Mohon tunggu...
Khairunisa Maslichul
Khairunisa Maslichul Mohon Tunggu... Dosen - Profesional

Improve the reality, Lower the expectation, Bogor - Jakarta - Tangerang Twitter dan IG @nisamasan Facebook: Khairunisa Maslichul https://nisamasan.wordpress.com

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Artikel Utama

Ketika Membaca Pancasila Jadi Rebutan Siswa

3 Juni 2021   07:26 Diperbarui: 3 Juni 2021   11:32 900
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Semangat persatuan dan kebersamaan di setiap sila Pancasila harus diketahui sekaligus dilakoni setiap siswa di Indonesia (Ilustrasi: IG Pusat Penguatan Karakter-dok. Kemendikbud RI via Kompas.com)

Sebagai generasi 80-an, upacara bendera setiap Senin pagi itu adalah kewajiban. Siswa sekolah harus mengikutinya baik sebagai peserta maupun petugas upacara.

Membaca teks Pancasila termasuk salah satu tugas yang dijalankan petugas upacara. Tugas lainnya yaitu pemimpin upacara, pengibar bendera, dan pembaca teks Pembukaan UUD 1945.

Paduan suara biasanya bergantian di antara kelas yang ada. Untuk pembina upacara, tentu saja itu kewajiban para guru.

Kenangan yang hingga kini begitu berkesan bagi saya yaitu tentang upacara bendera sewaktu SD. Ini karena erat kaitannya dengan tugas membaca Pancasila.

Saat masih SD, sekolah saya waktu itu belum memiliki lapangan yang luas. Maklumlah, SD swasta itu memang belum lama berdiri.

Jadilah upacara bendera setiap Senin diadakan di tanah lapang milik warga yang terdekat dari sekolah. Ketika malamnya hujan, tiap Senin pagi tanah lapang itu pasti becek dan berlumpur.

Di sekeliling tanah lapang itu juga masih ditumbuhi pohon bambu dan pepohonan lainnya. Tak jarang, ada warga sekitar yang sedang menggembalakan hewan ternak besar (kambing, kerbau, dan kerbau) mereka ketika para siswa SD sedang upacara bendera.

Syukur Alhamdhulillah, baik warga maupun para siswa tetap bisa menjalankan kegiatannya masing-masing tanpa saling terusik. Para warga bisa menjaga hewan ternak mereka agar tidak tiba-tiba nyelonong masuk ke tengah tanah lapang ketika upacara bendera sedang khusyuk berlangsung.

Lagipula, masa itu belum ada handphone yang bisa merekam momen langka dan tak terduga untuk disebarkan via media sosial seperti saat ini. Kalaupun hewan ternak warga sampai masuk lapangan dan jadi bintang tamu saat upacara bendera, tak akan viral juga beritanya karena stasiun TV nasional yang ada kan baru TVRI hehehe...

Lancarnya proses upacara tentu memerlukan latihan sebelumnya. Setiap Kamis pagi, nama kelas yang siswanya akan menjadi petugas upacara bendera di hari Senin depan diumumkan.

Wali kelas tersebut biasanya menanyakan kesediaan siswanya terlebih dahulu sebelum ditunjuk menjadi petugas upacara. Tugas sebagai pemimpin upacara otomatis diemban ketua kelas ataupun wakilnya.

Nah, uniknya tugas membaca teks Pancasila itu selalu direbutkan siswa. Saya ingat betul, bahkan sejumlah siswa pria yang malas mengerjakan PR saja tetap bersemangat lho untuk mengajukan diri mereka sebagai petugas pembaca Pancasila.

Kejadian ini ternyata tidak hanya dialami di satu atau dua kelas, namun juga di semua kelas. Saat duduk di kelas 5 SD, bapak wali kelas saya sampai keheranan,

"Kenapa kalian (para siswa) selalu rebutan jadi petugas pembaca Pancasila?"

Tambahnya lagi, "Ini bukan cuma di kelas kita lho. Semua kelas juga begitu ternyata." Setelah hening beberapa saat, sang ketua kelas memberanikan diri untuk menjawab, "Kami sudah hafal, Pak. Jadi enggak mungkin salah baca."

Padahal, petugas pembaca Pancasila tetap dilengkali map batik berisi teks Pancasila seperti halnya petugas pembaca teks Mukaddimah UUD 1945. 

Pembeda utamanya yaitu selama upacara berlangsung, petugas Pancasila bisa lebih percaya diri dan bangga saat membaca dengan lantang karena sudah hafal di luar kepala daripada petugas UUD.

Di SD kami dulu maupun banyak SD lainnya di Indonesia, sebelum dan sesudah memulai pelajaran PMP/Pendidikan Moral Pancasila (sekarang disebut PPKN) di kelas masing-masing, para siswa wajib membaca Pancasila bersamaan dengan tanpa melihat teks di buku. 

Itulah penyebab generasi yang merasakan SD dan SMP sebelum era reformasi politik tahun 1998 bisa hafal Pancasila.

Praktik itu sepertinya tidak lagi berlangsung setelah reformasi. Ketika saya tanyakan ke adik sepupu dan juga keponakan setelah saya kuliah di tahun 2000-an, mereka ternyata langsung membaca buku teks tanpa harus menghafal Pancasila saat belajar PPKN di kelas.

Hafalan Pancasila itu pastinya tidak hanya membekas di kepala, namun juga di dada. Semasa SD dulu, seingat saya anak kecil di perumahan pada era tahun 80-an dan 90-an bisa bermain dengan santai dan leluasa tanpa memandang perbedaan SARA.

Ini tentunya sesuai dengan sila ketiga Indonesia yaitu "Persatuan Indonesia." Jujur, saya prihatin dengan (segelintir) orangtua masa kini yang lebih memilih anak-anak mereka untuk bergaul dengan teman yang sama secara SARA dan juga status sosial-ekonominya.

Padahal semangat sila kedua dan kelima Pancasila yaitu "Kemanusiaan yang adil dan beradab" serta "Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia" itulah yang membuat warga di sekitar SD saya sekolah dahulu sampai mengizinkan para siswa memakai tanah lapang mereka untuk tempat upacara. 

Seingat saya, pihak pengurus yayasan SD berterima kasih dengan cara mengizinkan para warga di sana berjualan di kantin sekolah tanpa dipungut iuran dan hanya wajib menjaga kebersihan kantin SD.

Spirit sila pertama Pancasila "Ketuhanan Yang Maha Esa" pun dulu, semasa SD, begitu saya rasakan hadirnya. Penduduk Indonesia telah mengenal keberagaman agama dengan Islam sebagai agama mayoritas.

Namun, perbedaan agama tak lantas menyekat pergaulan sosial. Prinsip toleransi dan saling menghormati sudah dilakukan sehari-hari selama ratusan tahun di Indonesia tanpa harus diviralkan di media massa karena rawannya friksi akibat provokasi SARA kini.

Contoh nyatanya yaitu kokohnya Candi Borobudur (Budha) maupun Prambanan (Hindu) di daerah Jawa Tengah serta Yogya yang kesultanannya dipimpin kaum muslim.

Lokasi Masjid Istiqlal dan Gereja Katedral (Katolik) di Jakarta yang berdekatan juga menjadi bukti nyata lainnya bahwa pendiri bangsa kita, terutama Presiden ke-1 Soekarno sebagai pencetus Pancasila, telah menanamkan akar kebersamaan dan persatuan yang kokoh serta berkelanjutan di tengah segala perbedaan pada rakyat Indonesia.

Semoga semangat nasionalisme di setiap sila Pancasila bisa terus mewarnai karakter setiap siswa di Indonesia sehingga tak ada (lagi) pihak yang membenturkan antara agamapun dengan Pancasila. 

Perbedaan memang sejatinya adalah anugerah dari Allah SWT, namun persatuan itu adalah usaha terus-menerus dari setiap manusia, termasuk yang berlandaskan Pancasila. 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun