"Kamu koruptor cuma dihukum ringan. Ini aku suntik obat asyik agar kamu tertidur selamanya ya Nyonya Sosialita!" katanya.
"Ya kamu akan tidur nyenyak dengan euthanasia paksa ini," kataku sambil menyumpal perempuan berambut ungu itu.
"Hai kalian berdua pergi dari rumah ini nanti. Kamu jangan kembali. Jika kembali kalian akan kami suntik pula seperti Nyonya Sosialilta mantan Guru Besar Ekonomi Universitas Indonesia ini. Di manapun kami bisa menemukan kalian berdua! Paham?" katanya lembut kepada kedua laki-laki itu sambil membuka kain yang menyumpal mulutnya.
"Atau aku suntik sekarang seperti Nyonya Sosialita ini?"
"Jangan. Saya punya anak. Saya akan menghilang saja. Tak akan kembali," mohon Security bernama John Kei Ratman, seperti nama di dadanya.
"Saya juga tak mau disuntik!" kata seorang yang lainnya.
"Baiklah!" kataku.
"Kita pastikan Nyonya Sosialita telah tidur pulas selama-lamanya. Baru kita semua keluar. Kamu jangan sampai pulang ke rumah kamu. Kalian pergi ke lampung. Kalian nanti bekerja di perkebunan di Jambi dengan jaminan kami. Pokoknya tinggal lanjut pergi ke Terminal Rajabasa nanti di sana ada orang yang akan menjemput kalian. Setelah 10 tahun akan kami jemput keluarga kalian nanti untuk bergabung dengan kalian," kata lelaki kekasihku sambil memberikan amplop berisi tiket dan dokumen lainnya.
Nyonya Sosialita mengejang. Kedua kakinya yang terikat bergerak-gerak. Tangannya meronta. Matanya membelalak menahan sakit luar biasa. Dadanya berdebar kuat. Efek obat itu mematikan syaraf untuk bernapas secara perlahan. Lama-kelamaan dalam hitungan kurang dari tujuh menit napas itu hilang satu-satu. Matanya membelalak menahan marah. Semarah rakyat yang sangat membenci korupsi.
"Bersihkan dan tidurkan di kamar tidur ya! Bersihkan semua sidik jari kecuali dua orang security ini," perintahku.
"Siap!"