Mohon tunggu...
Retno Wahyuningtyas
Retno Wahyuningtyas Mohon Tunggu... Human Resources - Phenomenologist

Sedang melakoni hidup di Yogyakarta

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

[Mendulang Berkah dari Bisnis Sampah] Perjalanan Mengenal Pengepul Sampah di Ledokombo

29 Januari 2019   22:07 Diperbarui: 29 Januari 2019   22:13 670
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Tiga tahun yang lalu, saya pernah menjadi pendamping komunitas di salah satu NGO yang berkonsentrasi untuk mendampingi buruh migran purna di desa Ledokombo, Jember, Jawa Timur.

Saya mendapatkan kesempatan untuk berkenalan dengan pengepul sampah, maka waktu itu, Saya dan Ibu Juhairiyah pergi ke beberapa pengepul sampah. Dalam waktu dekat program pemberdayaan bank sampah yang akan diuji-coba di beberapa titik dampingan. Saya dan Ibu Juhairyah semangat untuk mencari beberapa pengepul terdekat yang lebih mudah dijangkau sehingga tidak perlu ada biaya transportasi tambahan saat akumulasi sampah. 

Berbekal akumulasi nekat, tekad dan tahu wilayah Ledokombo ala kadarnya, saya bersemangat mengajak Ibu Ju untuk melihat-lihat wilayah Lembengan. Meskipun telah berada di Ledokombo selama sepuluh bulan, saya hanya rutin mengunjungi tiga desa dan beberapa titik dusun dampingan saja. Sementara wilayah Kecamatan Ledokombo lainnya tdak pernah saya kunjungi. Maka momen ini adalah luang untuk mengenal sisi lain wilayah Leodokombo yang secara administratif terdiri dari sepuluh desa.

Sambil lirik-lirik sepanjang perjalanan, saya mengintai beberapa tempat yang merupakan pengepul besar. Tempat yang pertama kali kita kunjungi adalah gudang pengepul Fendi, jarak tempuh dari Tanoker hanya sejauh 2 km, cukup dekat sehingga akses penjemputan menjadi lebih terjangkau. Secara fisik ketika mengunjungi gudang pengepul Fendi suasananya rapi, sampah menggunung sesuai dengan jenis-jenia yang dikumpulkan yakni sampah kertas, sampah elektronik, sampah air mineral, sampah botol platsik dan kaca, sampah bekas perkakas rumah tangga, dan lain-lain. Semua sudah terpilah rapi sehingga meskipun ketika akan menuju rumah Mas Fendi, tidak tecium aroma sampah yang tidak sedap. 

Saat berkunjung ke rumah Mas Fendi, kami disambut oleh perempuan ramah yang langsung mempersilahkan kita untuk duduk. Saat istri Mas Fendi, bernama Ayu pamit sebentar ke belakang lalu Ibu Ju membisikkan sesuatu kepada saya 'Nyaman (Madura : enak) ya dek Retno, rumahnya bagus, perkakas rumahnya lengkap. Ini termasuk orang yang sukses meskipun pekerjaannya ngurusin sampah'. Saya Cuma senyum-senyum sendiri lalu berbisik balik 'jangan lihat hasilnya Bu, sebentar lagi kita akan tanya-tanya ilmunya'. 

Informasi yang didapat dari Pengepul Fendi

Obrolan diawali dengan menanyakan informasi tentang usaha pengempul sampah yang dikelola Mas Fendi (saat kita berkunjung Mas Fendi sedang tidka berada di tempat karena ada urusan). Mbak Ayu menjelaskan tentang sampah yang diterima oleh pengepul Fendi, Bu Ju mulai lancar bertanya tentang beberapa hal sementara saya mencatat jenis dan sesekali melengkapi pertanyaan.

Tetapi inti kunjungan adalah merincikan informasi harga sampah dan jenis sampah yang diterima, dari Mbak Ayu saya akhirnya bahwa tahu bahwa harga penjualan sampah di tingkat pengepul tidak selalu sama sehingga sewaktu-waktu harga bisa naik dan turun tergantung harga yang ditetapkan oleh pabrik. 

Salah satu yang unik juga dari berbagai jenis sampah, pengepul Fendi tidak menerima sampah plastik kresek dan plastik kemasan snack, detergen, minyak goreng, dll. Sehingga ini menjadi catatan bagi pendamping untuk mencari informasi kepada pengepul yang lain. Menurut Mbak Ayu, sampah plastik jenis kresek dan kemasan makanan tidak diterima karena tidak ada permintaan dari pabrik, atau biasanya ada pengepul khusus yang menerima sampah plastik lalu bekerja sama dengan pabrik daur ulang khusus pengelolaan sampah plastik.

Untuk penjualan sampah, semua sampah diklasifikasikan lalu dihargai per satuan jenis sampah sehingga sampah yang dijual dapat lebih rinci dan ini lebih cocok bagi kegiatan bank sampah khususnya bagi ibu-ibu yang baru belajar untuk memilah sampah. Macam-macam sampah yang diterima terdiri dari sampah besi, alumunium, plastik, botol, kaca-beling, sepatu dan sandal yang terbuat dari bahan kain, dll.

Sampah-sampah yang sudah dikumpulkan dan dijual ke pengepul Fendi selanjutnya akan dijual kepada pabrik-pabrik daur ulang sampah yang ada di Surabaya. Hasil daur ulang akan menjadi baranf-barang baru atau recycle sehingga dapat digunakan lagi untuk kemasan yang berbahan dasar sesuai dengan jenisnya. Inisiasi bank sampah menjadi trending topic sejak beberapa tahun terakhir berkat Pak Bambang Suweda yakni seorang dosen di Politeknik Kesehatan Lingkungan Yogyakarta yang terinspirasi untuk mengentaskan masalah sampah yang menumpuk di Dusun Badegan, Bantul. Lalu aksi yang dilakukan adalah membentuk Bank Sampah Gemah Ripah yang konon merupakan program kreatif dalam pengelolaan yang paling efektif di dunia. 

Menurut artikel yang pernah baca, Pak Bambang menjalankan gagasan ini awalnya bermodalkan konsep 3R---Reuse, Reduce, dan Recycle, kemudian ia sungguh-sungguh menekuni dan mengaplikasikannya ke masyarakat Dusun Badegan. Beberapa tahun kemudian, masyarakat mendulang sukses bersama dari hasil penjualan sampah sebanyak tiga miliar rupiah lebih, sungguh angka yang fantastis dari hasil kepekaan dalam membaca peluang. Awalnya sampah menumpuk akibat kurangnya kesadaran masyarakat dalam memelihara lingkungan. Setiap hari semua orang mengeluarkan sampah setidaknya lebih dari 10 item. Namun, tren bank sampah kini menjadi gaya hidup yang baik.

 Dari sekedar dapat menyelesaikan persoalan menuntaskan masalah sampah anorganik yang membutuhkan waktu ribuan tahun dalam proses penguraiannya, namun kini sampah menjadi media yang dapat mendatangkan berkah secara kolektif. Setidaknya dari proses menabung sampah, ibu-ibu dapat belajar bersosialisasi dalam kelompok, mengorganisir kelompok, melakukan banyak kegiatan produktif, memiliki kesadaran untuk menabung dalam jangka yang panjang, dan dapat berdaya bekat sampah. 

Hingga saat ini program bank sampah diaplikasikan ke banyak wilayah yang tersebar di seluruh Indonesia, membentuk pola bola salju  dalam menuntaskan persoalan sampah. Inisiasi pergerakan ini pastilah memberikan banyak dampak positif bagi lingkungan, salut untuk Pak Bambang.

Informasi yang didapat dari Pengepul Yanti 

Ketika bertemu dengan Bu Yanti, sesi pembuka obrolan saya serahkan sepenuhnya kepada Ibu Ju. Awalnya dia nampak gemetar dan terbata-bata, namun saya sudah berjanji jika diskusi menjadi aneh maka saya akan bantu meluruskan. Namun di luar dugaan, Ibu Ju berhasil menyelesaikan tantangan dari saya. Meskipun sebelum sampai di kediaman Ibu Yanti, kita sempat nyasar ke gudang cabang dua miliki pengepul Yanti.

Gudang pengepul Yanti sangat besar, seperti bekas pabrik skala menengah yang memang cocok untuk menampung segala jenis sampah. Karena luasnya lokasi gudang, maka sampah yang diterima pun lebih beragam dan gunungan sampah lebih banyak dan lebih tinggi. Tidak ada aroma bau, biasa saja namun pemandangan akibat sampah menggunung menjadi hal yang tidak sedap dipandang mata.

Namun bagi 100 orang pekerja dan anak-anak karyawan, dan keluarga Bu Yanti, merupakan hal yang biasa dan ladang berkah untuk mengumpulkan pundi-pundi rezeki. Sebelum masuk ke gudang penampungan, kembali saya dan Bu Ju berbisik-bisik 'gudangnya aja segede ini, rumahnya dan omsetnya segede apa ya Dhik Retno?'. Kali ini saya penasaran sekaligus sepakat dengan pertanyaan Ibu Ju, kira-kira omsetnya berapa banyak ya.

Bu Yanti adalah sosok orang yang ramah dan mengayomi, hal tersebut nampak dari sikapnya yang luwes saat menerima kita mengunjungi lokasi gudangnya. Bahkan ketika saya mulai tertarik untuk bercerita banyak hal, ia berkenan untuk menjawabnya. Bu Yanti dan suami memulai kiprah sampah sejak tahun 2006 namun didahului dengan usaha berdagang di daerah Ajung. Bu Yanti berasal dari Cirebon sementara suaminya berasal dari Jombang. Selama tiga tahun, suaminya belajar menjadi pengepul sampah. 

Mengenali seluk-beluk sampah hingga distributor tempat sampah akan dijual ke skala lebih besar. Setelah itu ada tawaran untuk mengelola gudang pengepul yang sedang bangkrut, karena saat itu ia dan suami tidak memiliki modal maka mereka memutuskan untuk bernegosiasi kepada pemilik usaha pengepul sampah. Ia menawarkan diri untuk mengelola gudang pengepul yang bangkrut, saat itu gudang pengepul hendak dijual beserta lahan dan aset sampah yang menggunung. Sebagai gantinya apabila Bu Yanti dan suami berhasil memperoleh laba, maka laba akan dibayarkan untuk membayar gudang pengepul yang akan dibeli. Usaha berhasil, gudang pengepul terbeli. Namun karena ada banyak faktor yang terjadi lalu usaha tidak bertahan lama. 

Hingga saat ini, pasangan ini tetap ingin menekuni usaha sampah hingga akhirnya mereka yang terbiasa hidup merantau ini akhirnya ditawari lahan bekas pabrik rokok lokal yang telah gulung tikar. Berbekal tekad dan modal yang disokong dari meminjam dana di bank konvensional. Ibu Yanti dan Suami membuka gudang pengepul yang hingga saat ini telah mencapai skala besar dengan omset hampir 500 juta per-bulan, dengan jumlah karyawan mencapai 100 orang dan memiliki dua titik gudang yang berada di daerah Lembengan.

Awalnya saya dan Bu Ju menduga bahwa dengan omset yang tinggi dan usaha sampah yang sudah besar ini berarti Bu Yanti dan keluarga memiliki aset yang luar biasa banyak, misalnya rumah yang besar, harta berlimpah, dan lain-lain. Saya memberanikan diri untuk bertanya "Bu, kalau saya boleh tahu rumah ibu dimana ya? Sebab saya hanya melihat mess-mess sederhana ini. Apakah ini mess untuk keluarga yang bekerja di gudang ini?". Bu Yanti tersenyum lalu menjelaskan bahwa sejak awal ia dan keluarga hanya tinggal disini bersama beberapa keluarga pekerja yang memang tidak memiliki rumah atau bisa dikatakan hidup bersama-sama. 

Ia juga berceloteh mengenal Ibu Farha Ciciek dan pernah berjumpa beberapa kali, lalu ia juga bercerita tentang kegiatan yang dilakukan. Bu Yanti memiliki rasa kepedulian yang tinggi, ia terpanggil untuk memberikan pengajian dan motivasi kepada karyawan yang didominasi oleh ibu-ibu agar anak-anak mereka disekolahkan ke jenjang lebih tinggi. Jika kesulitan biaya, Ibu Yanti bersedia untuk membantu atau pada suatu kesempatan jika ditemukan anak yang semangat bersekolah namun tidak memiliki biaya maka dia tidak segan untuk memberikan bantuan. 

Menurut Bu Yanti dia juga merasa prihatin dengan banyaknya anak perempuan usia dini di area sekitar tempat tinggalnya yang dinikahkan oleh orang tua. Meskipun ia adalah warga pendatang namun dia berusaha melakukan pendekatan untuk mencegah meningkatnya angka pernikahan dini. Kepada karyawan yang bekerja dia merasa memperlakukannya seperti saudara, Bu Yanti juga berjuang keras untuk mentransfer nilai-nilai kejujuran kepada karyawannya sehingga dengan pola kepemimpinan seperti ini banyak karyawan yang tetap betah bekerja di gudang pengepul miliknya.

Begitulah pelajaran dan wawasan yang saya dapatkan bersama Ibu Juhairiyah, tentang hal-hal yang sebelumnya sempat saya sepelekan namun menjadi sesuatu berkah bagi sekelompok orang. Semua usaha yang ditekuni sungguh-sungguh tidak pernah mengkhianati hasil, dan meskipun berada dari jauh dari pusat kota Bu Yanti berhasil membuktikan bahwa usaha keras tidak dibatasi oleh lokasi dan waktu. Sangat inspiratif!.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun