Jadi, sekarang sebelum satu menambah barang baru, saya selalu memastikan ada barang yang dikurangi (1 in, 1 out). Kalau tidak ada barang yang dapat dikurangi, lebih baik tak menumpuk barang yang malah membebani pikiran maupun keuangan, ya kan bestie?
Selalu ingat 'less is more'
Sejak era pembangunan pasca Perang Dunia II tahun 1945, budaya konsumtif menjamur ke seluruh dunia.Â
Kepemilikan (banyak) barang rutin dipicu dengan iklan yang membujuk masyarakat dengan kalimat-kalimat persuasif seperti "Hidup Anda pun semakin lengkap dengan memiliki barang ini; Miliki layanan ini untuk hidup lebih berarti" dan sederet kalimat promosi lainnya yang memancing banyak orang untuk membeli barang maupun jasa yang belum tentu dibutuhkan.
Padahal, setelah diperiksa lagi, buat apa coba memiliki lusinan set alat masak dan makan jika penghuni rumah di bawah 5 orang, hayoo?Â
Lain cerita jika kita ingin membuka bisnis katering atau kuliner yang tentunya (sangat) memerlukan berbagai macam alat masak dan makan.
Sekarang, tiap kali akan membeli barang, saya selalu bertanya ke diri sendiri dulu, "Berapa kali dalam seminggu saya akan memakai benda ini?"Â
Kalau dalam seminggu, saya hanya memakainya hanya 1-2x, saya lebih memilih untuk memanfaatkan barang yang masih dapat dipakai dulu sampai saatnya nanti memang sudah habis sehingga perlu diganti.
Ketika kita menghemat belanja konsumtif dengan gaya hidup minimalis, maka tabungan dan investasi kita pun meningkat.Â
Okay, barang kita memang sedikit (less), namun justru aset produktif kita (tabungan, saham, properti, emas, dan sejenisnya) yang terus bertambah (more), mantap deh!
Pastinya, konsep gaya hidup minimalis setiap orang itu menyesuaikan dengan kondisi masing-masing.Â