Bagi masyarakat Indonesia, televisi menjadi bagian tak terpisahkan dari sejarah bangsa, terutama saat terjadinya reformasi politik tahun 1997/1998. Siaran televisi memang tak ubahnya pisau bermata dua. Oleh karena itu, televisi di Indonesia perlu berbenah dalam Pilpres 2019 nanti.
Generasi yang tumbuh dan besar di era Orde Baru tentu masih mengingat TVRI, sebagai satu-satunya stasiun televisi nasional kala itu dan "konsisten" menyiarkan berita keberhasilan Soeharto sebagai Bapak Pembangunan.
Di masa itu, rakyat hanya memperoleh dua jenis berita: berita baik tentang pemerintah dan berita buruk mengenai selain pemerintah.
Tak kurang, selama tiga dekade televisi menjadi alat kontrol pemerintah terhadap pola pikir dan cara pandang penduduk Indonesia dalam hampir semua hal, termasuk Pemilu.
Krisis ekonomi 1997/1998 membawa berkah tersembunyi (blessing in disguise) bagi dunia pertelevisian di Indonesia.
Perubahan sosial-politik yang dahsyat akibat krisis ekonomi menghantam berbagai negara dunia, termasuk Indonesia: masyarakat tak lagi mengandalkan TVRI karena saat telah mengudara televisi swasta lainnya seperti RCTI, SCTV, dan TPI.
Masyarakat pun tak lagi dapat dinina-bobokkan apalagi di-apusi oleh penguasa tentang kestabilan kondisi sosial-ekonomi. Harga bahan pokok yang terus meroket karena langkanya persediaan di pasaran, kerusuhan dan penjarahan massal di berbagai kota besar di Indonesia, aksi demonstrasi di jalan hingga pendudukan gedung DPR/MPR oleh mahasiswa, menjadi berita rutin siaran televisi hingga pertengahan Mei 1998. Puncaknya, ketika rakyat menyaksikan siaran pengunduran diri Soeharto sebagai presiden kedua RI pada 21 Mei 1998.
Para penyiar televisi kini pun lebih memiliki kebebasan dalam mengekspresikan kepribadian masing-masing saat membacakan berita di depan kamera dibanding pendahulu mereka. Sekarang, tak ada lagi ekspresi datar yang 'terstandarisasi' dari penyiar televisi di Indonesia.
Fakta tersebut di satu sisi melegakan dan menggembirakan karena masyarakat kini lebih mampu menangkap objektivitas isi berita. Namun di sisi lain ekspresi penyiar televisi ternyata mempengaruhi sudut pandang pemirsa terhadap suatu topik berita.
Tulisan ini mencoba untuk menjelaskan fenomena menarik yang terjadi pada Pemilu 2004, 2009, dan 2014. Meskipun kepemilikan beberapa stasiun televisi swasta di Indonesia dikuasai oleh kandidat presiden dari partai politik tertentu, namun masyarakat kini telah jauh lebih cerdas dan selektif ketika mencermati tayangan pemilu.
Dan sekalipun seorang penyiar mewakili stasiun televisi yang dimiliki oleh calon presiden tertentu, akan sulit baginya untuk menyembunyikan keberpihakannya secara pribadi terhadap kandidat presiden lainnya. Keberpihakan tersebut dapat tampak dari cara bicara dan bahasa tubuh seorang penyiar saat membacakan berita.
Misalnya, komunikasi yang dilakukan staf penjualan (sales & marketing communication staff). Tingkat penjualan tidak meningkat ketika isi iklan dan ekspresi sang penjual tidak mengalami sinkronisasi atau keselarasan yang dilakukan secara harmonis dan alami. Cara membujuk yang dibuat-buat, sehalus apapun, akan terlihat janggal dan lawan bicara merasa seolah sedang dibohongi.
Ada juga Malcolm Gladwell dalam bukunya Tipping Point menerangkan tentang fakta unik saat pemilu presiden di Amerika Serikat berlangsung, yang diperoleh dari hasil penelitian sekelompok psikolog dari Syracuse University.
Penelitian itu menemukan salah satu stasiun televisi yang terkenal sangat tidak bersahabat terhadap Ronald Reagan memiliki seorang penyiar yang wajahnya bersemangat tiap kali membacakan berita mengenai Reagan.
Hasilnya di luar dugaan. Para penonton berita lebih memilih Reagan walaupun berita tentangnya disiarkan oleh stasiun televisi yang tidak mendukungnya.
Peran penyiar berita, dalam hal ini berdasarkan ekspresinya saat membacakan berita, ternyata berpengaruh besar dalam menggiring opini masyarakat secara tidak langsung terhadap kampanye para kandidat presiden di Amerika Serikat.
Tulisan ini tidak bermaksud untuk menuduh para penyiar televisi sebagai juru kampanye terselubung dari calon presiden manapun. Di Indonesia, belum ada penelitian yang serupa seperti halnya di Amerika Serikat.
Selain itu, para pembaca berita dan pemirsa televisi sama-sama memiliki hak memilih dalam pemilu. Â Bedanya, penyiar televisi di Indonesia memiliki posisi yang strategis dalam mewujudkan proses kampanye pemilu yang transparan, objektif, dan dapat dipertanggungjawabkan.
Christiane Amanpour dari CNN merangkumnya dalam satu kalimat optimis, "Dan saya yakin bahwa jurnalisme dan siaran televisi yang baik dapat menjadikan dunia kita sebagai tempat tinggal yang lebih baik."
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H