Lelaki itu mengajakku menuju area parkir di gedung jangkung. Kami menaiki eskalator menuju ke lantai atas, baru turun ke lantai berikutnya tempat mobilku aku parkir. Aku senang menggandeng tangannya yang bersih dengan lengan yang atletis. Laki-laki ini sungguh unik dengan gaya berpakaian yang sederhana namun sangat elegan. Aku suka lelaki sederhana ini. Menarik perhatian semua orang. Percaya diri.
Sampai di area parkir dia antarkan aku untuk sholat dzuhur.
"Kamu nggak sholat?" tanyaku padanya.
"Oh aku selalu sholat setiap detik waktu. Aku menyatu denganNya..." sahutnya dengan tenang.
"Oh oke! Kayak Syekh Siti Jenar dan Alhalaj saja ..." timpalku yang membuat dia tersenyum.
Aku mengambil air wudlu. Dibawakannya tasku dan dia pergi ke area istirahat para sopir di area parkir sekira berjarak 20 meter dari musholla. Di sana terlihat dia membaca buku tebal Shakespeare yang berisi drama. Selesai sholat aku pergi menemuinya.
"Apa istimewanya Shakespeare?" tanyaku memancing diskusi sambil aku menuju ke mobil.
"Shakespeare adalah jenius. Dia yang membuat kisah klasik menjadi kontemporer pada zamannya. Berkat Shakespeare kita bisa tahu kehidupan zaman klasik Yunani. Karya-karya Shakespeare melampaui zamannya dan abadi. Yang mencengangkan adalah kemampuan Shakespeare dalam mengusai bahasa Inggris dengan kosa-kata kaya luar biasa. Tak ada satu pun pengarang sebesar Shakespeare dalam penguasaan kosa-kata bahasa Inggris! Karya-karya seperti Romeo-Juliet, Othello, menjadi inspirasi cinta dalam khasanah peradaban setiap bangsa!" jelasnya tentang Shakespeare.
"Oh, I see.. Iya contohnya Sam Pek-Ing Tay ya dalam khasanah kebudayaan China..." sahutku.
"Oke see you..." kataku sambil mencium pipi kiri dan pipi kanannya di depan pintu depan mobil yang sudah terbuka.
Dia merentangkan tangannya. Dia memelukku. Aku balas memeluknya. Pelukan lembutnya sungguh kurasakan sebagai kehangatan pelukan lelaki yang selama hidupku tak pernah aku rasakan. Aku hanya bisa membayangkan selama ini.
Untung aku masih memiliki kemampuan untuk membayangkan keindahan lelaki dan tidak membunuh perasaanku. Aku tak mau menjadi korban laki-laki dengan membuat diriku kehilangan keyakinan dan kepercayaan pada laki-laki.
Namun, jujur aku akui. Lelaki ini adalah satu-satunya laki-laki yang pertama aku kenal dan aku temui. Semuanya berawal dari dunia maya. Betapa aku merasa nyaman dengan ungkapan dan ceritanya. Hingga aku sadar aku tertarik untuk bertemu dengannya. Itulah kali pertama aku menemuinya.
Café tempatku bertemu itu memang asyik. Tak terlihat oleh umum dan ekslusif. Di tempat itu dia mengalami kesulitan memilih makanan. Lelaki itu seteril dari zat warna, pewarna buatan dan makanan berbahan baku ayam bloiler sangat dijauhi. Pun alkohol, rokok, dan bahkan soft-drink adalah pantangannya. Namun akhirnya dia memilih potato grilled with cheese topping bla bla bla yang nampak enak.
"Dengan makanan seperti itu aku tak pernah sakit apapun sejak usia 13 tahun..." katanya pamer soal kesehatannya.
"Wow...bagus dong..." timpalku kagum.
"Dan yang lebih seru aku tak pernah capek. Cuma ngantuk saja cara capekku..." jelasnya lebih lanjut.
Makanan itu datang. Kami makan berdua, karena tak mungkin kami memakan makanan satu porsi itu. Ketika aku menemui kesuliatan untuk makan itu, seorang waitress dengan sigap memberikan satu set alat makan. Layanan yang serta merta mendapat apreasiasi dari lelaki di depanku itu.
"Excellent service. I appreciate it. Thank you," ucapnya sepontan.
Duh, lelaki ini begitu sederhana. Tak ada sedikitpun sifat dan sikap angkuh. Berbeda sekali dengan suamiku. Keegoisan telah mengantarkan dirinya pada gundah gulana. Rasa bahagia semakin menjauh beriringan dengan jalannya waktu.
Empat bulan lalu suamiku telah pensiun. Aku tak tahu dan tak mau tahu tentang keungan dirinya. Yang jelas aku sudah tak mau bersatu dengannya. Cukup sudah. Yang menjadi pikiranku sekarang hanya kedua buah hatiku. Mereka kini mulai tahu tentang keadaan hubunganku dengan ayah mereka. Tampaknya mereka sudah memahami retaknya hubungan kami. Namun, aku tetap menjaga diri jangan sampai namaku tidak indah di depan kedua anakku.
Kini aku bekerja untuk menghidupi diri dan kedua anakku. Aku merasa sejak aku memutuskan untuk bekerja, aku menemukan kebebasan dalam kehidupanku. Namun yang kini menjadi beban pikiranku adalah bagaimana aku harus memulai kehidupan aku. Yang aku pikirkan sekarang adalah adanya tempat tinggal dan kendaraan bagiku.
Kendaraan yang aku pakai sekarang adalah mobil kantor yang masih leasing. Karena suamiku sudah pension, aku tak tahu sampai kapan dia mampu membayar. Aku pun tak tahu kemampuan keuangan dia. Itu tak penting lagi bagiku. Jika kendaraan ini ditarik, sementara mobil yang aku beli aku sewakan jangka panjang, berarti aku tak akan bisa menjemput anak-anak dan tak bisa ke tempat kerja. Bagiku kendaraan adalah kakiku. Entah bagaimana caranya cara dan jalan yang bisa aku tempuh untuk kebebasanku.
"Hai..yang penting kamu memiliki kemauan, pasti ada jalan. Kamu harus mundur dulu untuk maju. Hidup sederhana dulu mungkin. Lalu kamu tata hidup kamu pelan-pelan. Harus sekarang waktunya mulai kamu atur waktu exit dari rumah secara tepat. Tak boleh kamu menunda-nunda terus tanpa ada kejelasan kapan kamu harus hidup dalam kebahagiaanmu sendiri!" kata teman lelakiku itu suatu saat.
Oh Tuhan. Apakah aku sanggup melangkah dan dari mana aku bisa membiayai anak-anakku? Namun aku yakin aku mampu keluar dari kesulitan dan tekanan ekonomi dan psikologi dari lelaki Jawa yang tak indah itu. Apa jalan yang akan aku tempuh? (to be continued)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H