Bagi penggemar film nasional, nama besar Teguh Karya adalah jaminan mutu. Tak heran, film 'November 1828' produksi tahun 1979 yang disutradarainya berhasil  memenangkan tujuh penghargaan pada Festival Film Indonesia 1979, termasuk untuk Film Terbaik.
Sebelum menonton November 1828, saya mengira film perang itu identik dengan adegan dar-der-dor sebagaimana layaknya suasana perang. Namun, Teguh Karya dengan tangan dinginnya sukses menggali sisi psikologis karakter dalam film yang berlatar belakang Perang Diponegoro (1825-1830) tanpa kehilangan makna heroiknya.
Jelas, emosi penonton pun akan dibuat gemas, geram, dan juga galau dengan dua tokoh utama film yaitu dua orang (Indo) Belanda, Kapiten van der Borst (Slamet Rahardjo-dengan make up yang meyakinkan sehingga sangat mirip bule) dan Letnan van Aken (El Manik). Kedua aktor watak tersebut bersaing ketat dalam mencari tempat persembunyian Sentot Prawirodirjo alias panglima perang dari Pangeran Diponegoro agar mereka dapat kenaikan pangkat.
Di sinilah, penonton mendapati perbedaan kedua tokoh itu dapat mencapai tujuannya. Sejumlah warga desa yang rela menjadi pengkhianat bangsa (demi harta) pun dapat ditemui dalam film drama epik yang menelan biaya hingga Rp. 240 juta tersebut atau termasuk yang termahal di kala itu.
Jika Anda sedang mencari film lokal bertema perjuangan dalam melawan kolonialisme, maka film November 1828 ini layak jadi top list. Film ini pun semakin relevan dengan kondisi kekinian yaitu saat kesetiaan diuji dengan godaan.
Budaya 'ABS' Ada di Setiap Masa
Kalau kita berpikir bahwa budaya menjilat berupa 'ABS (Asal Boss Senang)' itu hanya milik masyarakat milenial, ternyata ABS pun telah lama hadir sejak era kolonial. Tokoh pengkhianat yang gila tahta yaitu demang atau kepala desa bernama Jayangwirono (Rachmat Hidayat) tega membuat warga desanya yang bernama Kromoludiro (Maruli Sitompul) hingga disiksa dan bahkan istri serta anaknya yang masih bayi  sampai disandera oleh prajurit van der Bost karena Kromoludiro enggan buka mulut tentang lokasi rahasia markas Sentot berada.
Baik van der Bost maupun van Aken yang tidak murni berdarah londho sama-sama mencari pengakuan dari atasan mereka agar dianggap sejajar dengan perwira militer yang asli Belanda. Perang Diponegoro memang tercatat sebagai bentuk perlawanan tersengit dari rakyat Pulau Jawa di zaman penjajahan Belanda sehingga jika anggota militer kompeni dapat menangkap para pemimpin Jawa saat itu, maka naik jabatan pun di depan mata.
Meskipun van der Bost dan van Aken memiliki pendekatan yang berbeda dalam mencari informasi tentang keberadaan para pemimpin Perang Diponegoro di desa kecil bernama Sambiroto pada November 1828 itu, toh keduanya berjuang demi kejayaaan (dan juga kekayaan) dirinya, bukan bangsanya. Hal itu juga banyak terjadi kini, bahkan 194 tahun setelah Perang Diponegoro berakhir, miris ya melihatnya?
Film Teguh Karya yang Legendaris
Selain akting ciamik para aktornya, sehingga El Manik menjadi Pemeran Pendukung Terbaik dalam FFI 1979, pemilihan kostum dan suasana desa di tahun 1828 itu memang mendekati aslinya sehingga membuat penonton seolah kembali ke zaman Belanda masih menjajah Indonesia.  Teguh Karya (1937-2001) pun rela terbang jauh hingga negeri Tulip, sebelum film diproduksi, untuk menggali data dan informasi dari sejumlah museum, termasuk detil seragam para pasukan kompeni dahulu.
Gaya berpakaian rakyat Jawa di kala Perang Diponegoro yang juga dikenal sebagai De Java Oorlog atau The Java War pun sangat sesuai berupa baju batik lurik untuk pria dan kain kemben warna gelap untuk parapuan. Bagi saya, bahkan hingga kini belum ada lagi film perjuangan melawan Belanda yang kostum dan setting-nya sedetil dan semirip seperti November 1828.
Uniknya lagi, di film berdurasi 142 menit ini, sosok Pangeran Diponegoro memang tak "dipaksa" muncul secara fisik, namun penonton tetap bisa merasakan seolah-olah dirinya ada. Ini adalah bukti kejeniusan sang maestro Teguh Karya sebagai sutradara.
Aktor Muda pun Turut Naik Karirnya
Film November 1828 tak hanya bersinar oleh deretan nama besar aktor senior, namun film ini juga mampu melambungkan karir para aktor pemula. Mereka antara lain  Jenny Rachman (pemeran Laras) dan aktor Herman Felani serta aktris sekaligus penari yaitu Nungki  Kusumastuti yang memulai peran debut mereka di layar lebar dalam film November 1828 tersebut.
Dikutip dari Kompas.com, Jenny Rachman mengungkapkan,Â
"Peran saya kecil di November 1828, tapi sangat berkesan dan berarti. Meski tidak mendapat piala Citra tapi saya mendapat nominasi."Â
Baginya, Â film ini adalah salah satu film terbaik yang pernah dia perankan.
Di luar para pemeran utama dan pendukung yang aktingnya jelas dituntut serius, kehadiran pemeran dua pasukan pribumi Belanda, yaitu Kopral Dirun dan Kopral Tukijo yang kocak dengan logat Jawa mereka boleh dibilang dapat menghadirkan suasana kocak, namun dengan tetap menyisipkan kritikan sosial dan sentilan tajam bagi para pengkhianat bangsa.Â
Di ujung film, saat keduanya tidak ditangkap oleh pasukan Sentot dan dibiarkan pergi begitu saja, keduanya berkomentar satir,Â
"Kita itu sudah dianggap tidak ada. Mati boleh, hidup juga boleh. Ya begitulah, nasibnya (orang) yang tidak punya bangsa." Makjleeb banget!
Maka, segeralah menonton film November 1828 ini saat liburan Idul Fitri nanti bersama keluarga tercinta. Harapannya, semangat nasionalisme, bela negara, persatuan, loyalitas, dan religius serta spiritual dalam melawan kezaliman penjajahan yang disampaikan lewat rangkaian adegan film yang konteks ceritanya  terap relevan sepanjang zaman akan selalu diingat oleh generasi penerus. Selamat Hari Film Nasional. Jayalah film Indonesia.
Judul Film: November 1828
Genre: Drama, action
Pemeran: Slamet Rahardjo, El Manik, Rachmat Hidayat, Jenny Rachman, Maruli Sitompul, Sardono W. Kusumo, Sunarti Rendra, Soerip
Sutradara dan Penulis Skenario: Teguh Karya
Produser: Nyoo Han Siang, Ronald Lolang, Hendrik G. Gozali
Durasi: 142 menit
Tahun Rilis: 1979
Negara: Indonesia
Bahasa: Indonesia
Penghargaan:
- Festival Film Indonesia 1979
1. Film Terbaik
2. Sutradara Terbaik: Teguh Karya
3. Â Pemeran Pendukung Pria Terbaik: El Manik
4. Sinematografi Terbaik: Tantra Surjadi
5. Tata Artistik Terbaik: Benny Benhardi
6. Tata Suara Terbaik: Suparman Sidik
7. Tata Musik Terbaik : Franki Raden, Sardono W. Kusumo, Slamet Rahardjo
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H