Temuan itu diperkuat dengan data dari JALA PRT yaitu adanya 2.148 kasus kekerasan ekonomi, fisik, dan psikis pada PRT di Indonesia mulai tahun 2015-2019. Saat pandemi di tahun 2020, Komnas Perempuan menerima sebanyak 17 kasus aduan dari PRT.
Padahal, fungsi PRT mirip sekrup pada mesin sehingga kehadirannya dapat membuat kegiatan sehari-hari suatu keluarga semakin produktif.
Saya mendapati, tak sedikit para keluarga sukses sekaligus terpandang ternyata memiliki PRT yang telah belasan bahkan hingga puluhan tahun setia bekerja kepada keluarga mereka.
Para PRT yang loyal tersebut berarti tidak hanya dianggap sebagai pekerja, namun juga anggota keluarga. Pasti hal itu pulalah yang membuat keluarga itu sukses karena seluruh penghuni rumah, tak terkecuali para PRT, saling bahu-membahu untuk kesejahteraan seisi rumah tangga.
Maka, inilah tiga hal yang dapat dijadikan tolok ukur agar kita dapat memberikan kesempatan bekerja yang layak bagi para PRT. Kebahagiaan mereka ketika jasa dan keringatnya dihargai dengan sesuai tentunya akan berujung dengan lancarnya kehidupan seisi keluarga.
Masalah 1: Upah minim
Solusi: Penuhi Gaji yang ManusiawiÂ
Nominal gaji para PRT selama ini sangat fleksibel karena memang belum ada peraturan resmi yang mengaturnya sebagaimana halnya besaran UMR di setiap daerah. Sekalipun begitu, para PRT tetap layak memperoleh gaji yang layak.
Bapak profesor yang telah saya ceritakan di awal artikel ini ternyata menggaji PRT dan supirnya dengan cara menghitung biaya hidup sehari-hari satu keluarga di Bogor selama sebulan lalu diberikan tambahan sebesar 50% setiap bulannya sejak awal mereka bekerja.
Jadi misalnya biaya hidup per keluarga sebulan sebesar Rp.1.500.000 (asumsikan sehari biaya hidup yaitu Rp.50.000 dikalikan 30 hari), maka gaji mereka yaitu Rp. 2.250.000 (plus Rp.750.000).
Selain itu, setiap 2 tahun para pekerja non-formal di rumah keluarga bapak guru besar tersebut mendapatkan kenaikan gaji senilai 10% dari gaji pokok di tahun sebelumnya.