Mohon tunggu...
Ninoy N Karundeng
Ninoy N Karundeng Mohon Tunggu... Operator - Seorang penulis yang menulis untuk kehidupan manusia yang lebih baik.

Wakil Presiden Penyair Indonesia. Filsuf penemu konsep "I am the mother of words - Saya Induk Kata-kata". Membantu memahami kehidupan dengan sederhana untuk kebahagian manusia ...

Selanjutnya

Tutup

Politik

“Blunder” Megawati: Risma dan Ahok Terkait Kepentingan Presiden Jokowi dan PDIP

7 Agustus 2016   12:49 Diperbarui: 7 Agustus 2016   13:09 7278
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Presiden ke-5 Megawati dan Presiden ke-6 Jokowi I Sumber Kompas.com

Untuk itu, Presiden Megawati tidak akan serta-merta menanggapi dan memenuhi keinginan para pembantu dan pekerja partainya di elite Ring 1 PDIP, bahkan seperti Hasto sekali pun. Pertimbangan elektabilitas Ahok membuat Presiden Megawati pusing tujuh keliling.

Kedua, elektabilitas Risma rendah dan tidak cocok untuk DKI Jakarta. Presiden ke-5 Megawati tentu mendapatkan gambaran jelas dari Presiden ke-6 Jokowi terkait kondisi Ibukota dengan pertarungan antara koruptor dan mafia melawan Gubernur Ahok – dan dulu Gubernur Jokowi.

Risma di DKI Jakarta dipastikan akan kalah telak karena karakter pribadi Risma yang lemah dan tidak tegas. Risma – seperti Ridwan Kamil – tidak memiliki daftar prestasi selain membangun taman dan membagi-bagikan dana hibah APBD Surabaya untuk yayasan dan ormas terkait parpol dan ormas tertentu pengurusnya. Maka tak mengherankan mendapat dukungan rakyat. (Sementara Ahok dan Jokowi di DKI Jakarta menghentikan bantuan dana bagi FPI yang membuat FPI dan para koruptor seperti anggota DPRD Fahmi, M. Sanusi, meradang dan menantang Ahok.)

Risma tidak akan mampu menembus perlawanan para koruptor di DKI Jakarta. Dana APBD DKI yang puluhan kali lebih besar dari Surabaya yang hanya Rp 7,8 triliun, tak akan mampu dikelola oleh tukang taman dan tukang bagi-bagi dana hibah. Pun dalam kebijakan tipping fee TPA Benowo tiba-tiba Risma lewat Pemkot Surabaya mengusulkan kenaikan dari Rp 64 miliar menjadi Rp 90 miliar.  Kenaikan yang hampir 50% yang pengelola TPA Benowo pun mengejutkan. Kasus TPA Benowo ini pernah dilaporkan ke KPK.

Catatan Risma yang lembek seperti ini terhadap kepentingan pengusaha dan parpol jelas disukai oleh partai. (Bahkan PAN di Surabaya pun bersedia mengajukan calon boneka melawan Risma.) Untuk DKI jelas lebih disukai lagi orang seperti Risma ini. Risma dipastikan akan menjadi bulan-bulanan DPRD DKI Jakarta yang terkenal beringas. Hanya melawan PT. Sumber Organik saja di Surabaya Risma keok dan menyerah dengan memberi tipping fee sebesar Rp 90 miliar tahun 2016 dengan dana investasi PT SO yang hanya Rp 300 miliar untuk pengelolaan 20 tahun dan bisa diperpanjang.

Maka dapat dipastikan warga DKI Jakarta tak akan  memilih calon seperti di tukang taman dan bagi-bagi dana hibah seperti Risma, manusia tanpa visi Sandiaga Uno, atau orang bingung politik dengan IQ tertinggi ha ha ha Yusril. Warga DKI Jakarta akan memilih calon yang memiliki kinerja nyata dan berbuat nyata.

Untuk itu, melihat track record Risma yang biasa-biasa seperti itu, pencalonan Risma di DKI Jakarta hanya akan menambah blunder politik PDIP yang mulai tersingkirkan oleh Golkar, NasDem, Hanura, PAN, PKB, dan bahkan PPP yang bisa melihat peluang. Presiden Megawati harus dengan cermat menghitung pencalonan Gubernur DKI Jakarta. Pun diakui Risma memang calon paling potensial melawan Ahok, tetapi elektabilitasnya begitu jauh dan akan membuat PDIP dipermalukan di DKI Jakarta oleh warga DKI Jakarta.

Ketiga, kepentingan PDIP dalam Pilpres dan Pileg 2019. Pemilu serentak 2019 hanya akan menghasilkan suara bagi para caleg jika jualannya – yakni calon presiden yang diusung populer di mata pemilih. Partai politik di tingkat lokal pun akan mengusung capres sebagai simbol perjuangan rakyat. Partai yang gagal mengusung calon populer akan kehilangan suara.

Fakta nyata adalah Presiden Jokowi sampai 3 tahun menjelang Pilpres 2019 menjadi figur yang paling laku dijual. Untuk itu Golkar dengan entengnya membajak Presiden Jokowi untuk diusung di Pilpres 2019. Langkah Golkar ini mendongkel kepemilikan PDIP atas Presiden Jokowi. PDIP kalah start. PDIP dikuasai oleh para elite yang gagal menangkap visi dan gerakan lawan politik: Golkar.

Kini, secara jelas politik nasional 2017-2019 dikuasai oleh Presiden Jokowi sepenuhnya. PDIP menjadi partai yang cenderung oposan di dalam pemerintahan setelah masuknya Golkar mendukung Presiden Jokowi. Sikap aneh ini muncul lagi sejak kepentingan DPRD DKI Jakarta dan elite lokal PDIP di Jakarta berkolaborasi dengan kepentingan ekonomi dan politik di luar PDIP.

Hal yang paling sederhana sesuai kepentingan PDIP adalah mendukung calon kepala daerah yang paling mungkin terpilih pun gagal dieksekusi oleh PDIP: mendukung Ahok. Kepentingan lokal seperti Prasetyo Edi Marsudi dan bekas narapidana korupsi M. Taufik dan koruptor M. Sanusi ingin dipenuhi agar rongrongan dan korupsi APBD DKI marak tanpa Ahok. Kekonyolan elite PDIP antara Hasto, Effendi Simbolon, dan Masinton serta Napitupulu yang berusaha memengaruhi Presiden Megawati menjadi tontonan publik yang akan menghancurkan PDIP.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun