Ilustrasi/Kompasiana (Warta Kota/adhy kelana/kla/adhy kelana/kla)
Lebaran sudah dekat. THR diberikan kepada karyawan. Ada yang penuh satu bulan gaji. Ada yang dua bulan gaji. Ada upah setara satu bulan gaji. Gilang dan Abu pun menerima THR dari warga di kompleks perumahan. Total terkumpul Rp 450,000. Uang yang tak begitu banyak untuk berlebaran. Mari kita telaah tentang kisah kesabaran seorang anak yang luar biasa dengan hati suka cita senang sentosa bahagia riang ria pesta pora gembira selama-lamanya senantiasa.
Terkadang hidup harus dilalui dengan sabar. Hidup adalah mengarungi satu peristiwa ke peristiwa lain. Ada yang pahit. Ada manis. Ada yang mengenakkan. Ada yang menyakitkan. Setiap peristiwa terkait dengan peristiwa sebelumnya. Peristiwa sebelumnya mengait peristiwa masa kini. Peristiwa yang sedang dijalani akan mengait ke peristiwa masa depan. Begitu pula sebaliknya. Peristiwa sebab akibat dulu-sekarang-mendatang yang satu rentetan: yang solid saling terkait.
Kesedihan Fatla pun merupakan rangkaian peristiwa yang solid dan terkait. Uang Rp 450,000 itu digunakan untuk membayar sewa tanah bagi preman Rp 100,000 per bulan. Ya keluarga Abu mendirikan gubug di sekitar TPS di pojok kompleks yang dikuasai organisasi pemuda. Kelompok ini menguasai tanah kosong dan menyewakan kepada ratusan penghuni liar. Gubug terbuat dari trilek bekas dan kardus berukuran 3 X 4 meter, dengan dua kamar itu dihuni oleh Abu, Gilang, Fatla, dan Ibu.
Uang sisa Rp 350,000. Kaitan dengan uang yang terbatas, dan hanya punya Rp 350,000 itu yang membuat Fatla murung. Fatla tak bisa membayangkan minggu depan dia harus membayar Rp 2 juta untuk masuk ke sekolah yayasan YPP. Ini sekolah swasta yang banyak diminati anak-anak lulusan SMP di daerahnya.
Usai ujian SMP Fatla, anak ketiga Abu, mulai murung. Kadang sampai diam berlama-lama. Seperti saat ini ketika mencuci piring.
“Hai Fatla, ngapain kamu bermuram durja sedu sedan itu?” tegur Gilang, kakak Fatla, melihat Fatla murung.
“Nggak apa-apa!” sahut Fatla sambil tetap mencuci piring.
“Fatla, jangan murung begitu,” tegur Gilang lagi.
“Nggak apa-apa aku kok, Kak!” sahut Fatla lagi.
”Soal uang Ayah dan Gilang akan mencari.”