus berlanjut? Kemanakah perginya anak-anak sebatang kara itu?
Karena tak tahan tersiksa sendirian, aku mencoba berbicara dengan seseorang. Ya, Siti lah orang yang tepat, pikirku.