Anies didukung oleh partai gurem 2 kursi di DKI Jakarta – PAN, partai nasionalis Gerindra 15 kursi, partai agama PKS 11, dengan total 28 kursi. Dukungan para partai ini dianggap tidak mencerminkan dan tidak menentukan pilihan warga DKI Jakarta.
Faktor Gerindra tetap memiliki nilai jual yang tinggi – dengan Prabowo menjadi nilai jualan kampanye. Bahkan Prabowo menyatakan jika ingin melihat Prabowo menjadi Presiden RI – pilihlah Anies. Artinya, Anies mendompleng Prabowo sebagai alat mendongkrak dirinya. Anies tidak memiliki ciri kekuatan untuk menjadi diri sendiri dan harus dikerek oleh Prabowo.
Faktor partai agama PKS menjadi titik lemah karena partai agama PKS ini terus menunjukkan grafik menurun di DKI. Kursi 18 di 2009 merosot menjadi 11 di DKI. Popularitas partai agama PKS ini semakin merosot ketika para simpatisan tahu terjadi pengerahan demo-demo 212 dan 411 yang sebagian besar berisi manusia FPI dan anggota partai agama PKS.
Anies pun mendapat dukungan dari ormas gerakan Islam radikal FPI yang merupakan skondan Anies dalam mengarungi pertarungan – dengan bukti video yang diteriakkan oleh Rizieq FPI dari Surabaya; yang sangat provokatif yang menjadi boomerang bagi kampanye Anies sendiri.
Ahok-Djarot didukung oleh mayoritas partai – dengan hanya Demokrat yang netral. Yang justru memberi kesempatan perpecahan dukungan kepada dua calon. Tidak serta-merta pendukung Agus-Sylvi 100% mendukung Anies dan juga tidak serta-merta mendukung Ahok. Namun, kebocoran suara 5% dari suara Agus ke Ahok sudah dapat dipastikan akan menghancurkan peluang Anies. Hal ini disebabkan gembosnya suara dari kalangan warga Betawi yang dikomandoi oleh ormas FBR (Forum Betawi Rempug) yang sangat menentukan.
Pun mayoritas partai pendukung PDIP yang terkenal militant, Golkar yang berpengalaman seperti halnya anak-anaknya seperti NasDem dan Hanura, membuat penggalangan dukungan berlangsung besar-besaran di akhir 3 hari jelang pencoblosan. Kekuatan gerakan ini ditambah dengan amunisi baru yakni PKB dan PPP yang merupakan representasi partai kaum Nahdliyin mendukung Ahok-Djarot.
Kekuatan Ahok bertambah kuat dengan adanya dukungan ormas GP Anshor dan doa dari PB NU meskipun PWNU DKI berkoar-koar mendukung Anies – suatu perpecahan yang wajar dalam politik. GP Anshor yang memiliki organisasi solid menjadi senjata pengumpulan suara yang mencengangkan dan mengubah kontestasi Pilkada DKI Jakarta yang menjadi liar.
Warga DKI Jakarta memilih bukan berdasarkan kepartaian namun ketokohan. Bolehlah ini sebagai catatan kritis. Namun di tengah persaingan Pilkada DKI saat ini, situasi politik membuat partai memiliki kepentingan untuk memenangkan para calon masing-masing.
Keempat, terkait dukungan partai versus faktor ketokohan Ahok dan Anies berbeda dengan Jokowi-Ahok dan Foke-Nara 2012.
Pada 2012 Jokowi-Ahok yang didukung hanya oleh PDIP dan Gerindra berhasil menyingkirkan koalisi besar pimpinan Demokrat dan partai agama PKS, Golkar, dll. Mesin partai mampat dan tidak bekerja efektif dan gagal total. Sementara faktor Jokowi-Ahok mendominasi dengan dukungan kuat militansi PDIP dan Gerindra yang tengah naik daun. Akibatnya, simpatisan dan relawan menjadi penentu kemenangan Jokowi-Ahok.
Faktor ketokohan dan kinerja Anies. Anies belum membuktikan apapun selain pecatan menteri Jokowi. Terkait dukungan partai Gerindra dan partai agama PKS yang militant – seperti halnya dialami Jokowi-Ahok yang hanya didukung oleh 2 partai, Anies tidak menikmati dukungan relawan.