Menjelaskan kepada kelompok yang ketiga yang merasa paling banyak tahu tentang jiwa kemungkinannya ada dua. Kemungkinan pertama penanya hanya akan membandingkan keyakinannya dan tak akan terpengaruh pada ucapan dan penjelasan orang lain. Apalagi jika menganggap pemahaman dirinya paling benar. Bagi orang yang termasuk kelompok ini akan dengan sangat mudah menganggap pendapat dirinya dan orang lain sama-sama benar. Atau justru hanya menganggap pendapat dan keyakinan sendiri yang paling benar.
"Ya, jiwa itu apa?" tanya Maya penasaran.
"Jiwa adalah unsur kehidupan dalam diri manusia yang kekal. Dia tidak berwujud namun ada!" jelasnya.
"Jiwa bisa dikenali dengan cara memahami berlangsungnya perasaan, perasaan adalah hasil karya kerja hati!" jelas Ki makin rumit.
"Terus jiwa itu abadi atau bisa mati?" tanya Maya.
"Jiwa abadi! Sejak jiwa diciptakan jiwa hidup terus dan tak akan mati!" sahut Ki.
"Apakah jiwa bersemayam pada manusia?" tanya Maya.
"Iya dan tidak. Iya jika dipahami dari sisi manusia. Manusia selalu berpikir bahwa di dalam dirinyalah jiwa itu bersemayam. Unsur jiwa dianggap sebagai bagian dari jasad manusia. Bahkan ada yang berpendapat bahwa jiwa bergantung dengan raga atau badan wadag ini. Tidak jika jiwa dipahami sebagai penciptaan abadi oleh Allah!" jelas Ki tandas.
"Ulangi Ki! Gak paham aku!" kata Maya.
"Iya kalau dari pandangan manusia yang dangkal. Seolah badan dia ditinggali oleh jiwa sampai manusia mati! Padahal jiwa itu adalah dzat yang tercipta secara abadi sejak zaman penciptaan di lauhkul mahfudz sana. Jadi jiwa tidak tergantung badan manusia! Ada badan manusia atau tidak jiwa telah tercipta!" jelas Ki.
"Oh jadi yang kita pikir sebagai jiwa kita itu hanya ‘kopian' atau ‘bayangan' atau ‘kembaran' atau ‘refleksi' jiwa yang bersemayam di dunia jiwa laukhul mahfudz sana ya?" tanyaku mencoba mencerna penjelasan Ki.