Kutipan dari ilmuwan Charles Darwin tentang spesies yang mampu bertahan hidup sepanjang masa adalah yang paling mampu beradaptasi dengan perubahan di sekitarnya, bukan spesies terkuat atau tercerdas, dapat memprediksi nasib penulis di era AI. Adaptasi menjadi kunci literasi masa kini.
Adaptasi para penggiat literasi di era viralnya AI yang pasti
Jika Anda terbiasa menulis mandiri, mesin AI tak akan mengubah ciri khas tulisan Anda. Ibarat sidik jari, setiap penulis pasti memiliki keunikannya masing-masing, baik dari genre maupun diksi yang digunakan.
Ini mirip dengan penggunaan mesin tik setelah pena dan lalu komputer setelah mesin tik. Kini, AI tak hanya sebatas alat cetak literasi, namun juga hingga 'otak' di balik suatu ide.
Survey Statista pada Mei 2023 di Amerika mencatat data berikut: 23% penulis di negeri Paman Sam itu memakai AI, 47% penulis memakai AI sebagai alat bantu bahasa (grammar tool), 29% penulis memperoleh ide plot cerita serta karakter dari AI, dan di bawah 10% penulis yang karyanya bulat berasal dari AI. Semoga di Indonesia, survei serupa dapat segera dilakukan jua.
Temuan di AS tersebut semakin menandai bahwa peran AI dalam literasi memang tak lagi dapat dihindari. Tetapi, penulis pun tetap memiliki pilihan untuk memakai AI ataupun tidak seperti yang dialami Profesor Vara Vauhini dari The Ohio State University di Amerika setelah esainya berjudul "Ghosts" menjadi viral di tahun 2021 dengan bantuan GPT-3 (kini disebut ChatGPT) selama proses penulisannya.
Awalnya Vauhini merasa bangga dengan viralnya esai "Ghosts" tersebut yang juga masuk dalam antologi "Best American Essays 2022." Namun, dirinya kini lebih memilih untuk (kembali) menulis tanpa AI karena baginya, esainya itu tak lagi utuh berasal dari ide artistik dalam sel syaraf otaknya.
Pilihan Vauhini itu sah-sah saja tentunya dan yang terpenting, dirinya sukarela mengakui bahwa esainya turut dibidani AI. Seviral apapun tulisan oleh AI, etikanya dari awal si penulis dan penerbitnya mau menjelaskan ke publik bahwa karya literasi tersebut difasilitasi AI.
Transparansi literasi hasil karya AI dan kebijakan hukum yang melindungi
Sejak sejumlah penulis ternama, termasuk novelis Jane Friedman asal Ohio Amerika Serikat yang telah berkiprah lebih dari 25 tahun saat menuntut Amazon dan Goodreads yang menjual lima buku karyanya yang diduplikasi oleh AI dengan mencatut namanya, kini Amazon mewajibkan para penulis untuk transparan dari awal tentang penggunaan AI dalam karya mereka. Amazon pun membatasi maksimal 3 buku per hari untuk diiklankan di lokapasar tersebut bagi penulis dari self-publishing.
Kebijakan tersebut patut dicermati pula bagi para penerbit buku dan lokapasar di Indonesia. Saat ini, bisa jadi secara perlahan tapi pasti, buku-buku yang diproduksi AI dengan memakai nama manusia sebagai penulisnya, telah menyusupi rumah literasi nasional.