Setelah kami diskusikan dalam tim KKN, kami pun sepakat untuk menerima tawaran warga.Â
"Di desa nanti juga ada upacara bendera, Pak?" tanya kami ke Bapak Kades (kepala desa) di desa KKN kami.
Eh, siapa sangka, Pak Kades malah mengubah lokasi upacara bendera yang biasanya di halaman kantor Kepala Desa menjadi di lapangan rumput tempat warga bermain bola.Â
"Supaya nanti banyak warga yang semangat untuk ikut upacara karena ada kalian, para anak mahasiswa. Selama ini, cuma pegawai kantor Kades yang wajib upacara," ujar Pak Kades sambil tersenyum dan menepuk-nepuk bahu mas ketua tim KKN kami.
Remaja Desa sebagai Paskibra
Pak Kades pun meminta kami mengajak remaja desa untuk menjadi petugas upacara, terutama dari para anggota Karang Taruna desa. Selama ini, petugas upacara bendera 17-an di kantor Kades yaitu para pegawai di kantor Kades pula.
Awalnya, saya dan sesama anggota tim KKN sempat cemas, tak akan banyak pemuda maupun pemudi desa yang tertarik menjadi petugas upacara bendera. Maklumlah, saat itu, tak sedikit dari mereka yang putus sekolah ataupun lebih memilih mencari duit saat libur daripada harus berlelah-lelah sebagai petugas upacara bendera 17 Agustus yang jelas tak dibayar.
Syukurlah, ada seorang pak RW dan juga pedagang kerajinan bambu di desa tersebut yaitu Pak RW 05 yang bersedia menyumbangkan baju seragam putih-putih dan sepatu hitam ke para remaja karang taruna desa yang menjadi petugas upacara bendera. Selama hampir seminggu, mereka giat berlatih bersama kami dengan didampingi anggota Polisi dan TNI yang bertugas di desa KKN tersebut.
Saya ingat, latihan dilakukan mulai pukul delapan pagi hingga waktu Zuhur, lalu istirahat selama satu jam, dan berlanjut hingga pukul tiga sore. Remaja Karang Taruna desa itu tambah semangat berlatih sebagai petugas Paskibra setelah mengetahui bahwa Bapak Camat bersedia menghadiri upacara bendera 17 Agustus di lokasi KKN.