Mohon tunggu...
Khairunisa Maslichul
Khairunisa Maslichul Mohon Tunggu... Dosen - Profesional

Improve the reality, Lower the expectation, Bogor - Jakarta - Tangerang Twitter dan IG @nisamasan Facebook: Khairunisa Maslichul https://nisamasan.wordpress.com

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Pekerja Rumah Tangga Bahagia, Keluarga Berjaya

11 Juli 2022   19:24 Diperbarui: 12 Juli 2022   03:20 334
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"Terima kasih pula untuk Mak (nama Pekerja Rumah Tangga/PRT) dan Mang (nama supir) yang telah setia membantu keluarga kami sejak saya baru diangkat sebagai dosen muda hingga kini menjadi guru besar," begitu ujar seorang profesor di sebuah PTN di Bogor. 

Meskipun lebih dari 10 tahun lalu saya menghadirinya, acara pengukuhan guru besar itu selamanya berkesan.

Ini karena tak banyak profesor yang sampai teringat untuk mengucapkan terima kasih pada sejumlah pekerja non-formal/PRT di rumah mereka pada saat mereka dilantik sebagai guru besar.

Pengakuan jasa-jasa para PRT tersebut secara terbuka kepada publik patut kita tiru dan tularkan seluas mungkin sehingga semakin banyak orang yang tak lagi menganggap PRT sebelah mata.

Nasib PRT di Indonesia memang dapat dibilang 'antara ada dan tiada.' Survei oleh Jaringan Nasional Advokasi (JALA) PRT dan Universitas Indonesia pada 2015 lalu mendapati jumlah PRT di Indonesia mencapai 4,2 juta orang dengan mayoritasnya perempuan.

Angka tersebut menjadikan Indonesia sebagai negara terbesar kedua setelah China dalam PRT. Tahun 2022 ini, kemungkinan besar jumlahnya sudah menembus angka 5 juta PRT di seluruh Indonesia.

Ironisnya, jutaan PRT tersebut masih (jauh) lebih banyak yang kondisinya begitu menyedihkan daripada membahagiakan. Tak jauh-jauh, saya berulangkali mendapati para PRT di lingkungan sekitar yang setelah izin libur Lebaran, mayoritas PRT tersebut tak kembali lagi bekerja di rumah atasannya.

Beberapa kali saya pernah berbincang dengan para PRT di sekitar rumah. Secara implisit, para perempuan muda tersebut yang berusia mulai dari 17-35 tahun tersebut merasa beban kerja mereka dengan gaji yang diterima itu tak sepadan.

 "Tiap hari bersih-bersih dari jam 7 pagi sampai 5 sore, termasuk ngepel rumah 2 lantai, tapi dikasihnya (gaji) enggak sampai 500ribu," keluh seorang Mbak PRT pada satu keluarga muda dengan suami-istri bekerja dan dua anak usia awal sekolah dasar di dekat rumah.

Tak heran, Mbak PRT yang berasal dari Lampung itu tak datang lagi ke Tangerang seusai Idul Fitri lalu karena tak sanggup untuk terus bekerja sebagai PRT di tempatnya semula selama sekitar 10 bulan. Upah ala kadarnya, jam kerja tak jelas, dan pelecehan maupun kekerasan fisik serta mental (termasuk seksual), adalah tiga keluhan teratas yang berulangkali diterima para PRT.

Temuan itu diperkuat dengan data dari JALA PRT yaitu adanya 2.148 kasus kekerasan ekonomi, fisik, dan psikis pada PRT di Indonesia mulai tahun 2015-2019. Saat pandemi di tahun 2020, Komnas Perempuan menerima sebanyak 17 kasus aduan dari PRT.

Padahal, fungsi PRT mirip sekrup pada mesin sehingga kehadirannya dapat membuat kegiatan sehari-hari suatu keluarga semakin produktif.

Saya mendapati, tak sedikit para keluarga sukses sekaligus terpandang ternyata memiliki PRT yang telah belasan bahkan hingga puluhan tahun setia bekerja kepada keluarga mereka.

Para PRT yang loyal tersebut berarti tidak hanya dianggap sebagai pekerja, namun juga anggota keluarga. Pasti hal itu pulalah yang membuat keluarga itu sukses karena seluruh penghuni rumah, tak terkecuali para PRT, saling bahu-membahu untuk kesejahteraan seisi rumah tangga.

Maka, inilah tiga hal yang dapat dijadikan tolok ukur agar kita dapat memberikan kesempatan bekerja yang layak bagi para PRT. Kebahagiaan mereka ketika jasa dan keringatnya dihargai dengan sesuai tentunya akan berujung dengan lancarnya kehidupan seisi keluarga.

Masalah 1: Upah minim

Solusi: Penuhi Gaji yang Manusiawi 

Nominal gaji para PRT selama ini sangat fleksibel karena memang belum ada peraturan resmi yang mengaturnya sebagaimana halnya besaran UMR di setiap daerah. Sekalipun begitu, para PRT tetap layak memperoleh gaji yang layak.

Bapak profesor yang telah saya ceritakan di awal artikel ini ternyata menggaji PRT dan supirnya dengan cara menghitung biaya hidup sehari-hari satu keluarga di Bogor selama sebulan lalu diberikan tambahan sebesar 50% setiap bulannya sejak awal mereka bekerja.

Jadi misalnya biaya hidup per keluarga sebulan sebesar Rp.1.500.000 (asumsikan sehari biaya hidup yaitu Rp.50.000 dikalikan 30 hari), maka gaji mereka yaitu Rp. 2.250.000 (plus Rp.750.000).

Selain itu, setiap 2 tahun para pekerja non-formal di rumah keluarga bapak guru besar tersebut mendapatkan kenaikan gaji senilai 10% dari gaji pokok di tahun sebelumnya.

Wajar saja jika tak hanya anak-anak sang profesor yang mampu berkuliah hingga S3, namun juga buah hati para PRT tersebut dapat lulus kuliah dari gaji orang tuanya yang bukan sarjana.

Kita akui, memang tak semua keluarga dapat menggaji PRT mereka dengan berlebihan. Namun, minimal gaji PRT tersebut dapat menutupi biaya hidup sehari-hari mereka sehingga para PRT dan keluarganya dapat hidup layak sepanjang waktu.

Masalah 2: Jam kerja panjang

Solusi: Pekerjakan Sesuai dengan Kemampuan

Beberapa waktu lalu, saya menyaksikan tayangan di televisi tentang pengakuan seorang PRT pria di rumah salah seorang pemimpin daerah di Pulau Jawa.

Pria yang telah bekerja selama 15 tahun pada keluarga pemimpin daerah tersebut menyampaikan bahwa dirinya, yang tinggal bersama keluarga pejabat tersebut sejak atasannya masih menjadi praktisi hingga kini menjadi politisi, memiliki jam kerja selama 12 jam setiap harinya sebagai PRT.

Saat dirinya dimintai bantuan di luar waktu jam resmi kerjanya dari pukul 5.00 pagi hingga 17.00 sore, maka PRT laki-laki yang berusia sekitar pertengahan 30-an tahun tersebut mendapatkan upah lembur yang dihitung per jam dan dibayarkan saat gajian di bulan berikutnya.

Bagaimanapun juga, PRT adalah manusia yang bernyawa dan bukannya mesin robot yang dapat diperintahkan kapan saja. Robot saja tetap perlu diistirahatkan mesinnya secara berkala agar tak lekas rusak, apalagi badan dan pikiran manusia.

Usia dan kondisi kesehatan PRT juga harus menjadi pertimbangan kita saat menugaskannya untuk melakukan suatu pekerjaan sehingga kondisi kesehatan PRT tetap terjaga. Ketika PRT sampai jatuh sakit karena kelelahan, maka lancarnya kegiatan suatu keluarga sehari-harinya pun dapat terganggu, sayang kan?

Masalah 3: Pelecehan fisik maupun mental

Solusi: Perlakukan dengan Penuh Kehormatan 

Kebaikan asli seseorang dapat dinilai dari cara orang tersebut memperlakukan orang yang di bawahnya, tak terkecuali para PRT. Jika orang tersebut menghargai orang lemah, maka karakternya memang benar-benar baik dan tulus adanya (bukan sekedar pencitraan semu).

Maka itulah, ketika bulan Ramadan lalu saya melihat foto di media sosial tentang seorang pejabat publik lainnya yang hingga membuat "farewell party" khusus untuk Mbak PRT yang hampir 40 tahun bekerja padanya, hal ini semakin meyakinkan kita bahwa ketika para PRT telah dianggap sebagai keluarga, maka mereka pun akan bekerja dengan sepenuh hati. Bapak pejabat itu pun secara terbuka via media sosial pribadinya menyampaikan terima kasih dari keluarga besarnya atas kerja keras dan kesetiaan Mbak PRT tersebut selama lebih dari 30 tahun yang pamit sebelum Idul Fitri tahun ini untuk berhenti bekerja dan lalu beristirahat di tanah asalnya.

Ketika PRT telah dianggap sebagai bagian keluarga, maka kasus pelecehan pun dapat ditekan sekecil mungkin. Kekerasan dan pelecehan terhadap PRT acapkali terjadi karena PRT tak dipandang setara sebagai sesama manusia oleh keluarga tempatnya bekerja, duh sedihnya!

Padahal, jika PRT diperlakukan dengan baik dan penuh hormat, tak mungkin ada kasus yang dilaporkan ke polisi sehingga sampai menimbulkan trauma fisik dan psikis berkepanjangan bagi sang PRT sekaligus mencoreng nama baik atasannya.

Memang benar adanya, damai itu indah dan kebaikan tulus itu kepada setiap manusia (tanpa memandang jabatan dan kedudukan sosial seseorang), dan juga kepada seluruh makhluk hidup ciptaan Allah yang Maha Kuasa, akan senantiasa menghasilkan kesuksesan hidup bagi pelaku rutin kebaikan tersebut.

Marilah kita ingat selalu, apapun profesi seseorang, tak terkecuali para PRT, setiap orang pastinya berhak untuk bekerja secara layak dan manusiawi.

Setiap tetes keringat PRT yang diapresiasi sejatinya akan mengantarkan hidup kita pada kebahagiaan hidup, tak hanya di dunia namun juga di akhirat nantinya, karena telah tercatat pula sebagai pahala dengan menghargai tenaga sesamanya.

Salam kebaikan penuh kepedulian untuk kesejahteraan PRT.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun