Lalu, bagaimana di Indonesia? Sudah adakah penulis yang karyanya diduplikasi mentah-mentah oleh AI?
Sejauh ini, memang belum ada satupun penulis Indonesia yang telah mengakui karyanya dibajak AI. Namun, ada sejumlah situs AI online berbahasa Indonesia yang secara gamblang menawarkan jasa text generator mulai dari artikel, cerita, dan puisi dalam hitungan detik dengan tarif terjangkau sehingga harga bukunya jauh di bawah buku karya penulis non-AI yang dicetak para penerbit buku.
Maka itulah, sudah saatnya bagi para penggiat literasi untuk terus dapat produktif menulis dengan nuansa humanis sesuai tren zaman di tengah menjamurnya konten dari AI. Kita jelas tak mungkin mengunci laju AI, namun karya literasi dari hati tentunya lebih mudah diresapi.
Ketika dunia literasi terdistraksi oleh kemunculan teknologi AI
Sejak masifnya media sosial yang bertumpu erat pada konten multimedia, literasi berbentuk buku boleh dibilang semakin tergerus peminatnya. Lihat saja jumlah pembaca buku cetak di kendaraan umum seperti bis dan kereta yang kini dapat dihitung di bawah 10 jari.
Minat baca yang terjun bebas, lalu ditambah dengan proses kreatif yang berliku alias tak instan meraup uang saat menulis satu buku spontan membuat dunia literasi itu nirgemerlap.
Menurut survei oleh Perpustakaan Nasional tahun 2017, jumlah buku yang ditamatkan orang Indonesia per tahun rata-rata hanya 5-9 buku atau kurang dari 1 buku per bulan dan dengan waktu penulisan untuk satu buku sekitar 3-12 bulan per penulis.
Hadirnya AI pun menjadi short cut (jalan pintas) bagi pemburu cuan dari tulisan. Bayangkan saja seorang penulis Amerika, Tim Boucher yang menulis ebook, mengaku dapat menulis 97 ebook bergenre fiksi ilmiah (science fiction/sci-fi) hanya dalam waktu 9 bulan, atau dalam sebulan Boucher dapat menulis hingga sepuluh buku, dan meraup 2,000 US dollar mulai Agustus 2022 hingga Mei 2023 dengan menjual 574 ebook yang dihasilkan oleh AI, sangat menggiurkan bukan?
Buku dan novel digital jelas meraih momentumnya karena orang tak leluasa keluar masuk toko buku selama pandemi lalu. AI pun seolah menjelma sebagai solusi praktis bagi dunia literasi yang sempat mati suri di masa pandemi.
Meskipun begitu, apakah ini berarti ide kreatif yang asli dari kepala para penulis lantas digantikan 100 persen oleh AI? Jika tanpa dibantu AI, bisakah para penulis menulis sebanyak belasan hingga puluhan, bahkan ratusan yang dihasilkan dari AI?
Kita harus mengingat, sekaliber apapun seorang penulis, dirinya pasti pernah mengalami writer's block yang dapat menghambat laju produktifitasnya dalam menulis buku bergenre apapun, fiksi maupun non-fiksi.