Di era digital, semua manusia dapat dengan mudah saling terhubung antara satu dengan yang lainnya.Â
Terhubung dengan teman-teman lama, saudara-saudara jauh, begitu juga dengan orang-orang di masa lalu, yang mungkin saja telah dikubur dalam-dalam beserta kenangan pahit maupun manis yang menyertainya.
Relasi yang berkaitan dengan memori lawas dengan teman maupun keluarga, akan mendukung penguatan perasaan ketika di usia dewasa awal. Namun, ketika berhubungan dengan mantan kekasih, ini yang dapat serta-merta menggoyahkan seseorang pun relasi asmara yang sedang dijalaninya.
Atau dalam cerita yang lain, teman saya memutuskan batal menikah karena merasa belum siap sementara secara finansial---semua hal telah mampu dan tercukupi. Ternyata permasalahannya terletak pada dia dan diri sendiri (innerself).
Saya memiliki beberapa teman yang terjebak perasaan "masih mencintai mantan kekasih" sementara ia telah melangsungkan hubungan pertunangan dengan kekasihnya saat ini.Â
Merumitkan. Tetapi ini hal yang harus dihadapi, baik bagi dirinya sendiri maupun pasangannya.
Ketika seseorang yang berada di masa lalu kembali datang, ia tidak sekadar membawa kenangan dalam bentuk memori yang terekam di dalam amygdala seseorang.Â
Dalam suatu film lawas yang pernah saya tonton yakni "Eternal Sunshine Of The Spotless Mind" dijelaskan bahwa ketika seseorang pergi atau kembali, ada tiga hal yang terbawa, yakni kenangan yang terekam dalam pikiran, perasaan (emosi), dan otot (tubuh).
Sejujurnya, saya agak menyangsikan (lebih tepatnya baru mengetahui) tentang kenangan tubuh, sehingga saya tergelitik untuk mencari tahu; hasilnya tubuh merupakan suatu medium yang merekam dan menampung segala emosi dan pikiran sehingga ia akan muncul di waktu-waktu yang tidak terduga.Â
Dalam artikel yang ditulis Krystine Batcho, Profesor Psikologi, Le Moyne College dimuat pada innerself.com  dijelaskan bahwa suatu kenangan dapat tumbuh subur ketika berada dalam masa-masa transisi.
Tidak hanya muda menuju tua, tetapi perubahan ini bersifat default, tergantung dengan konteks momen, ruang, dan waktu. Meski kerinduan tersebut bersifat universal, namun Dislokasi atau keterasingan akibat konflik militer, pindah ke negara baru atau kemajuan teknologi juga bisa menimbulkan nostalgia (kerinduan terhadap sesuatu hal).
Apa yang dapat dilakukan?
Kenangan didapatkan dari proses mengalami dan menjalani pengalaman hidup di masa lalu. Tindakan mengingat kembali disebut dengan nostalgia.Â
Terkadang, nostalgia didefinisikan sebagai sesuatu yang negatif dan mengganggu kestabilan pikiran atau hubungan di masa kini. Namun ketidakstabilan ini lebih kepada mekanisme tubuh yang merindukan sesuatu hal yang pernah didapatkan tetapi tidak didapatkan di masa kini.
Dikutip dalam innerself.com dijelaskan bahwa Norman Rockwell 'The Runaway' (1958). James Vaughan / flickr, CC BY-NC-SA menjelaskan bahwa di masa lalu, para teoretikus cenderung menganggap nostalgia sebagai hal yang buruk - mundur dalam menghadapi ketidakpastian, stres atau ketidakbahagiaan.Â
Di 1985, teoretikus psikoanalitik Roderick Peters menggambarkan nostalgia yang ekstrem sebagai sesuatu yang melemahkan, sesuatu yang "terus-menerus mengganggu dan mengganggu usaha individu untuk mengatasi keadaan saat ini."
 Satu hal yang dapat dilakukan adalah menemukan diri sendiri dalam keheningan, untuk menyelaraskan pikiran, jiwa, dan tubuh, sehingga dapat menjernihkan pikiran untuk dapat mengetahui apa yang sesungguhnya diinginkan.
Masih berdasarkan tulisan Krystine Batcho diketahui bahwa Sebuah studi 2015 menunjukkan bahwa ingatan nostalgia bisa menjadi kekuatan yang menstabilkan.Â
Hal ini dapat memperkuat rasa kontinuitas pribadi kita, mengingatkan kita bahwa kita memiliki sekumpulan kenangan kuat yang sangat terkait dengan identitas kita.
Orang yang mendengarkan cerita kakeknya sebagai anak kecil, bermain bisbol remaja dan berpesta dengan teman-teman di SMA masih sama orang hari ini.
Upaya Rekonsiliasi, Dapatkah Membantu?
Sebagai perbandingan, memori kita tidak seperti DVD yang selalu menampilkan data yang persis dan akurat maupun sama setiap kali diputar. Kadang kala, nostalgia terhadap kenangan hanya dapat dirasakan berdasarkan interpretasi sendiri.Â
Sayangnya pikiran, tubuh, maupun perasaan hanya cenderung merekam suatu tindakan, peristiwa, maupun emosi yang menyakitkan. Sehingga perlu untuk dituntaskan, salah satunya dengan cara rekonsiliasi.
Di dalam KBBI, rekonsiliasi didefinisikan sebagai perbuatan memulihkan hubungan persahabatan pada keadaan semula; perbuatan menyelesaikan perbedaan. Hal ini dapat dilakukan secara universal, termasuk kepada diri sendiri maupun orang-orang di luar diri.
Penelitian yang telah dilakukan Krystine Batcho sejak 1998 telah menunjukkan bahwa kenangan nostalgia cenderung berfokus pada hubungan kita, yang dapat menghibur kita selama masa-masa sulit atau sulit.Â
Meskipun kita telah menjadi mandiri dan dewasa (bahkan mungkin sedikit letih), kita masih menjadi anak orang tua kita, saudara laki-laki saudara laki-laki kita dan kekasih kita.Â
Dalam mengembangkan retrospektif survei pengalaman masa kanak-kanak. Krystine Batcho menemukan bahwa mengingat bahwa kita mengalami cinta tanpa syarat saat anak-anak dapat meyakinkan kita saat ini - terutama selama masa-masa sulit.
Kenangan ini bisa memicu keberanian untuk menghadapi ketakutan kita, mengambil risiko yang wajar dan mengatasi tantangan. Alih-alih menjebak kita di masa lalu, nostalgia dapat membebaskan kita dari kesengsaraan dengan mempromosikan pertumbuhan pribadi.
Krystine Batcho juga menunjukkan bahwa orang dengan kecenderungan nostalgia lebih besar lebih mampu mengatasinya dengan kesengsaraan dan lebih cenderung mencari dukungan emosional, saran dan bantuan praktis dari orang lain.Â
Mereka juga lebih cenderung menghindari gangguan yang mencegah mereka menghadapi masalah mereka dan memecahkan masalah.
Rekonsiliasi adalah dengan menyapa kembali kenangan, ataupun bertemu kembali dengan orang-orang yang masih "terpendam" akibat interaksi atau peristiwa yang memutus hubungan, padahal hal tersebut belum terselesaikan. Dialog, dapat dilakukan dengan diri sendiri, benda-benda, tempat maupun dengan orang lain.
Milenial, yang kerap kali dilabelkan sebagai generasi yang tidak stabil sebagai dampak teknologi maka perlu untuk lebih mengenal diri, tidak hanya pada permukaan namun juga secara mendalam.Â
Sehingga hal ini mendorong pengambilan keputusan yang tidak hanya disebabkan karena ambisi ataupun penetrasi dari luar diri.Â
Karena bila terhanyut, tenggelam, maupun tidak terselesaikan, hal ini dapat mengganggu proses pertumbuhan diri ke tahap selanjutnya.Â
Atau kondisi ini akan menyebabkan kesalahpahaman terhadap orang di luar diri yang memiliki interpretasi yang tidak tepat, lalu menimbulkan konflik dan dampak yang nyata.
Selamat menunaikan rekonsiliasi kepada hal-hal yang belum selesai, semoga hati terus damai dan jiwa terus bertumbuh. Salam!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H