Mohon tunggu...
Khairunisa Maslichul
Khairunisa Maslichul Mohon Tunggu... Dosen - Profesional

Improve the reality, Lower the expectation, Bogor - Jakarta - Tangerang Twitter dan IG @nisamasan Facebook: Khairunisa Maslichul https://nisamasan.wordpress.com

Selanjutnya

Tutup

Inovasi Pilihan

Siaran Televisi dan Kampanye Pemilu

16 April 2018   12:16 Diperbarui: 16 April 2018   17:00 490
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Tahun 2016 lalu, kampanye pilpres di Amerika Serikat via media sosial dan TV menyita perhatian seluruh dunia (www.forbes.com)

Dan sekalipun seorang penyiar mewakili stasiun televisi yang dimiliki oleh calon presiden tertentu, akan sulit baginya untuk menyembunyikan keberpihakannya secara pribadi terhadap kandidat presiden lainnya. Keberpihakan tersebut dapat tampak dari cara bicara dan bahasa tubuh seorang penyiar saat membacakan berita.

Tahun 2016 lalu, kampanye pilpres di Amerika Serikat via media sosial dan TV menyita perhatian seluruh dunia (www.forbes.com)
Tahun 2016 lalu, kampanye pilpres di Amerika Serikat via media sosial dan TV menyita perhatian seluruh dunia (www.forbes.com)
Menurut teori psikologi yang dipelopori oleh William Condon, cultural microrhythms atau "kesesuaian bahasa tubuh" menjelaskan kesuksesan maupun kegagalan seseorang saat berkomunikasi. Terlebih jika bahasa tubuh tersebut berfungsi untuk mempengaruhi orang lain.

Misalnya, komunikasi yang dilakukan staf penjualan (sales & marketing communication staff). Tingkat penjualan tidak meningkat ketika isi iklan dan ekspresi sang penjual tidak mengalami sinkronisasi atau keselarasan yang dilakukan secara harmonis dan alami. Cara membujuk yang dibuat-buat, sehalus apapun, akan terlihat janggal dan lawan bicara merasa seolah sedang dibohongi.

Ada juga Malcolm Gladwell dalam bukunya Tipping Point menerangkan tentang fakta unik saat pemilu presiden di Amerika Serikat berlangsung, yang diperoleh dari hasil penelitian sekelompok psikolog dari Syracuse University.

Penelitian itu menemukan salah satu stasiun televisi yang terkenal sangat tidak bersahabat terhadap Ronald Reagan memiliki seorang penyiar yang wajahnya bersemangat tiap kali membacakan berita mengenai Reagan.

Hasilnya di luar dugaan. Para penonton berita lebih memilih Reagan walaupun berita tentangnya disiarkan oleh stasiun televisi yang tidak mendukungnya.

Peran penyiar berita, dalam hal ini berdasarkan ekspresinya saat membacakan berita, ternyata berpengaruh besar dalam menggiring opini masyarakat secara tidak langsung terhadap kampanye para kandidat presiden di Amerika Serikat.

Tulisan ini tidak bermaksud untuk menuduh para penyiar televisi sebagai juru kampanye terselubung dari calon presiden manapun. Di Indonesia, belum ada penelitian yang serupa seperti halnya di Amerika Serikat.

Selain itu, para pembaca berita dan pemirsa televisi sama-sama memiliki hak memilih dalam pemilu.  Bedanya, penyiar televisi di Indonesia memiliki posisi yang strategis dalam mewujudkan proses kampanye pemilu yang transparan, objektif, dan dapat dipertanggungjawabkan.

Christiane Amanpour dari CNN merangkumnya dalam satu kalimat optimis, "Dan saya yakin bahwa jurnalisme dan siaran televisi yang baik dapat menjadikan dunia kita sebagai tempat tinggal yang lebih baik."

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun