Mohon tunggu...
Ninoy N Karundeng
Ninoy N Karundeng Mohon Tunggu... Operator - Seorang penulis yang menulis untuk kehidupan manusia yang lebih baik.

Wakil Presiden Penyair Indonesia. Filsuf penemu konsep "I am the mother of words - Saya Induk Kata-kata". Membantu memahami kehidupan dengan sederhana untuk kebahagian manusia ...

Selanjutnya

Tutup

Cerita Pemilih

Faktor FBR, Relawan, dan Mesin Partai Menangkan Ahok

16 April 2017   10:18 Diperbarui: 16 April 2017   19:00 3403
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Forum Betawi Rempug (FBR) I Sumber tempo.com

Kampanye dua pasangan kandidat Gubernur DKI Jakarta semakin menarik untuk diamati. Pertarungan strategi kampanye dan gerakan penggalangan dukungan di lapangan menjadi hal yang paling menentukan bagi dua pasangan calon. Tentunya, penggalangan hanya bisa dilakukan oleh para pendukung secara nyata seperti partai pendukung, relawan, tokoh partai, ormas pendukung dan media sosial. Namun, sekali lagi mesin partai dan relawan tetap menjadi penentu kemenangan Ahok-Djarot di Pilkada 2017 ini.

Mari kita telaah peran penting ormas seperti FBR, relawan, dan mesin partai dalam memenangkan Ahok-Djarot disertai dengan strategi kampanye senyap yang memorakporandakan kampanye Anies – dalam perebutan suara pemilih di DKI Jakarta dengan menari menyanyi menari koprol bahagia suka-cita senang ria bahagia jungkir balik menertawai bahagia menonton kekalahan Anies selamanya senantiasa.

Berbeda dengan Anies yang mengandalkan FPI dan partai agama PKS, perhitungan kemenangan Ahok justru ditentukan oleh strategi kampanye cerdas dengan menggandeng berbagai elemen penting di masyarakat. Gerakan kampanye senyap dan strategis dengan mengandalkan para tokoh dan ormas penting menjadi penentu kemenangan Ahok. Perbedaan strategi kampanye dengan menonjolkan kekuatan dan menyimpan kebobrokan bukan lagi strategi efektif; media sosial membuka dengan sendirinya. Maka hanya strategi yang teratur, terstruktur, terencana, dan cerdas yang memenangkan pertarungan.

Strategi kampanye yang dilakukan oleh Anies dan Ahok berbeda sama sekali. Hal ini disebabkan oleh fakta bahwa Ahok adalah petahana yang sudah mengerjakan pekerjaannya. Pun Ahok-Djarot telah memahami dan berpengalaman menghadapi kenyataan pekerjaan di lapangan. Sementara Anies masih meraba-raba dan belum menemukan pelita di balik kegelapan belantara Jakarta. Untuk itu, cara kampanye pun disesuaikan dengan kebutuhan.

Pertama, tentang perbedaan cara kampanye Anies dan Ahok.

Kampanye Anies penuh dengan retorika dan janji-janji. Hal ini disebabkan oleh kenyataan bahwa Anies hanyalah calon yang belum membuktikan apa-apa – kecuali pernah dipecat oleh Presiden Jokowi karena tidak becus menjadi menteri.

Kampanye Ahok  memaparkan program yang sudah dikerjakan dan yang tengah dikerjakan seperti KJP, KJS, rumah susun, penataan taman, infrastruktur dll. Dalam hal ini Anies tak mampu menunjukkan secara telak kelemahan program. Justru yang dilakukan Anies adalah penjiplakan program ditambah dengan kata plus: KJP Plus, KJS Plus karena memang sudah ada dan sudah berjalan. Plus-plus hanyalah tambahan bukan inovasi yang warga DKI Jakarta memahaminya.

Kedua, tentang membangun karakter ketika kampanye Anies dan Ahok.

Anies menggunakan kampanye ini hanya sebagai antithesis Ahok semata. Dipersiapkan tingkah laku dan perbuatan yang tujuannya hanya untuk memberi gambaran berbeda dengan Ahok dalam kepribadian; bukan dalam hal program yang Anies tak mampu paparkan selain retorika. Janji menjadi bagian pluralis Jakarta tak mungkin terwujud karena Anies adalah calon yang didukung oleh FPI gerakan Islam radikal yang ditolak kehadirannya di berbagai kota dan daerah seperti Semarang, Salatiga, dll.

Ahok dan Djarot tetap menunjukkan gaya aslinya. Ahok ceplas-ceplos dan apa adanya dengan tekanan pada target dan pekerjaan. Sedangkan Djarot tetap tenang dan tegas sesuai dengan pemgalaman memimpin di Blitar dan DPRD bertahun-tahun.

Ketiga, tentang dukungan parpol dan ormas pendukung Anies dan Ahok.

Anies didukung oleh partai gurem 2 kursi di DKI Jakarta – PAN, partai nasionalis Gerindra 15 kursi, partai agama PKS 11, dengan total 28 kursi. Dukungan para partai ini dianggap tidak mencerminkan dan tidak menentukan pilihan warga DKI Jakarta.

Faktor Gerindra tetap memiliki nilai jual yang tinggi – dengan Prabowo menjadi nilai jualan kampanye. Bahkan Prabowo menyatakan jika ingin melihat Prabowo menjadi Presiden RI – pilihlah Anies. Artinya, Anies mendompleng Prabowo sebagai alat mendongkrak dirinya. Anies tidak memiliki ciri kekuatan untuk menjadi diri sendiri dan harus dikerek oleh Prabowo.

Faktor partai agama PKS menjadi titik lemah karena partai agama PKS ini terus menunjukkan grafik menurun di DKI. Kursi 18 di 2009 merosot menjadi 11 di DKI. Popularitas partai agama PKS ini semakin merosot ketika para simpatisan tahu terjadi pengerahan demo-demo 212 dan 411 yang sebagian besar berisi manusia FPI dan anggota partai agama PKS.

Anies pun mendapat dukungan dari ormas gerakan Islam radikal FPI yang merupakan skondan Anies dalam mengarungi pertarungan – dengan bukti video yang diteriakkan oleh Rizieq FPI dari Surabaya; yang sangat provokatif yang menjadi boomerang bagi kampanye Anies sendiri.

Ahok-Djarot didukung oleh mayoritas partai – dengan hanya Demokrat yang netral. Yang justru memberi kesempatan perpecahan dukungan kepada dua calon. Tidak serta-merta pendukung Agus-Sylvi 100% mendukung Anies dan juga tidak serta-merta mendukung Ahok. Namun, kebocoran suara 5% dari suara Agus ke Ahok sudah dapat dipastikan akan menghancurkan peluang Anies. Hal ini disebabkan gembosnya suara dari kalangan warga Betawi yang dikomandoi oleh ormas FBR (Forum Betawi Rempug) yang sangat menentukan.

Pun mayoritas partai pendukung PDIP yang terkenal militant, Golkar yang berpengalaman seperti halnya anak-anaknya seperti NasDem dan Hanura, membuat penggalangan dukungan berlangsung besar-besaran di akhir 3 hari jelang pencoblosan. Kekuatan gerakan ini ditambah dengan amunisi baru yakni PKB dan PPP yang merupakan representasi partai kaum Nahdliyin mendukung Ahok-Djarot.

Kekuatan Ahok bertambah kuat dengan adanya dukungan ormas GP Anshor dan doa dari PB NU meskipun PWNU DKI berkoar-koar mendukung Anies – suatu perpecahan yang wajar dalam politik. GP Anshor yang memiliki organisasi solid menjadi senjata pengumpulan suara yang mencengangkan dan mengubah kontestasi Pilkada DKI Jakarta yang menjadi liar.

Warga DKI Jakarta memilih bukan berdasarkan kepartaian namun ketokohan. Bolehlah ini sebagai catatan kritis. Namun di tengah persaingan Pilkada DKI saat ini, situasi politik membuat partai memiliki kepentingan untuk memenangkan para calon masing-masing.

Keempat, terkait dukungan partai versus faktor ketokohan Ahok dan Anies berbeda dengan Jokowi-Ahok dan Foke-Nara 2012.

Pada 2012 Jokowi-Ahok yang didukung hanya oleh PDIP dan Gerindra berhasil menyingkirkan koalisi besar pimpinan Demokrat dan partai agama PKS, Golkar, dll. Mesin partai mampat dan tidak bekerja efektif dan gagal total. Sementara faktor Jokowi-Ahok mendominasi dengan dukungan kuat militansi PDIP dan Gerindra yang tengah naik daun. Akibatnya, simpatisan dan relawan menjadi penentu kemenangan Jokowi-Ahok.

Faktor ketokohan dan kinerja Anies. Anies belum membuktikan apapun selain pecatan menteri Jokowi. Terkait dukungan partai Gerindra dan partai agama PKS yang militant – seperti halnya dialami Jokowi-Ahok yang hanya didukung oleh 2 partai, Anies tidak menikmati dukungan relawan.

Hal ini disebabkan ketokohan Anies tidak mampu menggerakkan dukungan masif seperti Jokowi-Ahok 2012. Karena itu tanpa bergeraknya relawan, maka Anies dipastikan akan kedodoran.

Faktor ketokohan dan kinerja Ahok. Ahok telah mengerjakan yang hendak dan direncanakan dan diwacanakan sebagai program kerja Anies. Rencana dan retorita Anies menjadi afirmasi kinerja Ahok. Maka kondisi dukungan partai yang mayoritas dan ketokohan serta kinerja Ahok yang didukung oleh mayoritas partai menjadi kekuatan yang tak bisa diremehkan.

Kelima, peran mesin partai, relawan, dan ormas pendukung Anies dan Ahok.

Berbeda dengan kontestasi 2012, mesin partai berfungsi maksimal memenangkan calon masing-masing. Pertaruhan partai menjadi begitu penting. Dengan kondisi ini 3 partai pendukung Anies melakukan konsolidasi untuk menggalang suara. FPI yang bergerak dengan aneka tekanan pun hanya akan menjadi titik lemah Anies.

Relawan yang bergerak di kubu Anies pun kebanyakan berafiliasi dengan FPI, FUI dan partai agama PKS. Hal ini menjadi batas penggalangan yang tidak maksimal. Hal lain yang memengaruhi adalah kenyataan adanya keterbatasan dana yang hanya Rp 17 miliar untuk kampanye putaran 2 Anies – yang berasal dari kocek Sandi. Untuk ormas terbatas pada dukungan FPI.

Ahok memiliki keuntungan lebih dengan mayoritas partai dengan mesin partainya yang bergerak untuk memenangkan Ahok. Kali ini gerakan partai dan mesin partai menjadi paling efektif karena adanya sentimen perang kepentingan yang mirip Pilres 2014.

Keenam,peran media sosial dan kampanye internet dan netizen.

Anies menguasai 40% panggung media sosial sebagai bagian kampanye yang efektif. Namun strategi kampanye yang tidak lengkap menjadi pemicu penggambaran dan stigma negatif terhadap Anies yang dianggap oleh Netizen sebagai dekat dengan FPI – karena memang didukung oleh FPI.

Dalam 2 X 24 jam seruan untuk mengajak pilih Anies akan mewarnai kampanye internet yang tidak bisa dihentikan. Para artis pendukung akan saling bersuara untuk meminta dukungan bagi Anies.

Ahok menguasai 60% panggung media sosial dengan stigma didzolimi, terdakwa kasus yang disetir oleh Buni Yani, petahana, pekerja, dan menjadi lambang perlawanan terhadap tekanan massa dalam konstelasi kampanye menjurus SARA yang begitu kental. Stigma ini menimbulkan simpati …

Dalam waktu 3 X 24 jam gerakan di internet dan media sosial akan massif dengan seruan mirip “Salam Dua Jari” akan menjadi penentu dukungan bagi Ahok. Dukungan Slankers, dukungan Ruhut Sitompoel, dukungan Sofia Latjuba, dukungan Julia Perez, dukungan Raisa dan artis-artis lain akan sangat menentukan bagi kalangan Netizen yang jumlahnya hanya sekitar 5%. Namun angka 5% ini menjadi sangat penting baik bagi Anies maupun bagi Ahok.

Jadi, penentu kemenangan Ahok dan kekalahan Anies dalam Pilkada 2017 ini lengkap sudah. Ahok didukung oleh (1) mayoritas partai politik, dan Anies didukung minoritas partai, (2) mesin partai militan yang besar menguntungkan Ahok, mesin partai militant namun terbatas merugikan Anies, (3) basis ormas pendukung Ahok FBR, GP Anshor menguntungkan Ahok dari sisi imej sosial warga DKI, basis ormas FPI pendukung Anies menjadi titik kekuatan Anies, (4) ketokohan Ahok mirip pilkada DKI 2012, dan Anies merepresentasikan pelawan petahana, (5) bangunan karakter kampanye Ahok dan Anies yang bertolak belakang, (6) peran relawan dan artis di media sosial yang lebih kuat Ahok dibandingkan dengan Anies.

Selamat datang gubernur Ahok-Djarot 2017-2022.

Salam bahagia ala saya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerita Pemilih Selengkapnya
Lihat Cerita Pemilih Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun