Nah, uniknya tugas membaca teks Pancasila itu selalu direbutkan siswa. Saya ingat betul, bahkan sejumlah siswa pria yang malas mengerjakan PR saja tetap bersemangat lho untuk mengajukan diri mereka sebagai petugas pembaca Pancasila.
Kejadian ini ternyata tidak hanya dialami di satu atau dua kelas, namun juga di semua kelas. Saat duduk di kelas 5 SD, bapak wali kelas saya sampai keheranan,
"Kenapa kalian (para siswa) selalu rebutan jadi petugas pembaca Pancasila?"
Tambahnya lagi, "Ini bukan cuma di kelas kita lho. Semua kelas juga begitu ternyata." Setelah hening beberapa saat, sang ketua kelas memberanikan diri untuk menjawab, "Kami sudah hafal, Pak. Jadi enggak mungkin salah baca."
Padahal, petugas pembaca Pancasila tetap dilengkali map batik berisi teks Pancasila seperti halnya petugas pembaca teks Mukaddimah UUD 1945.Â
Pembeda utamanya yaitu selama upacara berlangsung, petugas Pancasila bisa lebih percaya diri dan bangga saat membaca dengan lantang karena sudah hafal di luar kepala daripada petugas UUD.
Di SD kami dulu maupun banyak SD lainnya di Indonesia, sebelum dan sesudah memulai pelajaran PMP/Pendidikan Moral Pancasila (sekarang disebut PPKN) di kelas masing-masing, para siswa wajib membaca Pancasila bersamaan dengan tanpa melihat teks di buku.Â
Itulah penyebab generasi yang merasakan SD dan SMP sebelum era reformasi politik tahun 1998 bisa hafal Pancasila.
Praktik itu sepertinya tidak lagi berlangsung setelah reformasi. Ketika saya tanyakan ke adik sepupu dan juga keponakan setelah saya kuliah di tahun 2000-an, mereka ternyata langsung membaca buku teks tanpa harus menghafal Pancasila saat belajar PPKN di kelas.
Hafalan Pancasila itu pastinya tidak hanya membekas di kepala, namun juga di dada. Semasa SD dulu, seingat saya anak kecil di perumahan pada era tahun 80-an dan 90-an bisa bermain dengan santai dan leluasa tanpa memandang perbedaan SARA.
Ini tentunya sesuai dengan sila ketiga Indonesia yaitu "Persatuan Indonesia." Jujur, saya prihatin dengan (segelintir) orangtua masa kini yang lebih memilih anak-anak mereka untuk bergaul dengan teman yang sama secara SARA dan juga status sosial-ekonominya.
Padahal semangat sila kedua dan kelima Pancasila yaitu "Kemanusiaan yang adil dan beradab" serta "Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia" itulah yang membuat warga di sekitar SD saya sekolah dahulu sampai mengizinkan para siswa memakai tanah lapang mereka untuk tempat upacara.Â