Firza Husein ditangkap. Rizieq FPI menjalani sidang pemeriksaan kasus makar hari ini. Dari persidangan Ahok, grand design kasus Ahok semakin terkuak. Pasca sidang ke-8 dengan saksi Ketua MUI Ma’ruf Amin, kini dipahami oleh publik sebagai kasus berbau politik terkait Pilkada DKI Jakarta.
Mari kita telaah grand design kasus Ahok, peran SBY, keterlibatan makar Firza Husein dan Rizieq FPI dalam pendekatan hukum-politik dan politik-hukum dan tertawa ngakak bahagia suka-cita senang gembira koprol menari menyanyi menertawai pihak yang menunggangi berbagai demo 411, 212 yang sempat menjadi euphoria pamer kekuatan FPI dan pendukungnya, yang akhirnya melempem setelah Negara dengan TNI-Polri dan seluruh kekuatan pendukung NKRI memetakan dengan sempurna arah gerakan termasuk makar yang benar-benar dijadikan alat peredam gerakan selamanya senantiasa.
Pasca keluar fatwa MUI yang dirancang dikeluarkan dengan pengaruh politik kental di MUI, berbagai teriakan keluar. Orkestrasi kasus Ahok digelindingkan dengan meminjam idiom agama. Untuk melegitimasi gerakan maka muncul GNPF MUI dengan corong paling keras Rizieq FPI.
Maka setelah kasus menyeruak, aneka demo pun menjadi arena carut-marut campur aduk untuk kepentingan politik dan semua bermain: SBY, Rizieq FPI, dan partai agama PKS dengan menunggangi fatwa MUI dengan GNPF MUI.
Warna dan bau politik dalam kasus Ahok pun didekati dengan pendekatan politik-hukum – sebagai penyeimbangan terhadap kasus hukum-politik dan politik-hukum yang dialamatkan ke Ahok. Karena kasus Ahok pun bukan lagi kasus semata tentang agama, namun mengarah ke upaya makar dan pendongkelan kekuasaan terhadap Presiden Jokowi.
TNI-Polri yang bertindak cepat selama sebulan dan dua minggu sebelum penangkapan pada 212 para tersangka makar seperti Bintang Pamungkas, Rachmawati, dll. Proses penyidikan dan pemerikasan berlangsung satu-satu dan Polri akan membuktikannya di pengadilan. Proses politik para tersangka seperti kehadiran Rizieq yang gempita dan disambut hangat oleh Fahri Hamzah dan Rachmawati yang mewek-mewek jadi tersangka dan berusaha menangkal tidak memengaruhi Polri untuk surut mengusut kasus makar yang terang benderang dengan bukti-bukti otentik.
Publik dan bahkan Prabowo dan para sekondannya awalnya meragukan penangkapan terhadap para tersangka makar dan penghinaan kepada Presiden Jokowi. Bukti-bukti seperti (1) arahan massa bergerak ke DPR pada pagi hari di kawasan Salemba dan (2) rancangan lain termasuk seruan dari Bintang Pamungkas dengan Presidium Pemerintahan, (3) dan aneka pertemuan termasuk dengan Firza Husein, Rizieq FPI, Rachmawati, dll., (4) dan komunikasi telepon serta, (5) aliran dana termasuk yang melibatkan Firza Husein dll. menjadi alat penelusuran dan pembuktian sangkaan makar.
Presiden Jokowi pun memahami bahwa kasus Ahok yang berbau politik-hukum dan hukum-politik harus didekati dengan pendekatan komprehensif. Salah satunya adalah dengan memberangus dan membuktikan upaya makar. Selain itu, yang terpenting adalah publik memahami dan tersadarkan bahwa gerakan makar dan kepentingan politik SBY terkait Pilkada DKI.
Kepentingan politik menunggangi kasus Ahok, dengan Rizieq FPI menjadi corong yang hendak dijadikan blessing in disguise oleh SBY. Namun orang tolol pun akan tahu kepentingan SBY berteriak-teriak tak karuan soal Ahok – namun gagal berteriak minta Rizieq FPI yang menjadi tersangka penghinaan dan penistaan Pancasila. Standar ganda alias double standard kepentingan politik yang membuat SBY bungkam soal penistaan Pancasila oleh Rizieq FPI.
Untuk itu karena kasus Ahok adalah ditunggangi persoalan politik yang menunggangi agama, maka pendekatan Presiden Jokowi, TNI-Polri, dan BIN serta berbagai kementerian pun menjadi bersinergi. Pendekatan politik dan hukum serta hukum-politik yang dimaknai dengan kekuatan peran Negara dalam menjaga konstitusi dan NKRI menjadi motif sikap politik Presiden Jokowi.
Pendekatan multi-fungsi kultural, religius, dan dialog serta berbagai konsolidasi sosial-keagamaan pun digalakkan dengan pendekatan strategis. TNI, Polri dan berbagai lembaga Negara bergerak untuk meredam gerakan yang membahayakan kelangsungan keberagaman, pluralisme, kebhinekaan, ketertiban umum, dan NKRI.
Langkah-langkah strategis itu terakumulasikan dalam bentuk pembungkaman massif – dengan bargaining position di bidang hukum dan politik yang mumpuni tentunya. Tawar posisi politik dan hukum pun didengungkan lewat KPK dengan memreteli pengaruh di MK seperti penangkapan Patrialis Akbar – anasir pilihan SBY. Juga kasus-kasus besar seperti Hambalang, E-KTP, BLBI, bahkan kasus HAM, Century, Semanggi I, II, dll pun menggelinding.
(Di ranah politik praktis kekuatan dukungan Golkar, PDIP, PAN, PKB, PPP, Hanura, dan NasDem, serta dukungan massa pendukung Presiden Jokowi terkonsolidasi dengan baik sehingga goncangan di parlemen sama sekali tidak bergejolak. Aneka komentar terkait makar pun makin menyurut dan pembuktian politik-hukum dan hukum-politik kehadiran Negara menjadi titik keseimbangan sempurna untuk meredam aksi penjungkalan pemerintahan Presiden Jokowi-JK.) Â
Untuk itu, langkah praktis yang dilakukan setelah pemetaan 411 dan 212 oleh intelejen, TNI, Polri, dan aparat lainnya, adalah membungkam satu-satu para perpetrators aksi makar yang menjadi titik akhir pergolakan. Suatu tuduhan yang tidak main-main. Polri bertindak professional dan tegas menegakkan hukum.
Kalkulasi (1) dukungan rakyat mayoritas sebagai silent majority – yang waspada sabar menonton pertunjukan pamer kekuatan FPI –, (2) dukungan NU yang kuat mendukung langkah pemerintahan Presiden Jokwi, (3) dukungan elemen pencinta NKRI multikultur dan agama, jelas menjadi pertimbangan ketegasan aparat untuk bergerak secara sabar dan strategis meredam dan menghukum para perpetrators yang mengancam kehidupan dan harmoni NKRI.
Maka langkah pertama adalah meredam gerakan. Caranya adalah berbagai aktor yang menjadi biang dari upaya makar, baik yang ditunggangi atau pun yang menunggani, diproses secara hukum. Kesabaran dalam menerapkan strategi komunikasi politik yang tenang oleh Presiden Jokowi – namun aparat bergerak cepat bekerja – menjadi salah satu hal yang menguntungkan. Sikap tenang Presiden Jokowi ini sangat membantu menyejukkan suasana.
Salah satu yang harus diredam – dengan kalkulasi strategi peredaman sosial agar tidak menimbulkan gejolak – adalah pendekatan hukum. Maka Rizieq FPI pun menjadi tersangka. Proses hukum bergerak dan rakyat melihat adanya ketegasan dan kehadiran Negara dalam meredam aksi radikalisme dan sikap arogan dan intoleran.
Pernyataan Kapolri dan Presiden Jokowi dalam pertemuan dengan para petinggi Polri jelas akan menghancurkan arogansi dan pamer kekuatan melawan ketertiban umum. Ketegasan ini ditambah lagi dengan pernyataan Panglima TNI yang jelas menyebutkan untuk membentengi Pancasila.
Serta-merta gerakan menyusut dan dukungan terhadap FPI pun anjlok. Kondisi itu terus dimanfaatkan oleh aparat untuk terus bergerak. Firza Husein yang sebelumnya dilepaskan pun dicokok untuk pembatasan dan ditahan dalam kasus makar. Rizieq FPI yang sudah tersangka penistaan Pancasila akan menemukan nasibnya terkait pemeriksaan kasus makar.
(Aneka dukungan dan komunikasi politik pun menjadi tidak berguna – dengan kaitan antara Ma’ruf Amin, MUI, Rizieq FPI, dan komunikasi politik Ma’ruf Amin dan SBY – dan tenggelam, dan kasus hukum mencuat yang menyadarkan publik akan konspirasi politik terkait kasus Ahok yang jelas ditunggangi unsur politik. Fakta di persidangan dan pandangan orang awam yang paling tolol pun tahu tujuan SBY berteriak-teriak adalah urusan Pilkada DKI dengan jagoan Agus yang digadang. Pun FPI jelas anti Ahok. Klop warna politiknya.)
Rangkaian peristiwa terkait makar tetap diselidiki dan pemanggilan pemeriksaan atas Rizieq FPI terkait kasus makar dengan didahului penahanan terhadap Firza Husein adalah langkah penting untuk menguak konspirasi dan kepentingan politik yang menunggangi kasus Ahok. Langkah brilian penyelamatan Negara secara hukum ini justru membungkam semua gerakan anti Pancasila.
Langkah dan situasi kondusif ini membuat kewaspadaan rakyat meningkat akan bahaya adu-domba dan  ketidakharmonisan kehidupan masyarakat akibat polarisasi politik yang memanfaatkan agama. Dan ujungnya rakyat mendukung langkah Polri, TNI, BIN dan kebijakan Presiden Jokowi terkait persoalan kasus Ahok yang dipolitisir dan ditunggangi kepentingan politik sempit: Pilkada DKI Jakarta.
(Sementara itu dari persidangan Ahok terkuak motif MUI mengeluarkan fatwa. Pun Peran SBY yang koar-koar lewat Youtube tentang Ahok dan pertemuan orang SBY dengan MUI dan Agus-Sylvi menjadi salah satu poin. Pun keterangan dalam sidang tentang posisi Rizieq FPI dan koneksi telepon antara Ma’ruf Amin dan SBY pada tanggal 6 Oktober 2016 menjadi kontroversi. Kasus Ahok pun dipahami publik sebagai kasus persaingan politik yang melibatkan SBY dengan Agusnya yang dekat dengan mantan Wantimpres era SBY Ma’ruf Amin.)
Maka setelah Firza Husein dicokok aparat Polri, kini tinggal menunggu episode berikutnya penahanan dan penetapan tersangka lain tidak tertutup kemungkinan Rizieq FPI. Selama tiga bulan aparat secara sabar mengatur strategi melihat kondisi kekuatan politik dan meredanya euphoria kemenangan FPI yang hanya membanggakan demo 411 dan 212 dianggap kekuatan nyata dukungan. Padahal, sekali lagi, demo 411 dan 212 adalah alat pemetaan kekuatan dan membuat checklist tentang kekuatan radikal di Indonesia. Dalam demo itu semua tergambar dengan jelas.
Langkah menahan Firza Husein dan pemeriksaan kasus makar atas Rizieq FPI oleh Polri dilakukan. Polri pun bertindak menegakkan hukum di bawah cahaya yang terang benderang dengan diterangi oleh demo 411 dan 212 yang akhirnya: membungkam arogansi dan pamer kekuatan melawan pemerintah dan anti NKRI.
Salam bahagia ala saya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H