Tahun 1978, Eyang resmi membuat teknologi semakin digemari karena bertambah manusiawi bagi generasi muda – anak sekolah banyak yang mengidolakan sang ahli dirgantara asal Indonesia tersebut dan bercita-cita dapat mengikuti jejak Eyang – dengan menjadi Menristek RI hingga tahun 1998.
Eyang sudah menjadi bukti nyata bahwa putra Indonesia tak kalah kualitasnya di bidang teknologi. Tambahkan pula, Eyang mencontohkan langsung (sangat) mungkinnya keseimbangan antara kesuksesan pendidikan dan pekerjaan dengan menuntaskan kuliah S3 beliau di Jerman. Catat ya, Eyang selalu lulus kuliah di tiap jenjangnya dengan nilai yang “very good.”
Namun hebatnya, Eyang tak pernah menganggap dirinya jenius dan bahkan sebal disebut demikian – yang belum atau tidak jenius, kalau mau pongah dan jumawa, tolong diingat sudah menyumbangkan dan berbuat hal baik apa untuk Indonesia tercinta – serta mencontohkan bahwa industri teknologi bisa dimulai dari modal sederhana maupun apa adanya seperti halnya Apple yang dimulai oleh Steve Jobs dan Steve Wozniak dari garasi rumah mereka.
Lalu datanglah tahun 1998, tahun yang takkan (pernah) terlupakan bagi segenap rakyat Indonesia. Dua tahun sebelum era millennium menyongsong, Indonesia menyaksikan pergantian kekuasaan dari era kepresidenan (yang lumayan mirip kerajaan) Pak Harto menuju periode Reformasi di bawah komando Eyang, Wapres ke-7 RI. Transisi tampuk kepemimpinan nasional dari Presiden RI ke-2 kepada tangan dingin Eyang - namun Syukur Alhamdulillah, selalu minus tangan besi - mampu terkendali tanpa harus mengorbankan lebih banyak lagi air mata para anak bangsa.
Jadilah dengan manajemen Eyang, nilai Rupiah menguat hingga di bawah Rp. 10.000,- setelah dihantam krisis moneter tahun 1997/1998. Kebebasan pers yang dipasung selama 32 tahun dibuka selebar-lebarnya oleh Eyang. Bagi beliau, urusan Hak Asasi Manusia (HAM) harus diprioritaskan meskipun Indonesia harus merelakan ‘kehilangan’ propinsi ke-27 atau propinsi termudanya kala itu, Timor Timur, yang sekarang menjadi negara merdeka Timor Leste.
Enam tahun lalu, Eyang harus rela ketika separuh jiwanya dipanggil Yang Maha Kuasa. Tahun 2010, Ibu Ainun menyusul Papi (Alwi Abdul Jalil Habibie) dan Mami Eyang, ke alam baka. Cinta sejati Eyang fisiknya memang telah tiada. Namun, kenangan manis dan nasionalis tentang Hasri Ainun Habibie akan abadi dengan buku yang ditulis suami tercintanya, Habibie & Ainun. Selamat hari lahir ke-80, Eyang. Teruslah menginspirasi kami para anak negeri.