Mohon tunggu...
NiNyomanRadaraniPR
NiNyomanRadaraniPR Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Mahasiswa Undiksha

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Makna Sebenarnya Upacara Ngaben di Bali

7 Juli 2022   17:49 Diperbarui: 7 Juli 2022   17:55 1677
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Bali merupakan pulau yang terkenal dengan budaya dan adat istiadatnya yang sangat kental, salah satu upacara yang terkenal yaitu upacara ngaben. Ngaben merupakan upacara pembakaran jenazah bagi umat Hindu di Bali yang menjadi ritual bagi umat Hindu untuk mengembalikan roh leluhur ke tempat asalnya. Selain itu, ngaben juga bisa disebut sebagai pelebon, yang artinya menjadikan prathiwi (abu). Ada dua cara yang bisa dilakukan dalam upacara ngaben atau pelebon ini, yakni dengan cara membakar (ngaben) dan menanam ke dalam tanah (metanem). Tujuan dari upacara ngaben ialah untuk mempercepat raga sarira agar dapat kembali ke asalnya dan sekaligus sebagai wujud cinta kepada para leluhur dan bhakti anak kepada orang tuanya karena upacara ngaben menjadi salah satu proses pengembalian unsur panca maha butha kepada Sang pencipta.

Dalam lontar yama purwana tattwa, upacara pengabenaan tergolong kedalam panca yadnya yaitu pitra yadnya, pitra yadnya merupakan persembahan suci yang tulus ikhlas kepada leluhur atau orang yang sudah mati yang berlandaskan pada rasa tulus ikhlas tanpa pamrih.

Umat Hindu dari semenjak lahir sudah dibekali dengan Tri Rna, yaitu tiga hutang yang wajib dibayar dan menjadi cikal bakal terciptanya Panca Yadnya, salah satunya yaitu pitra yadnya (hutang kepada leluhur atau orang tua). Tiga hutang yang wajib dibayar dan menjadi cikal bakal terciptanya Panca Yadnya, yaitu:

  • Dewa Rna yang akan menciptakan Dewa Yadnya dan Bhuta Yadnya.
  • Rsi Rna yang akan menciptakan Rsi Yadnya.
  • Manusa Rna yang akan menciptakan Manusa Yadnya dan Pitra Yadnya.

Upacara ngaben perlu dan wajib untuk dilakukan, sebab kita sebagai umat Hindu percaya bahwa upacara pengabenan ini sebagai upacara yang tepat untuk menghantarkan roh orang yang telah meninggal ke alam sunia sekaligus untuk menyatukan stula sarira (badan kasar) kembali ke asalnya yaitu menjadi unsur Panca Maha Bhuta, seperti dari tanah kembali ke tanah (Pertiwi), dari air kembali ke air (Apah), dari api kembali ke api (Teja), dari udara kembali ke udara (Bayu) dan Akasa yaitu dari angkasa kembali ke angkasa.

Dengan demikian, maka pengabenan itu wajib untuk dilakukan oleh umat Hindu di Bali guna membayar hutang yang dibawa sejak lahir, yaitu kepada Ida Sang Hyang Widhi Wasa dan Leluhur serta selain itu upacara ini juga merupakan wujud sradha bhakti kita kepada-Nya.

Adanya pernyataan yang mengatakan bahwa "upacara ngaben terkesan boros" itu tidaklah benar karena dalam menjalankan upacara yadnya terdapat beberapa tingkatan yang dapat dipilih oleh sang yajaman (pelaksana yadnya) itu sendiri yang tergantung pada kwantitasnya mana yang akan dia pilih. Tingkatan atau kwantitas ini dapat dibagi menjadi tiga bagian yaitu:

1.       Nista, yang berarti yajna dengan tingkatan kecil, dibagi menjadi 3, yaitu:

a.       Nistaning nista merupakan tingkatan terkecil di antara yang kecil

b.       Madyaning nista merupakan tingkatan sedang di antara yang kecil

c.       Utamaning nista merupakan tingkatan terbesar di antara yang kecil

2.       Madya, yang berarti yajna dengan tingkatan sedang, yang terdiri dari 3 tingkatan:

a.       Nistaning madya merupakan tingkatan terkecil di antara yang sedang

b.       Madyaning madya merupakan tingkatan sedang di antara yang sedang

c.       Utamaning madya merupakan tingkatan terbesar di antara yang sedang

3.       Utama, yang berarti yajna dengan tingkatan besar, yang terdiri dari 3 tingkatan:

a.       Nistaning utama merupakan tingkatan terkecil di antara yang besar

b.       Madyaning utama merupakan tingkatan sedang di antara yang besar

c.       Utamaning utama merupakan tingkatan yang paling besar

Dari ketiga kuantitas dan tingkatan tersebut sang yajaman dibebaskan untuk memilih tingkatan mana yang disanggupinya, baik itu dari segi biaya dan lain sebagainya. Seperti yang kita ketahui bahwa dalam pelaksanaan yadnya itu tentu harus dilakukan dengan rasa tulus ikhlas yang tujuannya untuk membayar hutang kepada leluhur atau orang tua. Jangan sampai karena gengsi dan takut dicemooh oleh orang lain membuat sang yajaman berpikir untuk memilih tingkatan yadnya yang paling tinggi dengan biaya yang sangat besar, tetapi dengan membuat hutang baru. Hal ini boleh saja dilakukan asal sang yajaman tidak sampai menimbulkan utang baru dengan melakukan pelaksanaan tingkat tinggi, karena tujuan dari awal adalah untuk melunasi hutang atau rna jadi sebisa mungkin sang yajaman jangan sampai menciptakan hutang baru akibat tersugesti oleh perkataan orang disekitar yang mengatakan "jika tidak seperti ini, maka roh yang meninggal tidak akan mendapatkan tempat yang semestinya (surga)". 

Sang yajaman yang memilih tingkatan nista yaitu Nistaning nista bukan berarti yadnya yang dipersembahkan ini rendahan, murahan, dan hina. Namun tingkatan nista yang dimaksud adalah nista sane mautama, artinya walaupun tingkatan yang dipilih ini tingkatan yang paling kecil tetapi sesuai dengan kondisi ekonomi sang yajaman itu sendiri dan tetap tidak akan mengurangi makna dari upacara yang dilakukan karena memiliki inti yang sama.

Presepsi yang salah dari orang-orang sekitar harus dihilangkan karena tidak benar adanya bahwa pernyataan upacara ngaben itu sangat boros, hal ini tergantung kepada masing-masing orang yang melaksanakannya karena sang yajaman diberikan kebebasan dan tidak diberi keharusan yang mengharuskan setiap upacara yadnya yang dilakukan harus megah dan besar sehingga terkesan boros. Oleh sebab itu, umat Hindu harus lebih banyak diberikan pengetahuan mengenai upakara yang dilaksanakan setelah dipuput (diupacarai) oleh ida pedanda atau sulinggih, karena sang Sadaka (Sulinggih) adalah orang yang sudah diberikan tempat terbaik "su" yang artinya baik dan "linggih" yang artinya tempat atau kedudukan, jadi sudah pasti untuk menjadi seorang Sulinggih tidaklah mudah bahkan sangat sulit karena harus melewati berbagai tahapan, yakni dari Brahmacari (belajar) Grahasta (berumahtangga) lalu Bhiksuka (Penyucian diri). Dengan melalui berbagai tahapan ini, maka sudah pasti apa yang sang Sadaka (Sulinggih) sampaikan kepada umat Hindu berdasarkan pada sumber sastra yang kebenarannya telah diakui.

Selain dengan mendengarkan Dharma Wacana dari sang Sadaka (sulinggih), umat Hindu harus diberikan pengetahuan yang tidak hanya membahas tentang upakara saja namun perlu adanya pedalaman dari segi filsafat seperti yang tertuang dalam tri kerangka dasar umat hindu, yaitu Filsafat, Etika, dan Ritual. Selain itu, umat Hindu juga bisa mempelajari mengenai ajaran dalam Tri Pramana yang memuat tentang tiga cara untuk memperoleh pengetahuan. 

Tri Pramana ini terdiri dari tiga bagian, yang pertama yaitu Agama Pramana yang menjadi suatu ukuran atau acuan yang dipakai untuk mengetahui dan meyakini sesuatu dengan mempercayai sabda-sabda kitab suci, yang diimplementasikan dengan menjalankan yadnya yang berdasarkan pada tuntunan dari sastra agama. Bagian yang kedua yaitu Anumana Pramana merupakan cara untuk untuk mengetahui sesuatu dengan perhitungan yang logis berdasarkan tanda-tanda yang diamati, dan diimplementasikan dengan menjalankan yadnya yang berdasarkan pada kajian logika atau menelaah. Dan bagian yang ketiga yaitu Pratyaksa pramana dimana kita dapat melihat atau terjun langsung ke lapangan untuk melakukan pendalaman secara nyata tentang bagaimana keadaan dan kondisinya secara riilnya.

Jadi dapat disimpulkan bahwa upacara pengabenan atau pelebon itu harus dan perlu untuk dilakukan oleh umat Hindu karena telah diyakini dan dipercaya sebagai upacara yang tepat untuk menghantarkan roh orang yang telah meninggal ke alam sunia, dan sekaligus untuk membayar hutang atau rna. Upacara pengabenan yang berlangsung tidaklah harus mewah, dan besar-besaran, cukup dengan tingkatan yang kecil tapi bermakna saja sudah memiliki inti yang sama dan tidak akan mengurangi makna dari upakara yang dilangsungkan. Oleh sebab itu, presepsi yang salah dari orang-orang yang menganggap upacara ngaben sangatlah boros harus diberikan pemahaman yang lebih mengenai upakara-upakara yang berlangsung, baik itu diberikan oleh sang Sadaka (sulinggih) maupun dengan mempelajari ajaran Filsafat yang tertuang dalam Tri kerangka dasar umat Hindu dan ajaran Tri Pramana.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun