Ingatlah, bahwa selama ini Indonesia kerapkali diasosiasikan sebagai surganya bagi produk bajakan, tak terkecuali bagi hasil karya literasi. Ironis dan miris memang, tetapi hal itu memang harus besar hati untuk kita akui Bersama sebagai bahan evaluasi diri.
Kita tentu patut pula mengapresiasi langkah penerbit di Indonesia yang dari awal tegas melarang buku besutan AI beredar bebas via edisi cetak maupun platform digital milik mereka.
Tapi, ke depannya, para penggiat literasi di Indonesia harus telah mengantisipasi kasus yang telah menimpa para penulis di Amerika dengan menjamurnya buku yang dibuat dengan AI.
Hal ini terutama sangat vital bagi genre buku yang laris manis seperti kisah misteri dan romansa untuk jenis fiksi serta buku self-help (pengembangan diri) dan sejarah tentang peristiwa kontroversial bagi buku non-fiksi. Peluang mendulang banyak uang dari buku bergenre tersebut terbuka lebar melalui AI.
Selain teks, AI juga mampu untuk menghasilkan ilustrasi yang dapat membuat suatu buku semakin menarik. Fakta ini pun kelak akan memacu banjir buku anak oleh AI karena buku anak, khususnya usia pra sekolah dan sekolah dasar memang sangat mengandalkan ilustrasi sehingga menarik minat baca anak.
 Di satu sisi, AI bisa berfungsi sebagai alat optimal untuk melecut produktifitas penulis. Namun, tanpa diiringi dengan kesadaran etika dan kebijakan hukum yang jelas serta tegas, AI akan sangat berpotensi menodai literasi di masa depan dengan karya yang tak berkualitas.
Harapannya, kemajuan literasi di Indonesia secara khusus dan di dunia secara umum dapat berpadu secara harmonis dengan pengembangan AI. Teknologi bisa datang silih berganti, tetapi kearifan literasi terbukti telah memandu hidup yang lebih berarti di Bumi ini. Salam literasi yang menginspirasi dan menyejukkan hati.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H