Mohon tunggu...
Khairunisa Maslichul
Khairunisa Maslichul Mohon Tunggu... Dosen - Profesional

Improve the reality, Lower the expectation, Bogor - Jakarta - Tangerang Twitter dan IG @nisamasan Facebook: Khairunisa Maslichul https://nisamasan.wordpress.com

Selanjutnya

Tutup

Inovasi Artikel Utama

BPJS Kesehatan, MUI dan Kontrol Media

1 Agustus 2015   23:13 Diperbarui: 12 Agustus 2015   06:53 1160
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Nurulloh, editor Content & Community Team Kompasiana menjadi moderator Nangkring Setahun BPJS, Kamis 30 Juli 2015 (Dokpri)

 

(Bukan) Momen Kebetulan

Memang tidak ada yang namanya kebetulan di dunia ini. There is no coincidence in this life. Tak terkecuali even Kompasiana pertama pasca Idul Fitri 17 Juli 2015 lalu. Nangkring Kompasianer bersama BPJS Kesehatan dalam rangka sosialisasi setahun BPJS (Badan Penyelenggara Jaminan Sosial) diagendakan pada hari Kamis 30 Juli 2015. Seminggu sebelum even tersebut, admin Kompasiana telah memuat pengumuman pendaftaran untuk Kompasianer yang berminat menghadiri untuk lalu menulis reportasenya selepas acara #BiasakanMenulisLiputanEven

 

Siapa sangka siapa nyana, dua hari sebelum Nangkring BPJS dilangsungkan, Selasa 28 Juli 2015, tiba-tiba tersiar kabar mengenai fatwa MUI (Majelis Ulama Indonesia) yang (katanya) mengharamkan BPJS Kesehatan. Masyarakat Indonesia pun dibuat terkejut, bingung, sekaligus panik dengan berita kontroversial tersebut. Apalagi dengan maraknya (dan simpang-siurnya) pemberitaan di media massa tentang fatwa terbaru MUI tentang BPJS Kesehatan. Belum lagi dengan kekuatan media sosial yang terbukti ampuh menjadi media penyebaran informasi, baik yang datanya valid maupun yang masih berupa kabar burung (rumor, isu, gossip).

 

Oleh karena itu, Alhamdulillah, saya bersyukur karena terdaftar sebagai salah satu dari 55 Kompasianer peserta Nangkring Setahun BPJS Kesehatan di gedung kantor redaksi Kompasiana, Palmerah Barat. Momen Nangkring tersebut sangat tepat untuk mengetahui dan mendengar langsung keterangan serta penjelasan dari pihak BPJS Kesehatan seputar topik terhangat yang kini sedang beredar setelah keluarnya fatwa MUI tentang BPJS yang (dianggap) tidak sesuai syariah. Ohya, tambahkan pula momen silaturahmi dan halal bihalal pasca Lebaran 1436 H dengan sesama Kompasianer dan para admin Kompasiana bagi saya pribadi. Bisa dibilang, sekali dayung, dua tiga pulau terlampaui dengan menghadiri even dua hari lalu di markas Kompasiana #RekanMerangkapTeman

 

Pertemuan yang Mencerahkan

Even Nangkring Setahun BPJS Kesehatan bersama Kompasianer Kamis lalu dimulai pada pukul 15.15 WIB. Setengah jam sebelum acara dimulai, Ruang Ruby di lantai 7 gedung kantor untuk grup digital Kompas (Group of Digital) – termasuk Kompasiana – sudah dipadati para Kompasianer. Saya menyempatkan diri untuk bertegur sapa dengan admin: Mbak Wardah Fajri (Wawa), Mas Deri, Mas Nurulloh, Mas Radja, dan Mas Kevin (Kevinalegion), Mbak Widha Karina, dan Mbak Nur Hasanah. Untuk Kompasianer, sambil menunggu narasumber dari BPJS Kesehatan datang, saya berbincang santai dengan Kompasianer: Bu Muthiah Alhasany, Pak Rushan Novaly, Mas Didik Purwanto (Dito), pasangan suami istri Mas Dede Arianto dan Mbak Farichatul Jannah, Mas Agung Han, Mbak Syifa Ann, Mbak Annisa Nurul K., Mas Uci Junaedi, dan Mbak Edrida Pulungan.

 

Sesaat setelah narasumber dari BPJS Kesehatan tiba, pelan saya berujar kepada Mas Dito yang duduk di sebelah saya: “Wah! Inilah narasumber Nangkring yang paling ditunggu. Sepertinya bakal ‘hangat’ Nangkring kali ini.” Mas Dito tersenyum kecil menanggapi komentar spontan saya tersebut.

 

Pak Ikhsan, pria besar berusia setengah baya asal Padang yang ramah dan murah tersenyum tersebut datang mewakili BPJS Kesehatan sebagai Kepala Grup Komunikasi Publik dan Hubungan Antar Lembaga. Saya yakin, beliau sadar benar bahwa BPJS Kesehatan yang baru berusia 1 tahun 7 bulan (1 Januari 2014) sedang menjadi sorotan tajam publik dengan adanya fatwa MUI terbaru di awal minggu ini.

 

Namun, kepala dingin dan hati lapang memang terbukti selalu dapat menghasilkan solusi dan prestasi. Jadi, sebelum membahas lebih jauh mengenai setahun BPJS dalam Nangkring bertema “Capaian dan Kinerja BPJS Kesehatan dalam Program Jaminan Kesehatan Nasional” yang dipandu oleh Mas Nurulloh sebagai editor dari Content & Community Team Kompasiana, Pak Ikhsan langsung tanggap mengklarifikasi fatwa MUI tersebut di awal penuturannya.

 

Beliau yang turut menghadiri Sidang Ijtima’ Komisi Fatwa MUI pada bulan Juni 2015 di Pondok Pesantren Attauhidiyah, Tegal, menyatakan bahwa MUI tidak menyebutkan istilah ‘haram’ untuk program JKN dari BPJS. Sebagai informasi tambahan, BPJS Kesehatan adalah nama BADAN resmi pemerintah yang mengelola jaminan sosial di bidang kesehatan berupa PROGRAM Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) untuk seluruh penduduk Indonesia.

 

Sedangkan untuk program jaminan sosial di bidang ketenagakerjaan, badan yang berwenang mengurusnya adalah BPJS Ketenagakerjaan. Setahu saya, sekalipun sama-sama berupa asuransi, hingga hari ini, baru program JKN dari BPJS Kesehatan yang mendapat fatwa tidak sesuai prinsip-prinsip syariah dari MUI. Sementara itu, program Jaminan Kecelakaan Kerja (JKK), Jaminan Hari Tua (JHT), Jaminan Kematian (JKM) dan Jaminan Pemeliharaan Kesehatan (JPK) dari BPJS Ketenagakerjaan belum terdengar fatwa tentang halal haramnya dari MUI. Apakah akan menyusul setelah ini?

 

Informasi dari Pak Ikhsan tersebut lumayan mencerahkan tanda tanya besar yang dimiliki para Kompasianer peserta Nangkring BPJS Kesehatan. Fatwa terkini MUI tentang program JKN dari BPJS Kesehatan yang dianggap tidak syariah tentunya meresahkan kaum muslimin di Indonesia sebagai pemilik atau calon pemilik polis JKN.

 

Setelah saya cermati lebih jauh lagi seusai menghadiri Nangkring BPJS Kesehatan, sebagai lembaga resmi perwakilan para ulama di Indonesia, apapun tindakan dan keputusan serta fatwa MUI sangat berpotensi menimbulkan ‘Halo Effect (Efek Halo)’ bagi banyak orang. Efek Halo yang dikemukakan oleh psikolog pendidikan, Edward Thorndike, tersebut merupakan tipe spesifik dari fenomena bias konfirmasi (Confirmation Bias). Kedua istilah adalah bagian dari cabang ilmu bidang ekonomi yang berkaitan erat dengan ranah psikologi, terutama pengambilan keputusan (decision making) yang dikenal sebagai Ekonomi Perilaku (Behavioral Economics).

 

Efek Halo adalah “kesan keseluruhan – bisa positif atau negatif berupa daya tarik (attractiveness) yang lebih besar – dari penilaian terhadap seseorang atau sesuatu.” Orang akan cenderung menilai bahwa produk pangan dari Timur Tengah lebih halal daripada produk di negara lainnya. Contoh sederhana lainnya, sekalipun sama-sama berprofesi sebagai penulis, alumni pesantren yang menjadi penulis akan terkesan lebih alim dan sholih dibandingkan penulis yang berasal dari non-pesantren. Padahal, tidak tertutup kemungkinan, kenyataan yang terjadi malah sebaliknya #KesanTertentuBisaMenipu

 

Begitu pula kini yang terjadi dengan kesan yang dimiliki terhadap fatwa MUI dan program JKN dari BPJS Kesehatan. Seandainya fatwa program JKN tidak sesuai syariah disampaikan hanya oleh sebagian ulama di Indonesia secara pribadi atau individu, dan bukannya atas nama lembaga atau institusi resmi, maka efek Halo yang terjadi tidak akan terlalu kontroversial maupun seramai seperti sekarang.

 

Di lain sisi, adanya program JKN yang mewajibkan seluruh penduduk Indonesia untuk memilikinya tak pelak menimbulkan kesan betapa luar biasanya nominal dana JKN yang dihimpun dan ditangani BPJS Kesehatan selama ini. Kesan tersebut kemudian bisa memicu tentang anggapan adanya bunga yang dihasilkan dari himpunan dana program JKN yang disimpan di bank non-syariah sebagai mitra resmi BPJS Kesehatan yaitu BNI, Mandiri, dan BRI.

 

Di sinilah peran media sebagai penyebar dan pengontrol arus informasi mengenai fatwa MUI tentang program JKN dari BPJS Kesehatan menjadi sangat strategis dan penting. Saya pernah menyaksikan tayangan di dua stasiun televisi swasta nasional – selain Kompas dan Kompasiana TV - yang berbeda mengenai isu haram dari MUI kepada program JKN.

Alih-alih pemirsa disuguhi tayangan dengan berita yang objektif dan meliputi penjelasan dari kedua belah pihak (cover both stories), sayangnya informasi yang disampaikan cenderung membela satu pihak dan menyalahkan pihak lainnya. Ada yang membela MUI dan lantas menyudutkan BPJS Kesehatan, begitu pula sebaliknya. Jikalau sudah begini, bias konfirmasi berupa efek Halo akan semakin membesar nilai sensasinya karena masyarakat pasti sudah memiliki kesan tertentu kepada kedua stasiun televisi swasta nasional tersebut.

 

Ikhsan, narasumber dari BPJS Kesehatan yang merupakan Kepala Grup Komunikasi Publik dan Hubungan Antar Lembaga (Dokpri)

 

Diskusi Berisi Esensi

Jujur, saya salut dengan ketenangan sikap dan kesantunan perilaku yang telah ditunjukkan oleh segenap jajaran BPJS Kesehatan melalui media massa dalam menanggapi fatwa MUI terbaru tentang program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) yang mereka kelola selama ini. Sejak fatwa haramnya program JKN dari BPJS Kesehatan beredar luas di kalangan umum, berdasarkan pengalaman saya dalam mengikuti perkembangan beritanya melalui media massa, saya belum mendapati pihak BPJS Kesehatan menanggapinya dengan emosi yang meledak-ledak.

 

Bisa jadi karena pihak BPJS Kesehatan telah menyadari bahwa media bersama para timnya sangat efektif dan efisien peran serta fungsinya sebagai penyeimbang dan pengontrol informasi yang beredar di kalangan masyarakat luas. Hal ini terbukti dari paparan Pak Ikhsan saat Nangkring BPJS yang menyatakan bahwa dari target tingkat kesadaran (awareness) masyarakat sebesar 65% tentang adanya program JKN, ternyata melampaui target hingga mencapai 95%.

 

Program JKN dari BPJS yang dimulai sejak 1 Januari 2014 memang terjadi pada periode ketika arus informasi begitu mudahnya diakses masyarakat umum via media massa dalam format cetak dan digital serta media sosial. Munculnya blog yang diisi para jurnalis warga juga turut membantu proses distribusi informasi yang berimbang, obyektif, dan inspiratif tentang program JKN, termasuk dari para Kompasianer.

 

Setelah di awal Nangkring Pak Ikhsan menyampaikan sekilas info tentang fatwa MUI yang diketahuinya langsung, diskusi Nangkring berjalan sesuai tema yang telah dijadwalkan yaitu capaian dan kinerja yang berhasil diraih BPJS Kesehatan selama setahun. Pertanyaan dari lima orang Kompasianer selama dua kali sesi tanya jawab di akhir acara juga bisa tetap berfokus seputar prosedur dan mekanisme penggunaan program JKN dari BPJS Kesehatan. Untuk itu, patut kiranya segenap tim Kompasiana, admin dan Kompasianer, diapresiasi untuk profesionalisme mereka dalam Nangkring BPJS Kamis lalu.

 

Malamnya, saya masih bertahan di studio Kompasiana untuk mengikuti diskusi di Kompasiana TV pada pukul 20.00 WIB melalui fasilitas Hangout dari Google. Saya hanya bisa tersenyum saat diberi tahu Mas Kevin tentang topik hangout malam itu: “Topiknya BPJS Kesehatan ya, Mbak.” Benar-benar trending topic yang fresh from the oven karena sorenya baru saja Nangkring Setahun BPJS dilaksanakan.

 

Mas Iskandar Zulkarnaen (Isjet), admin senior Kompasiana, sempat ramah menyapa saya sejenak sebelum siaran Kompasiana TV dimulai sambil berpesan singkat: “Enjoy the hangout.” Esoknya, Jum’at 31 Juli 2015, Mas Isjet memuat artikel beliau yang aktual dan informatif di Kompasiana dengan judul “Ini Salinan Fatwa BPJS Kesehatan dan Hasil Ijtima' Ulama Komisi Fatwa MUI 2015.”

 

Selama proses menunggu on-air Kompasiana TV yang mengusung tagline “Memberi Esensi, Bukan Sensasi,” Mas Hari, admin Kompasiana yang menangani fasilitas Google Hangout malam itu, mempersilahkan saya dan Kompasianer dari Jerman, Mbak Denina (Denny Napitupulu) saling berkomunikasi. Kami pun lalu berbagi informasi tentang asuransi kesehatan yang ada di Jerman dan di Indonesia.

 

Mbak Denina yang berprofesi sebagai peneliti dan telah tinggal selama 10 tahun di Jerman menuturkan bahwa dirinya lebih memilih untuk memiliki asuransi kesehatan dari pemerintah daripada swasta. Alasannya karena lebih terjamin sekalipun iurannya lebih mahal dibandingkan swasta.

 

Denda 2% dari BPJS Kesehatan bagi para penunggak iuran program JKN – yang dianggap MUI sebagai salah satu bentuk bunga – ditanggapi oleh Mbak Denina sebagai salah satu cara mendisplinkan peserta dalam membayar iuran per bulannya karena di Jerman pun memberlakukan sistem denda (penalty). Mekanismenya adalah setiap bulannya, pihak pemerintah Jerman akan secara otomatis memotong sejumlah dana dari bank pemilik polis asuransi kesehatan sesuai besaran iuran yang telah disepakati sebelumnya di awal. Jikalau dana yang tersedia di bank tidak mencukupi, pihak pemerintah Jerman akan memberitahukan terlebih dahulu kepada pemilik rekening yang bersangkutan agar menambah jumlah saldonya. Jikalau peringatan tersebut tidak diindahkan, barulah denda sebesar 10 Euro akan dikenakan sebagai sanksi keterlambatan pembayaran iuran.

 

Diskusi kami harus dihentikan sementara ketika Kompasiana TV dimulai tepat pukul 20.05 WIB. Host Mbak Cindy didampingi dua orang narasumber Pak Irfan Humaidi sebagai salah satu staf dalam tim Humas BPJS Kesehatan yang dipimpin Pak Ikhsan dan Dr. Erwandi Tarmidzi selaku pakar ekonomi syariah dari STEI (Sekolah Tinggi Ekonomi) Tazkia di Bogor.

 

Sejak awal dan selama penuturannya dalam Kompasiana TV, Pak Irfan menyampaikan bahwa BPJS Kesehatan tidak sedang membela diri atau meng-counter namun sebatas menjelaskan (tabayyun – bahasa Arab) mengenai apa dan bagaimana program JKN seperti apa adanya prosedur dan mekanisme yang telah dijalankan. Pihak BPJS Kesehatan pun selalu terbuka dengan kritik, saran, dan masukan yang ada. Pak Irfan juga adalah Pimpinan Redaksi media Info BPJS Kesehatan yang menerima tulisan artikel/opini seputar BPJS dan tema kesehatan lainnya yang relevan di Indonesia. Panjang tulisan 7000 karakter (termasuk spasi) dan bisa dikirim beserta identitas lengkap dan foto penulis ke redaksi.infobpjskesehatan@gmail.com.

 

Pihak MUI memang dalam beberapa keterangan dari narasumber mereka di media, menyatakan bahwa akad dan prosedur JKN dari BPJS Kesehatan dirasa tidak jelas dan tidak transparan sehingga menyalahi aturan syariah. Namun, Doktor Erwandi memiliki pendapat yang berbeda tentang MUI mengenai hal tersebut. Menurut beliau, akad dan prosedur program JKN dari BPJS Kesehatan tidak bersinggungan dengan ketentuan syariah. Untuk hal itu, saya sependapat dengan dosen dan senior di kampus tempat saya mengajar saat ini. Mengapa bisa begitu?

 

Berdasarkan pengalaman pribadi saya, seseorang harus mengisi formulir pendaftaran saat akan menjadi peserta program JKN sehingga mengetahui dengan pasti hak serta kewajibannya, tak terkecuali denda untuk keterlambatan pembayaran iuran JKN. Pak Irfan juga menyampaikan, pihak BPJS menyediakan brosur informasi yang disediakan untuk dibaca para pemilik dan juga calon pemilik polis JKN agar masyarakat mendapat informasi yang sejelas-jelasnya.

 

Untuk prosedur pengelolaan dana BPJS Kesehatan, sesuai keterangan Pak Ikhsan saat Nangkring BPJS, laporan keuangan BPJS Kesehatan per tahunnya rutin diaudit oleh tim auditor independen dari KAP Kanaka Puradireja, Suhartono. Hasil audit menunjukkan laporan keuangan BPJS Kesehatan telah 23 kali berturut-turut – sejak masih bernama PT Askes - mencapai kategori terbaik menurut Standar Akuntansi Keuangan di Indonesia yaitu ‘Wajar Tanpa Modifikasian/WTM’ (dulu disebut sebagai ‘Wajar Tanpa Pengecualian/WTP’).

 

Menanggapi usulan MUI dan juga Doktor Erwandi agar dana program JKN yang dimiliki BPJS Kesehatan bisa disalurkan ke bank syariah untuk menghindari bunga bank (riba), Pak Irfan menyatakan BPJS Kesehatan siap mewujudkan usulan tersebut dengan bank syariah yang nantinya akan ditunjuk sebagai mitra oleh pihak pemerintah. Semoga polemik tentang fatwa MUI tentang program JKN dari BPJS Kesehatan ini segera menghasilkan solusi yang memberi manfaat bagi semua pihak, terutama seluruh penduduk Indonesia sesuai amanat UUD 1945 tentang kesejahteraan rakyat.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun