Mohon tunggu...
Khairunisa Maslichul
Khairunisa Maslichul Mohon Tunggu... Dosen - Profesional

Improve the reality, Lower the expectation, Bogor - Jakarta - Tangerang Twitter dan IG @nisamasan Facebook: Khairunisa Maslichul https://nisamasan.wordpress.com

Selanjutnya

Tutup

Inovasi Pilihan

[FFPI 2015] Indonesiaku Kebanggaanku, Filmku Nasionalismeku

25 Januari 2016   11:01 Diperbarui: 25 Januari 2016   11:20 123
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

 

 Aktor utama "Surya the School Gangs" menampilkan kemampuan pencak silatnya. The next Iko Uwais? :D (Dokpri)

          Banyak jalan menuju Roma.  Begitu pula dengan bentuk cinta kepada bangsa dan negara.  Salah satunya dengan menunjukkan rasa nasionalisme melalui sinema.  Film memang bukan sekedar rangkaian gambar bergerak untuk disaksikan.  Film sejatinya adalah media bercerita (storytelling) yang memiliki pengaruh luar biasa kepada penontonnya.

          Saya sempat menjadi generasi akhir penonton film wajib “G30/S-PKI” setiap tanggal 30 September di masa Orde Baru berkuasa.  Tema film yang bagus karena mengusung nasionalisme malah membuat saya merinding ketakutan, khususnya adegan saat para jenderal yang menjadi pahlawan revolusi ditangkap dan dibawa ke Lubang Buaya oleh PKI.

Akibatnya, saya lebih memilih untuk menonton film bertema ringan seperti kartun, drama romantis, dan komedi.  Film bertema berat seperti sejarah, perang, horror, aksi laga, dan sebagainya sebisa mungkin saya hindari. Maklum, pikiran saya saat masih kecil tentang fungsi film itu ya sebatas untuk hiburan, terutama saat akhir pekan dan liburan hehehehehe….

          Barulah setelah kuliah, saya memiliki sudut pandang lain tentang film.  Mata kuliah “Apresiasi Film” yang saya ambil di semester 2 sukses menarik minat saya akan film. Tim dosen menyajikan beragam film unik dan menarik bagi mahasiswanya, mulai dari sinema lokal hingga global.  Saya pun menjadi tahu saat itu, film ternyata berakar dari bentuk teater di masa lalu

Malam anugerah FFPI 2015 dari KompasTV dipandu oleh MC Dita (Dokpri)

Teater pula yang konsisten menampilkan kritik sosial terhadap jalannya pemerintahan di suatu negara.  Tema cerita film dan teater juga mencerminkan kondisi masyarakat dan lingkungan yang ada di sekitarnya.  Contohnya film-film di India yang kerap menampilkan tokoh polisi jahat seperti realitanya di sana.  Lalu trend film komedi yang sempat merajai sinema Indonesia pada tahun 80-an yaitu Trio DKI (Dono, Kasino, & Indro).  Sekalipun kisahnya lucu, Trio DKI senantiasa menyisipkan kritik sosial secara halus terhadap pemerintahan Orde Baru yang memang anti dikritik terang-terangan.        

          Saya pun langsung mendaftarkan diri untuk dapat menghadiri malam pemutaran dan penganugerahan piala Festival Film Pendek Indonesia (FFPI) 2015 dari KompasTV.  FFPI ini sudah berlangsung untuk kedua kalinya sejak tahun 2014.  Acara yang berlangsung di Galeri Indonesia Kaya, West Mall, Grand Indonesia Jakarta tersebut berlangsung pada Jum’at, 22 Januari 2016 dari jam 4 sore hingga 7 malam.  Dipandu oleh pembawa acara (MC), Mbak Dita, acara dimulai pada pukul 16.30 WIB.   

Film "Ojo Sok-sokan" berpesan tentang bangga berbahasa Indonesia dan juga daerah (Dokpri)

Tema FPPI 2015 kali ini adalah “Indonesiaku, Kebanggaanku”.  Pastinya banyak hal di Indonesia yang dapat menjadi sumber inspirasi agar setiap warga negara Indonesia selalu bangga menjadi orang Indonesia.  Dibagi ke dalam dua kategori, film produksi umum/mahasiswa dan pelajar, saya bersyukur karena dapat menyaksikan langsung FFPI 2015 dari KompasTV.  Apalagi karena saya mendapati bahwa ide kreatif dan rasa nasionalisme para generasi muda para finalis FFPI 2015 dapat berpadu harmonis dalam media cerita berupa film.  Inilah uraian singkat cerita film dari kesepuluh finalis FPPI 2015.

Bahasa : Lestarikan bahasa daerah dan bangga berbahasa Indonesia

            Zaman sekarang, banyak ditemui fenomena, generasi muda lebih bangga dan percaya diri saat lancar berbahasa asing daripada berbahasa Indonesia.  Bahasa daerah pun kini terancam punah karena penuturnya jika sudah ke kota atau ibukota lalu jarang menggunakan bahasa daerahnya.  Mungkin supaya lebih tampak sebagai orang kota dan bukan lagi orang daerah.  Padahal, baik bahasa daerah maupun bahasa Indonesia termasuk salah satu ciri khas bangsa Indonesia yang harus dijaga keberlanjutannya.

Film “Ojo Sok-sokan” dari kategori umum berkisah tentang dua orang mahasiswa yang sedang makan pada salah satu angkringan di Kota Pelajar Yogyakarta dan berbincang dengan bahasa Jawa.  Salah satunya berniat untuk memiliki smartphone agar tak ketinggalan zaman.  Film produksi Sebelas Sinema Pictures dari Bandung ini lalu menampilkan, si pemuda yang ingin mempunyai smartphone terbaru tersebut juga ogah mendengarkan musik dangdut yang diputar pemilik angkringan.  Kampungan, begitu alasannya.

          Film semakin menarik karena hadirnya seorang wanita yang sedang menunggu dijemput.  Sang pemuda yang ‘alergi’ dengan musik dangdut itu lantas dengan percaya diri (PD) over dosis mengajak sang wanita berbicara dalam bahasa gaul ala Jakarta yaitu ber-gue  dan elu.  Ini karena sang wanita menerima telepon dengan bahasa Indonesia.  Sang pemuda sok kota tersebut yakin, wanita itu pasti berasal dari ibukota.  Siapa sangka, saat jemputannya sudah datang, wanita itu ternyata lancar berbahasa Jawa - yang halus pula - waktu berpamitan.  Pemuda itu pun hanya bisa terbengong-bengong. 

Mampukah Surya membebaskan Aldo yang disekap para preman sekolah dengan kemampuan bela dirinya?
(Dokpri)

Bela Diri Tradisional: Pencak Silat Lokal, Terkenal Secara Global

            “Surya the School Gangs” sukses membuat saya bangga dengan bela diri pencak silat yang merupakan kekayaan budaya lokal bangsa Indonesia.  Khususnya saat generasi penerus yang masih bersekolah mampu berpencak silat sebagai bentuk seni dan bela diri.  Itu jauh lebih baik untuk menyalurkan energi masa muda dibandingkan ikut tawuran yang tak karuan.  Apalagi setelah hadirnya film The Raid yang berskala global dan dibintangi oleh aktor sekaligus para jawara bela diri yaitu atlet pencak silat nasional Iko Uwais dan atlet judo, Joe Taslim.

Film ini merupakan film kategori pelajar dari SMK Muhammadiyah 1 Temanggung, Jawa Tengah.  Tema ceritanya tentang Surya, seorang anak yatim yang jago pencak silat dan sempat putus sekolah karena ibunya kekurangan dana.  Surya juga tergabung pada Tapak Suci, salah satu varian seni beladiri yang diasuh organisasi masyarakat (ormas) Muhammadiyah. 

Saat mampu bersekolah lagi, kemampuannya berbela diri tradisional itu membuatnya berurusan dengan preman sekolah yang sedang me-malak (memeras) Aldo, teman sekolahnya yang berasal dari keluarga kaya.  Setelah ditelepon penelepon misterius, Surya bergegas ke suatu gudang untuk menyelamatkan Aldo.  Di sana, para penyandera Aldo ternyata adalah sekumpulan preman sekolah yang sebelumnya mengganggu Aldo namun sempat ditolong oleh Surya.  Pimpinan para preman tersebut, seorang pria dewasa yang juga piawai berbela diri silat, berjanji melepaskan Aldo jikalau Surya berhasil mengalahkannya.  Berhasilkah pencak silat Surya mengalahkan mereka semua, termasuk si bos preman?

Ajaran Samin di Blora Jawa Tengah melawan penjajahan di Indonesia tanpa kekerasan (Dokpri)

Bela Negara : Tak hanya lewat kekerasan, tapi juga kehati-hatian

            Saat mendengar kata ‘bela negara’, umumnya yang terbayang di kepala adalah dengan cara memanggul senjata dan berperang melawan musuh.  Padahal, bela negara juga bisa berwujud dalam banyak hal lainnya, termasuk tindakan anti kerjasama dengan penjajah saat berperang atau bersikap hati-hati saat menentukan pilihan untuk pemimpin rakyat dalam pemilu.  Dua film dari kategori pelajar yaitu “Samin” produksi Sanggar Seni Sekar Tanjung dan “Coblosan” hasil kreasi SMK Kurasari Purbalingga Jawa Tengah berhasil menunjukkan cara lain yang efektif dalam bela negara.

            Film “Samin” mengisahkan seorang anak dari suku Samin – berbusana khas hitam dengan ikat kepala - yang malu dengan asal-muasal leluhurnya karena dihina oleh teman-temannya.  Maka, sang ibu bocah laki-laki itu lalu bercerita tentang sejarah Pergerakan Samin atau Saminisme yang dahulu melawan penjajah Belanda dengan tindakan non-kooperatif mereka.  Saminisme yang dipelopori oleh Samin Surosentiko di Blora Jawa Tengah itu menganut prinsip sedulur sikep (melawan tanpa kekerasan).   Caranya dengan menolak membayar pajak dan tidak menaati peraturan pemerintah kolonial Belanda maupun penjajah Jepang #KamiTidakTakut

Somad dan Kadir harus menghadapi politik uang dalam pemilihan lurah di desanya pada film "Coblosan" (Dokpri)

          Adapun film “Coblosan” berkisah tentang suasana pemilihan kepala lurah di suatu desa.  Somad dan Kadir mendukung calon lurah baru, Mas Putra, yang dapat membawa perubahan positif untuk kemajuan desa.  Sayangnya, Mas Putra yang bermodalkan idealisme tersebut harus melawan calon lainnya yaitu petahana lurah, Pak Tejo.  Saat kampanye, bahkan sesaat sebelum pencoblosan, tim sukses Pak Tejo terus gencar berpolitik uang (money politics) terhadap penduduk desa.  Somad konsisten menolak amplop berisi uang tersebut.  Namun, Kadir masih mau menerimanya.  Film ini membungkus dengan apik ketika harapan harus berhadapan dengan kenyataan di lapangan saat pemilihan pimpinan di Indonesia.

Bendera : Simbol dan warisan sejarah perjuangan sepanjang zaman

            Sudah menjadi rahasia umum, banyak anak muda di Indonesia kini malas saat harus melaksanakan upacara bendera. Alasannya panas dan enggan berdiri lama di lapangan upacara. Padahal, saat zaman perjuangan, para pahlawan dan segenap rakyat Indonesia rela mengorbankan jiwa serta raganya agar bendera merah putih dapat berkibar dengan tegaknya sebagai tanda kemerdekaan.  Film “Bubar, Jalan!” dari kategori umum dan “Kotak Pusaka” dari kategori pelajar menyisipkan pesan kepada penonton tentang nasionalisme yang bisa dibuktikan lewat penghormatan terhadap bendera merah putih sebagai salah satu simbol negara.

Ahong, sang pemimpin upacara bendera, harus terus menunduk dan menahan rasa sakit karena perutnya mulas sepanjang film "Bubar, Jalan!" (Dokpri)

          Film Bubar Jalan yang diproduksi oleh Rumahku Films dari Garut – Jawa Barat bercerita tentang murid SD negeri, Adam ‘Ahong’ Malik, yang bertugas sebagai pemimpin upacara. Malangnya, Ahong yang bermata sipit itu perutnya mulas bukan main sebelum upacara sehingga bolak-balik ke kamar mandi sekolah. Dua orang teman Ahong yang iseng memasang tanda “Toilet Rusak” di pintu WC.  Maka, selama upacara bendera, Ahong berjuang sekuat tenaga untuk melawan rasa sakit di perutnya dengan banjir keringat dingin yang terus bercucuran.  Mampukah Ahong memimpin upacara bendera hingga akhir acara?

          Sedangkan film Kotak Pusaka menuturkan tentang kebanggaan seorang pemuda sekolah yang juga termasuk anggota Pramuka.  Dirinya memperoleh kain merah putih yang dapat diikatkan di leher saat memakai seragam Pramuka.  Kain merah putih dalam kotak mirip emas itu dikira benda berharga oleh sekumpulan berandalan jalanan sehingga mereka ingin merebutnya dari anggota Pramuka tersebut.

 

Film "Nilep" mengajarkan prinsip kejujuran untuk ditanamkan pada generasi muda sedari dini (Dokpri)

Budaya : Beragam Perilakunya, Semua Sama Menariknya

          Budaya masyarakat Indonesia jelas beragam.  Contoh positifnya yaitu gotong royong, musyawarah untuk mufakat, toleransi, dan masih banyak lagi lainnya.  Ada pula contoh negatifnya (atau malah uniknya?) seperti budaya latah (ikut-ikutan), lempar batu sembunyi tangan, bergosip, KKN (Kolusi, Korupsi, dan Nepotisme), dan sebagainya.  Keempat film berikut ini bercerita dengan kocaknya tentang budaya yang ada pada masyarakat di Indonesia.

          Film “Nilep” dari kategori umum berkisah tentang tukang mainan anak keliling yang menjual lotere (undian) kepada pembelinya.  Empat orang anak berbeda pendapat tentang kejujuran si penjual.  Dua orang anak laki-laki menganggap penjual sengaja memasang nomor kosong atau berhadiah tidak menarik agar anak-anak terus penasaran untuk mencoba keberuntungannya.  Sedangkan dua anak lagi berprinsip, sekalipun dugaan kedua bocah laki-laki tersebut benar, tetap saja mereka tidak boleh melakukan balas dendam.  Apalagi sampai mencuri mainan yang menjadi hadiah dalam pengundian lotere tersebut.

Anak gimbal ini menjadi maskot di daerahnya di Pegunungan Dieng pada film "Ruwat" atau Membuang Sial (Dokpri)

          Lalu, masih dari film kategori umum, “Ruwat” menampilkan budaya ruwat (upacara tolak bala/menolak malapetaka) di daerah Pegunungan Dieng.  Seorang anak berambut gimbal alami dari lahirnya baru mau mengikuti upacara ruwat jika permintaannya berupa mengunjungi Hong Kong telah dipenuhi.  Maka sang orang tua pun – berprofesi sebagai petani yang memiliki seekor sapi - memutar otak dan akal mereka agar keinginan anak tersebut tidak harus dituruti sedangkan upacara ruwat tetap bisa terlaksana.  Akhir cerita yang mengejutkan sukses membuat penonton tertawa terpingkal-pingkal.

Gegara trend batu akik, persatuan dan kesatuan antara ketua kelas dan anggotanya sempat terkoyak pertengkaran (Dokpri)

          Masih ingat trend cincin batu akik di 2015 yang sempat diminati masyarakat Indonesia?  Iming-iming mendadak kaya membuat banyak orang latah berdagang dengan mengoleksi batu akik.  Film “Ali-Ali Setan” dari kategori pelajar bercerita tentang sepasang murid SD yang bertengkar karena cincin batu akik.  Sebagai ketua kelas, Reza membuang cincin batu akik Irman karena menuruti peraturan sekolah : murid laki-laki dilarang memakai perhiasan.  Irman berkelit karena melihat pak guru mereka juga memakai cincin batu akik.  Perbuatan memang selalu menimbulkan dampak lebih kuat daripada perkataan.

Film "Opor Operan" menggambarkan dengan apik dan menggelitik tentang orang Indonesia yang panjang akalnya (Dokpri)

          Film terakhir dari kategori umum yaitu  “Opor Operan” bertutur tentang suasana menjelang Lebaran.  Opor ayam menjadi menu khas tiap kali Idul Fitri di Indonesia.  Namun, dari tiga orang ibu yang bertetangga di suatu pemukiman, hanya satu ibu yang baru selesai memasak opor ayam untuk dibagikan kepada tetangga.  Kebiasaan orang Indonesia yang banyak akalnya – apalagi saat kepepet untuk menjaga gengsi dan harga diri – dikritik dengan cantik plus menggelitik pada film produksi sebelas Sinema Pictures lainnya dari Bandung yang juga menjadi finalis dalam FFPI 2015 ini

Sutradara film "Filosofi Kopi" dan Juri FFPI 2015, Angga Sasongko, memaparkan kriteria film yang berkualitas (Dokpri)

Inilah Para Juara dari Kesepuluh Film Finalis FFPI 2015

          Saat ditanya salah seorang Kompasianer, Ibu Rahayu Damanik, salah seorang juri FFPI 2015 yaitu Angga Sasongko mengungkapkan sejumlah kriteria penentuan pemenang dari sepuluh finalis FFPI 2015.  Menurut sutradara film Cahaya dari Timur : Beta Maluku dan Filosofi Kopi tersebut, teknik produksi film bisa beragam karena mereka ada yang berasal dari sekolah film, komunitas film, sanggar film, maupun eskul film di sekolah. 

Konten film ternyata menjadi penentu utama untuk seorang pembuat film dalam mengoptimalkan kamera film.  Hasil akhirnya yaitu film bisa menjadi media cerita dan penyampaian pesan yang efektif (storytelling kit) dengan alur film yang realistis. Oleh karena itulah, FFPI 2015 yang mengusung tema nasionalisme ini mencari film yang mampu menampilkan nilai-nilai (values) kebangsaan yang ada di Indonesia.  Bahkan sekalipun itu berarti mengkritik diri sendiri seperti film Coblosan yang mengkritik politik uang saat pemilihan pejabat publik.

Para pembuat film dari kategori umum juga berbagi tips dan trik dalam menangani para aktor anak yang mereka sutradarai.  Caranya antara lain memposisikan diri sebagai layaknya seorang anak, percaya kepada mereka tapi jangan sampai dimanja.  Kuncinya adalah para kerja tim (teamwork) yang solid.

Maka, inilah film terbaik dari finalis terbaik FFPI 2015 :

Kategori Umum

Juara 1 : Bubar Jalan

Juara 2 : Ojo Sok-sokan

Juara 3 : Opor Operan

 

Para juri berpose bersama tiga besar pemenang kategori film umum pada FFPI 2015 (Dokpri)

Kategori Pelajar

Juara 1 : Surya the School Gangs

Juara 2 : Coblosan

Juara 3 : Samin

          Bagi yang tidak menghadiri acara FFPI 2015 lalu, jangan khawatir.  KompasTV akan segera menayangkannya dalam waktu dekat.  Pantau terus ya perkembangannya.  Selamat untuk para pemenang FFPI 2015.  Semoga karyanya akan terus bertambah kuantitas dan kualitasnya di masa depan sehingga membawa nama harum Indonesia di dunia internasional.  Salam sinema Indonesia juara.  

Terus berkarya dan menginspirasi Indonesia dan juga dunia bagi para sineas juara dari kategori film pelajar pada FFPI 2015
(Dokpri)

 

 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun