"Sayang, apa yang kau ketahui tentang korupsi?" tanyaku pada laki-laki berkulit bersih itu padaku.
"Oh, korupsi sulit dibasmi dan sudah dilakukan oleh para koruptor secara sistematis dan terpadu," sahutku dengan berbinar.
Dia pandangi aku yang duduk di sampingnya. Aku menyilangkan kakiku yang bergelang kaki. Kaki bergelang kaki sungguh membuat diriku merasa seksi sekali.
"Kamu seksi dengan gelang kakimu!" kata salah satu suamiku memujiku.
Itu kata suamiku. Aku senang dilihat dan dinikmati kakiku yang memang mulus dan indah.
"Kok tahu kamu?"
"Terus apa yang bisa kita lakukan?"
"Hahahaha. Ya nggak ada. Membasmi korupsi di Indonesia bagai menegakkan benang basah!"
Pukul 22:40 WIB, Juni 2015. Mobil sport yang dikemudikannya meluncur dengan kecepatan santai. Perbincangan di jalanan sungguh menyenangkan. Laki-laki ini sungguh bisa diajak berdiskusi. Dia selalu mampu mengimbangi diskusiku. Tak salah dia karena bersekolah SMA di SMA 1 di kota kami. Smanza - pakai z nulisnya agar keren. Memang keren anak-anak lulusan SMA 1. Aku sendiri lulusan SMA 70 Jakarta yang kurang tiga tahun lalu, 2012, salah satu junior aku membunuh anak SMA 6.
Mobil terus meluncur menuju kawasan elite di Jakarta.
"Hai sayangku. Aku sungguh memujamu. Aku sungguh menikmati bercinta denganmu," katanya dengan suara tegas namun lembut gaya seorang penyair.
Aku merespon dengan bahasaku. Rupanya aku tersedot dengan gaya bahasanya yang membumbung dan membuat diriku secara alami melahirkan kata-kata puitis layaknya kami berbalas pantun.
"Kasihku. Namun kau tahu aku lebih tua dari kamu. Aku tak pantas untukmu!" sahutku sambil memegang telapak tangannya.
"Jangan kau berkata begitu. Cinta anugerah Tuhan luar biasa untuk aku dan kamu. Tak semua manusia mendapatkan cinta nan syahdu. Yang membuat kita bisa saling menikmati dan melewati waktu. Usia hanya soal waktu yang tak penting bagiku!" jawabnya meyakinkanku selalu.
Mobil memasuki wilayah perumahan mewah itu. Tempat para pejabat dan mantan pejabat tinggal. Rumah-rumah itu bertembok tinggi. Rupanya mereka yang tinggal di situ adalah para penakut. Mereka tidak saling mengenal satu tetangga dengan lainnya. Di situ aku menghubungi kontakku untuk memeriksa operasi yang tengah dijalankan.
"Beres, Komandan!" sahutnya.
"Oke! Tolong didokumentasinya nanti ya. Foto!" perintahku.
"Siap! Semua telah siap. Siap!"
Suara radio meningkahi di dalam mobil. Aku terdiam mendengarkan omongannya.
"Mas kalau aku sendiri pasti nggak masalah hubungan kita. Namun aku kan bersuami pula. Bagaimana? Kan semuanya salah kita. Hubungan kita ini dipenuhi dosa. Cinta terlarang jadinya. Ragu-ragu menyelimuti diriku tentu saja. Dengan begini kan harus berbagi kita...dan aku tak bisa melayanimu sebagai suami sepenuhnya!" kataku menjelaskannya.
"Kamu jangan mengingkari nikmat cinta dari Tuhan maha kuasa. Tak ada cinta terlarang di antara kita. Cinta ya cinta. Tuhanlah yang menciptakan cinta dan tak layak manusia menghujat cinta. Nikmati saja cinta yang tuhan berikan pada kita. Anugerah terindah buat kamu dan aku; cinta pada saat usia matang kita. Mana ada ayat atau dalil yang melarang cinta di antara dua anak manusia...." sahutnya meyakinkanku.
"Aku belum yakin tentang keseriusanmu menikahiku, sungguh-sungguhkah kamu, Mas?" tanyaku ingin keseriusannya.
"Sayang aku serius. Aku adalah seducer buat kamu. Nikmatilah aku sebagai madu cintamu. Karena pada kamu aku juga menikmati cinta yang menggelegak ini," jelasnya.
"Ya seperti katamu karena kita mencuri-curi!" kataku sambil menggenggam tangannya.
Kami sepakat bahwa poliandri adalah hak azasi. Sama dengan poligami. Hak perempuan dikebiri dengan alasan nasab dan keturunan yang harus dijaga.Padahal hukum di seluruh dunia dibuat atas nama perspektif laki-laki.
"Kita membohongi diri, Mas!" kataku padanya.
"Yang namanya bohong itu apa? Bohong adalah perbuatan yang dilakukan merugikan orang lain. Membohongi diri itu tidak ada. Bagaimana mungkin kita bisa membohongi diri sendiri, sementara semua perbuatan dan pikiran kita sendiri tahu. Tak mungkin orang bisa membohongi dirinya. Membohongi orang pun tidak ada kecuali orang tersebut tahu dan menyadari telah dibohongi. Syarat adanya bohong adalah ketika ada perjanjian antara dua orang atau lebih untuk melakukan sesuatu. Dan salah satu orang melanggar perjanjian itu. Cinta kita tak merugikan siapa pun!"
Mobil berhenti mendadak. Boneka lucu Jokowi-Ahok di dashboard mobil terjatuh. Boneka itu mengingatkanku pada Jokowi-Ahok yang dua tahun tiga bulan lalu terpilih sebagai Gubernur dan Wagub DKI Jakarta. Aku dan lelaki itu turun. Kami melangkah ke sebuah rumah berpagar biru di perumahan elite itu. Kami memasuki rumah itu dengan leluasa.
Ada tiga orang yang telah disumpal mulutnya di sana. Dua orang petugas security mereka. Tiga temanku telah mengikat mereka. Satu di antaranya yang tadi aku telepon. Satu lagi seorang perempuan berambut ungu dan mengenakan pakaian ala selibritas dan sosialita Jakarta. Perempuan itu mantan Deputi Gubernur Bank Indonesia. Zaman dulu BI adalah ladang dan lumbung partai dengan kekuasaan mengatur keuangan bebas tanpa pengawasan. Pengelolaan moneter menjadi wewenang merdeka BI. Tak heran BI sebagai regulator keuangan memiliki hak mengatur rumah tangga layaknya sebuah Negara berdaulat.
Pejabat BI selalu bisa memengaruhi pasar dengan kebijakannya. Bahkan bailout terhadap bank pun bisa dilakukan dengan semena-mena. Padahal uang itu uang rakyat pembayar pajak. Gaji pejabat BI dan karyawannya sungguh fantastis. Maka jika perempuan itu mengincar posisi dengan menyuap bersama Nunun Nurbaeti sungguh pantas.
"Mas, ayo!" kataku memerintahkannya menyuntik perempuan itu.
Mendengar kataku perempuan itu beringsut dari duduknya di lantai. Kakinya bergerak-gerak dan dia menjatuhkan diri dengan memutar badannya. Dia menelungkup. Ditariknya perempuan itu. Mulutnya masih tersumpal. Aku buka!
"Tolong aku jangan diapa-apakan. Aku akan berikan uang 100 milyar rupiah tapi tolong aku jangan dibunuh!" katanya memohon dengan suara bergetar. Matanya menampakkan ketakutan luar biasa.
"Kamu koruptor cuma dihukum ringan. Ini aku suntik obat asyik agar kamu tertidur selamanya ya Nyonya Sosialita!" katanya.
"Ya kamu akan tidur nyenyak dengan euthanasia paksa ini," kataku sambil menyumpal perempuan berambut ungu itu.
"Hai kalian berdua pergi dari rumah ini nanti. Kamu jangan kembali. Jika kembali kalian akan kami suntik pula seperti Nyonya Sosialilta mantan Guru Besar Ekonomi Universitas Indonesia ini. Di manapun kami bisa menemukan kalian berdua! Paham?" katanya lembut kepada kedua laki-laki itu sambil membuka kain yang menyumpal mulutnya.
"Atau aku suntik sekarang seperti Nyonya Sosialita ini?"
"Jangan. Saya punya anak. Saya akan menghilang saja. Tak akan kembali," mohon Security bernama John Kei Ratman, seperti nama di dadanya.
"Saya juga tak mau disuntik!" kata seorang yang lainnya.
"Baiklah!" kataku.
"Kita pastikan Nyonya Sosialita telah tidur pulas selama-lamanya. Baru kita semua keluar. Kamu jangan sampai pulang ke rumah kamu. Kalian pergi ke lampung. Kalian nanti bekerja di perkebunan di Jambi dengan jaminan kami. Pokoknya tinggal lanjut pergi ke Terminal Rajabasa nanti di sana ada orang yang akan menjemput kalian. Setelah 10 tahun akan kami jemput keluarga kalian nanti untuk bergabung dengan kalian," kata lelaki kekasihku sambil memberikan amplop berisi tiket dan dokumen lainnya.
Nyonya Sosialita mengejang. Kedua kakinya yang terikat bergerak-gerak. Tangannya meronta. Matanya membelalak menahan sakit luar biasa. Dadanya berdebar kuat. Efek obat itu mematikan syaraf untuk bernapas secara perlahan. Lama-kelamaan dalam hitungan kurang dari tujuh menit napas itu hilang satu-satu. Matanya membelalak menahan marah. Semarah rakyat yang sangat membenci korupsi.
"Bersihkan dan tidurkan di kamar tidur ya! Bersihkan semua sidik jari kecuali dua orang security ini," perintahku.
"Siap!"
Kami meninggalkan tempat itu. Dua security tergopoh pergi ke Kalideres dengan muka dan tubuh bercucuran karena melihat Nyonya Sosialita dieksekusi! Aku dan kekasihku naik mobil kami.
Di dalam mobil dalam gelap malam itu kami bercinta sambil kami menunggu dua security sampai ke Kalideres menuju Lampung.
"Sayang, aku sungguh menikmati ciumanmu. Begitu indah terasa. Dunia serasa milik kita berdua," katanya merayu yang membuat aku terasa senang.
"Yang lainnya kost ya?" sahutku.
Aku dan dia tenggelam dalam cinta dan di bawah temeram cahaya bulan kami bercinta sepanjang malam.
Pagi hari Kompas TV memberitakan kematian Nyonya Sosialita yang rupanya disebabkan oleh serangan jantung. Dua hari berikutnya beramai-ramai Kompasiana mewartakan dan menganalisis kematian Myranda S Gultom, si koruptor Bank Indonesia sebagai serangan jantung.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H