Maka dalam penangkapan tersangka makar, Polri menunjukkan ditungganginya demo 411 oleh rancangan aktivitas politik, dan demo 212 akan ditunggangi untuk kegiatan selain tuntutan terhadap Ahok – yang juga berbau politik kental. Ahok pun menyampaikan di persidangan pada 13 Desember 2016 lalu tentang warna politik pengadilan atasnya.
Menghadapi situasi politik itu, maka gerakan pencinta NKRI pun muncul di seantero Indonesia seperti pawai cinta tanah air 412 setelah demo 212. Berbagai aktivitas frontal dan kental mendukung NKRI menjadi gambaran betapa mayoritas publik mencintai NKRI dalam keberagaman dan pluralisme dalam NKRI.
Kedua, pemetaan aktivitas keberagamaan FPI dan lain-lain. Picuan kasus Ahok menjadi alat munculnya momentum bagi FPI untuk unjuk gigi – dengan memanfaatkan fatwa MUI sebagai pijakan legitimasinya. Momentum Ahok adalah saat tepat untuk bergeraknya FPI dalam aktivitas keberagamaannya. Pas. Cocok. FPI selalu berseberangan dan menentang Ahok sejak sebelum Pilgub 2012, Pilpres 2014, dan Pilgub 2017. Bahkan FPI pun mengangkat Gubernur DKI versi FPI sebagai tandingan terhadap Ahok bernama Fakhrurozy Ishaq pada 2014 lalu.
FPI pun bergerak cepat dan memanfaatkan momentum dengan tetap gaya FPI yang meledak-ledak. Publik pun sebagian kecil mengikuti ajakan berdemo oleh FPI dan aneka ormas pendukungnya. Maka momentum itu menjadi gambaran aktivitas keberagamaan yang dapat dilihat secara telanjang.
Perang rebutan tentang jumlah pendemo Ahok antara yang pro-Ahok dan pendukung FPI berlangsung. Jumlah pendemo sebesar tak lebih dari 300 ribu orang. Sementara Rizieq FPI dan para pendukungnya menyebut pendemo jutaan. Tujuan pembesaran jelas – menunjukkan dukungan terhadap FPI besar. Sementara sesungguhnya, berapa pun jumlahnya, bagi Polri dan pemerintah, pemetaan kekuatan politik baik lawan maupun kawan berhasil dilakukan dengan sempurna.
Dengan pemetaan tersebut, pemerintahan Presiden Jokowi mengambil langkah-langkah praktis yakni mendorong aktivitas keberagamaan yang beraneka. Â Maka berbagai kalangan bukan hanya yang diinisiasi oleh MUI atau FPI namun oleh berbagai kalangan yang lebih luas dilakukan kegiatan keberagamaan. Berbagai aktivitas keberagamaan seperti di Semarang, Bandung, dan Makassar serta kota-kota lain diwarnai oleh kegiatan keberagamaan yang menggambarkan Islam sebagai rahmatan lilalamin, dalam konteks hablum minannas dan hablum minallah.
Pun pertemuan dengan berbagai tokoh agama dan para kiai sepuh yang berpengaruh di Indonesia pun juga menjadi agenda Presiden Jokowi. Silaturahmi ini menjadi penting di tengah suhu politik yang tinggi yang diwarnai oleh dugaan dan sangkaan makar serta aktivitas keberagamaan yang meningkat.
Langkah Presiden Jokowi dan Kapolri serta Panglima TNI dalam menurunkan suhu politik dengan bersilaturahmi ke para kiai sepuh NU sangat tepat. Langkah itu mampu menyeimbangkan dan mendudukkan permasalahan secara jernih, termasuk kasus Ahok, upaya makar dan pelanggaran UU ITE serta penghinaan terhadap Presiden RI.
Ketiga, pemetaan terorisme dan radikalisme. Peristiwa memanasnya suhu politik pun dimanfaatkan oleh teroris untuk mengail di air keruh. Kewaspadaan tinggi dilakukan oleh aparat keamanan dan intelejen. Momentum tepat pun akan selalu dimanfaatkan oleh teroris.
Apalagi kini 60-an teroris ISIS asal Indonesia yang berperang di Iraq dan Syria telah kembali ke Indonesia. Mereka pun dalam pantauan aparat keamanan. Pun kini sekitar 100 orang yang kini masih tertahan di Turki, sebagian ratusan lainnya termasuk anak Imam Samudera, Abu Jundal telah tewas. Teroris jaringan Bahrun Naim inisiator dan pendana pemboman Sarinah masih menjalankan aksinya.
Kewaspadaan dan operasi intelejen tinggi tersebut berhasil menggagalkan pemboman Istana Presiden. Keberhasilan mencegah pemboman oleh Polri ini sedemikian hebat dan patut diapresiasi. Rancangan pemboman yang sudah rapi berhasil digagalkan secara tepat.