“Ayah, Gilang takut ada kejadian buruk menimpa Ibu dan Fatla,” cerita Gilang.
Gilang menceritakan kepada Abu tanda kematian antara lain, seperti yang disampaikan oleh Ki Sabdopanditoratu, kesedihan dan perubahan sikap dan kebiasaan aneh.
“Semoga tidak,” jawab Abu singkat.
“Gilang, Ayo berangkat,” ajak Abu kepada Gilang.
Gilang selalu membantu mendorong gerobak karena Abu sudah renta berusia 60 tahun. Kurus badannya. Dan tak kuat lagi menarik dan menopang gerobak sampah.
“Ya. Ayah,” sahut Gilang sambil masuk ke gubug menghampiri Fatla yang masih berjongkok mencuci piring.
“Fatla, jangan murung ya. Gilang takut terjadi apa-apa sama kamu,” nasihat Gilang sambil berlalu.
“Aku nggak apa-apa kok, Kakak,” sahut Fatla sedikit tersenyum.
Senyum itu tak mampu menghapus kekhawatiran Gilang tentang kesedihan, sebagai tanda kematian, yang ditunjukkan mimik muka Fatla. Fatla, sebagaimana Gilang yang tahu ajaran Ki Sabdopanditoratu, juga melihat perubahan sikap Gilang sebagai tanda kematian pada Gilang, dari kejam menjadi baik sekali pada Fatla.
Maka, Gilang berjalan keluar rumah mendorong gerobak bersama Abu seperti biasa. Mereka menyusuri jalan besar menuju kompleks perumahan mencari barang rongsokan yang laku jual. Pikiran Gilang masih saja di rumah, tentang Fatla. Tentang kesedihan sebagai tanda kematian. Sambil mendorong gerobak bayangan tetap sama: Fatla yang murung dan sedih. Gerobak didorong pelan memotong jalan besar.
“Brak.”