Mohon tunggu...
Khairunisa Maslichul
Khairunisa Maslichul Mohon Tunggu... Dosen - Profesional

Improve the reality, Lower the expectation, Bogor - Jakarta - Tangerang Twitter dan IG @nisamasan Facebook: Khairunisa Maslichul https://nisamasan.wordpress.com

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

80 Tahun Habibie dan 71 Tahun Indonesia, Mencintai Tanpa Mendominasi

20 Agustus 2016   20:32 Diperbarui: 21 Agustus 2016   00:25 366
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Eyang Habibie dan Ibu Ainun, sepasang jiwa dalam dua raga (Dok. : Khairunisa Maslichul)

Bagi Eyang Habibie, usia kemerdekaan Indonesia bisa jadi tak ubahnya umur sang adik tercinta. Ini karena proklamasi Indonesia ‘lahir’ 9 tahun setelah Presiden RI ke-3 tersebut berusia 9 tahun 1 bulan 22 hari.  Putra Indonesia yang lahir di Pare-pare Sulawesi Selatan pada 25 Juni tahun 1936 itu sempat merasakan kejamnya pesawat militer Belanda yang menjatuhkan bom di kampung halamannya.  Wajarlah jika pria yang harum namanya di dunia dirgantara sedunia sempat pernah membenci pesawat terbang.

Namun, benarlah kata beliau.  Rudy – begitu nama akrabnya – malah jatuh cinta luar biasa kepada sang burung besi.  “Manusia berencana, namun Allah swt juga yang berkuasa,” kata Eyang Habibie yang fasih berbahasa Jerman dan Inggris.  Pecinta matematika dan fisika serta mainan merek Meccano ini malah mengambil jurusan teknik pesawat terbang kala berkuliah di Aachen, Jerman tahun 1955, tepat 10 tahun usia kemerdekaan Indonesia.

Ini mainan favorit Rudy Habibie kecil, Meccano. Tak kalah kerennya dengan bongkar pasang lego, bukan? (Sumber Ilustrasi : https://en.wikipedia.org/wiki/Meccano)
Ini mainan favorit Rudy Habibie kecil, Meccano. Tak kalah kerennya dengan bongkar pasang lego, bukan? (Sumber Ilustrasi : https://en.wikipedia.org/wiki/Meccano)
Banyak yang bilang, apalah artinya sebuah angka.  Oh, tidak! Setiap angka, sekecil apapun itu, pasti ada makna dan manfaatnya.  Itu pula yang bisa kita dapati saat menyaksikan program “Pameran Foto 80 Tahun Habibie” di Museum Mandiri, Kota Tua – Jakarta, 24 Juli hingga Minggu 21 Agustus 2016.  Pengunjung pameran fotografi 80 Tahun Habibie akan disuguhi rangkaian perjalanan hidup sang Wapres terakhir di era Orde Baru.   

Acara yang terselenggara atas kerja keras dan cerdas Friends of Mandiri Museum tersebut tidak hanya menyajikan koleksi foto kehidupan Eyang Habibie dari usia dini hingga saat ini.  Bagi yang berjiwa seni maupun teknik sejati, pada Minggu 21 Agustus 2015 esok, rangkaian acara “Pameran Foto 80 Tahun Habibie” akan ditutup dengan 3 kegiatan yaitu “Lomba Membuat Pesawat dari Kayu Balsa, Lomba Foto dan Final Stand-Up Comedy, serta Lomba Membatik Pesawat N-250.”  Maka sempatkan diri Anda bersama keluarga ataupun teman dan rekan tercinta untuk menyaksikan ketiga rangkaian program pada penutupan pameran tersebut.

Pameran Fotografi 80 Tahun Habibie berlangsung hingga Minggu 21 Agustus 2016 besok di Museum Mandiri Kota Tua Jakarta (Dokpri)
Pameran Fotografi 80 Tahun Habibie berlangsung hingga Minggu 21 Agustus 2016 besok di Museum Mandiri Kota Tua Jakarta (Dokpri)
Minggu, 14 Agustus 2016, saya berkesempatan melihat langsung biografi hidup Eyang Habibie yang disajikan dalam bentuk barisan foto hitam putih dan juga berwarna.  Keluarga Eyang Habibie pastinya termasuk keluarga yang rapi dalam menyimpan arsip foto mereka.  Contohnya foto Eyang saat berusia TK atau sekitar 5-6 tahun – berarti tahun 1941 atau 1942 - masih terlihat jelas karena terawat baik.  Ada pula foto zaman SD, SMP, SMU di Bandung, hingga masa muda saat kuliah di Jerman pada tahun 1950-an hingga 60-an.

Penonton film “Habibie dan Ainun” pasti mengingat adegan saat Rudy muda – diperankan aktor Reza Rahadian – sedang sakit tuberculosis parah dan dirawat di salah satu RS di Jerman.  Bukannya teringat keluarga atau kekasih tercinta di Indonesia (pastinya juga belum ada karena waktu itu belum bertemu kembali dengan Ibu Ainun), Eyang malah menulis sumpah setianya kepada Ibu Pertiwi untuk menguatkan semangatnya sampai saat ini.  So sweet and patriotic, indeedAnak muda Indonesia, jadikanlah kesulitan dan kesakitan sebagai motivasi hidup seperti halnya Eyang ya #SelfReminder

Lihat, betapa menggemaskannya Eyang Habibie di kala TK (Dokpri)
Lihat, betapa menggemaskannya Eyang Habibie di kala TK (Dokpri)
Sengsara membawa nikmat.  Penyakit TBC jualah yang mempertemukan Eyang kembali dengan his lucky angel atau “Sang Gula Jawa” di tahun 1962 saat cuti kuliah dari Jerman dan pulang sementara ke Kota Paris van Java alias Kota Kembang.  Sayangnya (atau memang disengaja?) tidak ada foto mereka berdua yang ditampilkan saat belum menikah atau saat masih bertunangan.  But, that is much better.  

Foto-foto pernikahan mereka yang penuh rasa cinta nan bersahaja – untuk ukuran zaman mereka, ada satu foto pernikahan yang ‘luar biasa ekspresif’ - secara halus menyampaikan pesan kepada muda-mudi penerusnya : “Kalau sudah saling cocok dan keluarga setuju, tunggu apa lagi?” *indahnya pacaran setelah pernikahan*

Pilihan pasangan hidup Eyang yaitu Ibu Ainun yang 100% asli putri Indonesia semakin menegaskan rasa cinta Eyang terhadap tanah airnya.  Sekalipun pernah ada wanita Eropa yang singgah di hati Eyang – familiar dengan nama Ilona? – pesona wanita Indonesia tetaplah sang juaranya.  Walaupun begitu, Eyang tak serta-merta memaksakan kehendaknya terhadap Ibu Ainun mengenai jumlah buah hati mereka.  Patut diingat, keduanya sama-sama terlahir dari produk ‘KB’ alias ‘Keluarga Besar’ dan (bukan kebetulan) kompak menjadi anak ke-4 dari 8 bersaudara, wow!

Rudy muda menjemput 'Sang Gula Jawa' cinta sejatinya, Ibu Ainun. Ssst! Ada foto mereka yang 'super - tanpa disensor - romantis' lho! (Dokpri)
Rudy muda menjemput 'Sang Gula Jawa' cinta sejatinya, Ibu Ainun. Ssst! Ada foto mereka yang 'super - tanpa disensor - romantis' lho! (Dokpri)
Jauh sebelum pemerintah Indonesia mencanangkan program ‘Cukup 2 Anak saja’ dalam Keluarga Berencana selama Orde Baru – yang berdampak positif dengan terjadinya ‘Bonus Demografi’ saat ini – Eyang dan Ibu Ainun sudah menunjukkan langsung teladan sebagai contoh ideal keluarga berencana.  Anak gadis atau bujang sama baik dan sama disayangnya.  Ilham Akbar, lahir tahun 1963, dan Thareq Kemal, lahir empat tahun setelah abangnya, keduanya menjadi jagoan kesayangan keluarga samara (sakinah, mawaddah wa rahmah) yang dibangun Eyang dan Ibu Ainun selama hampir 50 tahun.

Kebahagiaan dan kesuksesan sebagai eksekutif perusahaan di negeri orang tak lantas membuat Eyang lupa dengan cinta sejatinya kepada Ibu Pertiwi.  Tujuan cinta pertama Eyang, sang ibunda tercinta yaitu R. A. Marini Puspowardojo, mengirim Rudy muda ke Jerman agar tingkat intelektualitas putra beliau menjadi tambah bermutu dan membuat Indonesia semakin maju.  Maka di era tahun 70-an, tepatnya tahun 1974, Eyang kembali ke pangkuan tanah air yang puluhan tahun ditinggalkannya.  

Tahun 1978, Eyang resmi membuat teknologi semakin digemari karena bertambah manusiawi bagi generasi muda – anak sekolah banyak yang mengidolakan sang ahli dirgantara asal Indonesia tersebut dan bercita-cita dapat mengikuti jejak Eyang – dengan menjadi Menristek RI hingga tahun 1998.

Eyang Habibie menjadi idola siswa di Indonesia dengan teknologi pesawatnya bersama IPTN (Dokpri)
Eyang Habibie menjadi idola siswa di Indonesia dengan teknologi pesawatnya bersama IPTN (Dokpri)
Maka, menteri favorit generasi muda Indonesia tersebut sukses menerbangkan pesawat N-250 produksi 100% rakyat Indonesia bersama tim dari IPTN pada ulang tahun emas kemerdekaan Indonesia.  Di tahun 1995, dua dekade sebelum para pendiri media sosial dan teknokrat dunia digital dari Amerika Serikat – pendiri FB, Mark Zuckerberg baru berusia 11 tahun waktu itu - memukau sekaligus menyihir kaum muda di seluruh dunia, 

Eyang sudah menjadi bukti nyata bahwa putra Indonesia tak kalah kualitasnya di bidang teknologi.  Tambahkan pula, Eyang mencontohkan langsung (sangat) mungkinnya keseimbangan antara kesuksesan pendidikan dan pekerjaan dengan menuntaskan kuliah S3 beliau di Jerman.  Catat ya, Eyang selalu lulus kuliah di tiap jenjangnya dengan nilai yang “very good.”   

Antusiasme generasi muda Indonesia saat mecoba menaiki tank dan pesawat rancangan Habibie di Museum Nasional saat Habibie Festival minggu lalu (Dokpri)
Antusiasme generasi muda Indonesia saat mecoba menaiki tank dan pesawat rancangan Habibie di Museum Nasional saat Habibie Festival minggu lalu (Dokpri)
Maka kaum muda Indonesia, lupakanlah tren drop-out kuliah jika semata ingin sesukses ‘trio non-sarjana sekaligus penguasa teknologi dari negara Paman Sam’, Steve ‘Apple’ Jobs dan Bill ‘Microsoft’ Gates serta Mark ‘FB’ Zuckerberg.  Indonesia sudah lama memiliki role model yang layak sekali dicontoh dalam dunia teknologi yaitu Eyang Habibie. 

Namun hebatnya, Eyang tak pernah menganggap dirinya jenius dan bahkan sebal disebut demikian – yang belum atau tidak jenius, kalau mau pongah dan jumawa, tolong diingat sudah menyumbangkan dan berbuat hal baik apa untuk Indonesia tercinta – serta mencontohkan bahwa industri teknologi bisa dimulai dari modal sederhana maupun apa adanya seperti halnya Apple yang dimulai oleh Steve Jobs dan Steve Wozniak dari garasi rumah mereka.

Habibie dari teknokrat lalu birokrat dan menjadi negarawan yang terhormat (Dokpri)
Habibie dari teknokrat lalu birokrat dan menjadi negarawan yang terhormat (Dokpri)
       

Lalu datanglah tahun 1998, tahun yang takkan (pernah) terlupakan bagi segenap rakyat Indonesia.  Dua tahun sebelum era millennium menyongsong, Indonesia menyaksikan pergantian kekuasaan dari era kepresidenan (yang lumayan mirip kerajaan) Pak Harto menuju periode Reformasi di bawah komando Eyang, Wapres ke-7 RI.  Transisi tampuk kepemimpinan nasional dari Presiden RI ke-2 kepada tangan dingin Eyang - namun Syukur Alhamdulillah, selalu minus tangan besi - mampu terkendali tanpa harus mengorbankan lebih banyak lagi air mata para anak bangsa.

Jadilah dengan manajemen Eyang, nilai Rupiah menguat hingga di bawah Rp. 10.000,- setelah dihantam krisis moneter tahun 1997/1998.  Kebebasan pers yang dipasung selama 32 tahun dibuka selebar-lebarnya oleh Eyang.  Bagi beliau, urusan Hak Asasi Manusia (HAM) harus diprioritaskan meskipun Indonesia harus merelakan ‘kehilangan’ propinsi ke-27 atau propinsi termudanya kala itu, Timor Timur, yang sekarang menjadi negara merdeka Timor Leste.

48 tahun bersama Ibu Ainun, Eyang tetap setia mengingat pasangan hidupnya melalui buku yang ditulisnya,
48 tahun bersama Ibu Ainun, Eyang tetap setia mengingat pasangan hidupnya melalui buku yang ditulisnya,
17 bulan menjabat sebagai orang nomor satu di Indonesia, Eyang tak lantas ‘patah hati saat cintanya kepada Indonesia bertepuk sebelah tangan’ dalam Sidang Istimewa MPR-DPR tahun 1999.  MencintaiIndonesia tak harus berarti gagal move on sebagai politisi.  Eyang bersama Ibu Ainun menghabiskan 1 dekade ke depan sebagai warga negara biasa yang bahagia di Jerman dan Indonesia.  Cinta memang tak (selalu) harus memiliki apalagi mendominasi.

Enam tahun lalu, Eyang harus rela ketika separuh jiwanya dipanggil Yang Maha Kuasa.  Tahun 2010, Ibu Ainun menyusul Papi (Alwi Abdul Jalil Habibie) dan Mami Eyang, ke alam baka.  Cinta sejati Eyang fisiknya memang telah tiada.  Namun, kenangan manis dan nasionalis tentang Hasri Ainun Habibie akan abadi dengan buku yang ditulis suami tercintanya, Habibie & Ainun.  Selamat hari lahir ke-80, Eyang.  Teruslah menginspirasi kami para anak negeri.

Raga mereka memang tak lagi bersama, namun jiwa mereka senantiasa berada di sisi satu sama lainnya - Eyang Habibie dan Ibu Ainun (Dokpri)
Raga mereka memang tak lagi bersama, namun jiwa mereka senantiasa berada di sisi satu sama lainnya - Eyang Habibie dan Ibu Ainun (Dokpri)
Dokumentasi adalah milik dan hasil jepretan penulis - Khairunisa Maslichul - kecuali gambar mainan Meccano (bersumber dari sini)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun