Gue berdiri di depan pintu cafe dan memerhatikan seantero cafe. Lalu berjalan menghampiri sebuah meja dengan tiga orang glamories. Gue malu dengan kehidupan mereka yang seperti emas di toko perhiasan. Entahlah, gue lebih memilih menjadi bahan bangunan, daripada menjadi sebuah perhiasan.
"Lama banget, lo! Buruan, mau pesen apa?" tanya Vee.
"Lah, gue ga mau mesen makanan yang menyiksa diri, gue!"
"Lebay, lo!"
"Lah, lu yang lebay, makan harus dijaga ketat banget, sekalian ajalah lu gaji security buat jaga berat badan, lu! Kalo makanlah, ya dikira-kira juga, kali. Kalo berat badan naik, ya olahragalah!" oceh gue seraya mengupil.
"Iww, jorok, lo!"
"Udah ... sabar, Yank. Lagian, kenapa kamu ajak dia? Tahu dia somplak, gini." Andre menggenggam tangan Dee.
Gue cuek saja dengan spekulasi mereka berdua. So, semua orang bebas berpendapat, berekspresi, berkarya dan menilai. Tapi sayangnya, kebebasan malah menjadi pengantar menghina kekurangan orang lain.
"Yaudah, kita mau makan dulu. Kalo lo mau mesen, pesen aja! Gue yang bayarin," ucap Andre.
"Lah, ga bakalan gue pesen makanan. Simpen aja uang, lu, Andre Jhackon." Gue mengangkat sebelah kaki, duduk bergaya seperti laki-laki gagah.
"Terserah...."
Dee, Andre dan temannya mengunyah dengan lahap. Gue jijik melihat menu makanan yang sadisnya melebihi pembunuhan berantai. Salad, tahu rebus, tempe panggang dan timun, tomat, wortel yang dicincang-cincang. Aduh, namanya apa, ya? Pacar, eh, mantan! Eh ... bodoh amat!!
Gue menggigit ujung plastik cilok. Menarik satu persatu cilok dari dalam plastik. Mengunyahnya dengan nikmat yang tiada tanding. Very, hot!! Kang Kabayan mengerjai, gue. Hahaha, Kang Kabayan. Gue jadi ketularan gaya bicaranya. Lah, lah, lah, aku sayang sekali ... cilok Kang, Ka ... bayan! Hehehe....
"Oya, kenalin, ini Valdo Ferlando," ucap Andre sambil mengunyah, "Aldo, ini Ventsy."
"Hai, gue Aldo." laki-laki itu mengacungkan tangannya ke arah gue.
"Gue Ven." Gue mengupil lalu menjabat tangannya. Mampus, lu!
"Yang sopan, Ven!" omel Dee.
"Lu, kalo makan, makan aja! Ga sopan, makan sambil ngobrol!" Gue tersenyum menang dan melanjutkan makan.
"No problem." senyum Aldo. Gue tak menanggapinya. Cilok gue keburu basi, kalau menanggapi orang-orang tak penting dengan alay bin lebay tingkat dewa.
TUUUT ... TRUUTT ... TUT ... TUUT...
"Uweekkk ..., jorok lu ga kebendung, Ven!" Dee memuntahkan makanan dari mulutnya. Sedangkan dua laki-laki gila itu, hanya menutup hidung dengan tangan.
"Jangan dihirup, baunya!" Gue tetap cuek.
"Malu-maluin, Ven."
"Lu punya malu, Ndre? Gaya rambut lu, aja, udah kayak sapu ijuk!" Gue tertawa puas.
"Hahaha, gue setuju!" Aldo ikut tertawa.
"Wah, sama somplak, lo berdua!" Dee menepuk jidat.
"Sialan, rambut ala K-Pop, lo pada bilang sapu ijuk? Urat saraf, lo berdua, tuh, yang udah kayak cacing kepanasan! Udah ga rapi lagi!"
"Tinggal setrika, aja, ntar lurus lagi!" jawab gue seraya membuang plastik cilok ke gelas yang air putihnya sudah masuk ke perut gue.
"Atau dicatok! Kata cewek-cewek, catokkan bener-bener bagus untuk meluruskan rambut. Apalagi, kalo dipake untuk meluruskan saraf?! Pasti hasilnya lebih rapi dari rambut," sahut Aldo.
"Hahaha, pinter juga, lu!" tawa gue semakin menjadi-jadi.
"Wah, tingkat somplak mereka udah overdosis!" Dee menutup wajahnya dengan tas imut-imut lebay.
"Jangan ajak mereka lagi, deh! Ampun, gue!" Andre mengacak-acak rambut.
"Ga masalah ama, gue. Gue seneng, kalo kalian ga ngajakin gue, lagi!"
"Weeh, manusia kayak kita, nih ... sold out!"
"Kita? Gue, gue. Lu, elu!" Gue meletakkan selembar uang seratus ribu dan bangkit meninggalkan cafe.
"Uangnya buat apa, Ven?" teriak Aldo.
"Buat apa, aja. Kalo lu mau, ambil aja!" Gue menstarster motor dan mengegasnya sejauh mungkin dari cafe berbahaya itu.
Maaf, bersambung....
Copyright Wattpad @divkamayasarihilry
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H