Aku merespon dengan bahasaku. Rupanya aku tersedot dengan gaya bahasanya yang membumbung dan membuat diriku secara alami melahirkan kata-kata puitis layaknya kami berbalas pantun.
"Kasihku. Namun kau tahu aku lebih tua dari kamu. Aku tak pantas untukmu!" sahutku sambil memegang telapak tangannya.
"Jangan kau berkata begitu. Cinta anugerah Tuhan luar biasa untuk aku dan kamu. Tak semua manusia mendapatkan cinta nan syahdu. Yang membuat kita bisa saling menikmati dan melewati waktu. Usia hanya soal waktu yang tak penting bagiku!" jawabnya meyakinkanku selalu.
Mobil memasuki wilayah perumahan mewah itu. Tempat para pejabat dan mantan pejabat tinggal. Rumah-rumah itu bertembok tinggi. Rupanya mereka yang tinggal di situ adalah para penakut. Mereka tidak saling mengenal satu tetangga dengan lainnya. Di situ aku menghubungi kontakku untuk memeriksa operasi yang tengah dijalankan.
"Beres, Komandan!" sahutnya.
"Oke! Tolong didokumentasinya nanti ya. Foto!" perintahku.
"Siap! Semua telah siap. Siap!"
Suara radio meningkahi di dalam mobil. Aku terdiam mendengarkan omongannya.
"Mas kalau aku sendiri pasti nggak masalah hubungan kita. Namun aku kan bersuami pula. Bagaimana? Kan semuanya salah kita. Hubungan kita ini dipenuhi dosa. Cinta terlarang jadinya. Ragu-ragu menyelimuti diriku tentu saja. Dengan begini kan harus berbagi kita...dan aku tak bisa melayanimu sebagai suami sepenuhnya!" kataku menjelaskannya.
"Kamu jangan mengingkari nikmat cinta dari Tuhan maha kuasa. Tak ada cinta terlarang di antara kita. Cinta ya cinta. Tuhanlah yang menciptakan cinta dan tak layak manusia menghujat cinta. Nikmati saja cinta yang tuhan berikan pada kita. Anugerah terindah buat kamu dan aku; cinta pada saat usia matang kita. Mana ada ayat atau dalil yang melarang cinta di antara dua anak manusia...." sahutnya meyakinkanku.
"Aku belum yakin tentang keseriusanmu menikahiku, sungguh-sungguhkah kamu, Mas?" tanyaku ingin keseriusannya.