Aku buka kertas itu. Tertulis di situ, di bawah cahaya senter HP aku baca: Kami sudah muak dengan korupsi para pejabat dan hukuman kepada para koruptor ringan. Bahkan fatwa MUI dikencingi dan hukuman para koruptor cuma dua tahun. Setelah bebas mereka masih berpesta dengan hasil korupsinya. Pemiskinan koruptor hanya wacana belaka. Maka kini ini satu-satunya jalan. Kami melakukan aktivitas ekstra dan out of law. Dalam keadaan darurat ini kami akan menyelamatkan bangsa. Seperti ditulis oleh Mahfudz MD, Negara Indonesia dalam keadaan bahaya. Korupsi sebagai tindakan kejahatan luar biasa yang didasari oleh greed alias keserakahan dan bukan need, karena kebutuhan sudah menginjak-injak, tatatan berbangsa dan bernegara. Maka kami akan mengeksekusi para koruptor sebelum dan setelah keluar dari penjara. Tak ada beda pelacur dan koruptor. Malah pelacur lebih terhormat daripada koruptor. Koruptor perempuan lebih hina dari pelacur.
Deg. Jantungku serasa berhenti berdetak membacanya. Aku baru saja masuk ke dalam mobil. Dua puluh menit lalu aku baru saja mengambil foto dua mayat itu. Sekarang aku dalam mobil bersama perempuan cantik kekasihu.
"Tulisan ini bukti kejengkelan pada korupsi yang marak di Indonesia!" kataku singkat.
"Iya kayaknya."
Perempuan itu datang dengan segala keindahannya. Cantik, tegar, cerdas, dan menarik. Tak ada yang meragukannya. Badannya selalu wangi. Kulit tubuhnya selalu dibalut pakaian yang menarik. Tutur katanya memanja namun tidak cengeng.
"Tahukah kamu, seluruh bagian tubuhmu adalah keindahan. Lenganmu bagai porselin tak pernah terterpa mentari. Tak ada bagian tubuhmu yang pernah terpapar mentari. Tak ada setitik pun noda pada tubuh dan kulitmu. Sungguh indah tubuhmu, Sayang!" kataku padanya.
"Hhhhm.." desahnya sambil menggenggam telapak tanganku.
"Kau tak perlu meragukan cintaku padamu. Tak ada yang mampu menghalangi cinta kita. Memang cinta selalu perlu pengorbanan..." kataku.
Mobil masih berlalu-lalang walau jam menunjukkan pukul 03:30. Tidak seperti biasanya tepian Danau Toba di sekitaran Parapat dipenuhi mobil-mobil. Biasanya mobil berparkir di area hotel-hotel dan penginapan dan juga di sekitar tempat berpandangan lepas ke luasan Danau Toba.
Aku keluar mobil bersama perempuan cantik itu. Kami ingin tahu ada kejadian apa di balik banyaknya mobil yang diparkir itu. Wow. Betapa kagetnya ketika aku melihat seorang laki-laki dan perempuan tergantung di dua utas tali berbeda.
"Hiiih serem," teriak perempuan itu.
Betapa tidak serem melihat pemandangan itu. Laki-laki itu digantung dengan satu utas tali plastik. Dua kakinya diikat dengan tali tadi. Lalu tali itu diikatkan pada seutas tali palstik yang lebih besar yang direntangkan di antara dua pohon besar. Laki-laki berkulit putih bersih itu tidak mengenakan sehelai benang pun. Tubuhnya menjuntai ke bawah. Kedua tangannya juga lepas menggantung di atas rerumputan, sekitar 1 meter dari tanah. Aku sorotkan lampu senter ke tubuh itu. Aku amati dia. Banyak orang mengamati dia.
"Minggir. Saya mau memeriksanya," kataku dengan suara meyakinkan sambil menyibakkan kain yang aku kenakan.
Beberapa orang terlihat bengong melihat pakaianku, tampaknya. Masak ini petugas mau memeriksa dengan pakaian menyerupai sarung. Namun mungkin mereka juga menyadari aku memakai kain karena kedinginan malam. Para petugas kepolisian yang berjaga-jaga juga mengenakan pakaian lengkap dan sweater khas daerah dingin.
Makin aku pandangi laki-laki itu,aku tak tahu siapa dia. Aku masih memiliki data banyak mengenai para buronan. Di komputerku aku simpan ratusan foto-foto para koruptor, baik yang pernah dihukum, maupun yang lolos. Tentu di dalamnya aku punya foto Nazaruddin, Paskah Suzetta, Aulia Pohan, Imba, Bahasyah, Dhana, Gayus, Sjamsul Nursalim, dan banyak yang lainnya.
Foto-foto pelacur Negara, perempuan setan, perempuan laknat alias perempuan koruptor juga ada banyak Nunun Nurbaeti, Angelina Sondakh, Wa Ode Nurhayati, Ayin, Kartini Marpaung, Miranda S Goeltom, Imas Diana Sari, dan banyak lagi yang lainnya. Ah, jadi tiba-tiba teringat artikel politik di Kompasiana yang banyak ditulis oleh Dewa Gilang. Penulis senior Kompasiana yang khusus untuk membenarkan banyak tulisan. Teknik cerdas Kompasiana. Seperti lagu 135 juta Rhoma Irama hahahah ....dan banyak lagi yang lainnya yang jutsru penyanyinya sekarang pembawa ajaran sesat SARA. Ah ngaco saja ini pikiranku. Campur aduk nggak karuan di depan mayat lelaki tergantung.
Aku melangkah lebih dekat. Aku melompati garis batas polisi di TKP. Aku amati laki-laki itu. Perempuan cantik itu tetap menggandeng tanganku tak mau lepas sedetikpun dariku. Aku suka itu. Karena aku memang selalu katakan padanya bahwa aku datang untuk kebahagiaannya. Tak ada yang kurang darinya. Justru itu aku datang untuk melengkapi kehidupannya.
"I am your seducer. Aku adalah madu nikmatmu. Aku datang untuk kenikmatan jiwa,hati,raga dan rasa. Aku datang untuk kamu nikmati. Karena aku juga menikmati kamu, Sayang. Betapa aku bangga akan pertemuan kita. Sungguh tak terkira. Kita syukuri, ya, Sayang," kataku suatu saat.
"Iya..aku juga menikmatinya, Sayang.." sahutnya sambil memelukku. Hangat terasa di sekujur tubuhku.
Aku sorotkan sinar senter dari HP ke muka laki-laki tergantung itu. Darah segar masih membasahi rambutnya dan sebagian keningnya. Mulut dan hidungnya jelas. Lubang peluru kaliber besar menembus dahinya. Melihat posisi tembakan tepat di kening antara mata dan hidung, daerah T, pelaku penembakan dipastikan orang terlatih dan profesional.
Aku jongkok. Aku sibakkan kainku. Aku dekati dan ambil posisi tepat. Aku foto mukanya. Aku tak tertarik dengan semua tubuhnya yang telanjang tanpa busana itu.
"Sudah Komandan?" tanya seorang petugas kepolisiaan kepadaku.
"Belum. Ini sekalian aku foto yang perempuan," sahutku. Aku heran kenapa polisi itu bisa mengenali aku. Aku diam saja seolah aku bukan siapa-siapa.
"Siap Komandan," jawabnya tegas.
Perempuan berkulit kuning putih itu terjuntai ke bawah seperti layaknya penari sirkus yang tergantung di atas jaring pengaman dengan kepala terjuntai ke bawah. Tangannya mengisyaratkan kepasrahan. Dari dahinya masih mengalir darah segar membasahi rambutnya yang hitam. Sungguh sangat kontras warna darah dan kulit tubuhnya.
Perempuan itu berusia sekitar lima puluh tahunan. Berkulit putih bersih. Berambut pendek terawat. Mukanya bulat berhidung cukup bangir untuk ukuran perempuan berkulit kuning. Tampak tubuhnya benar-benar mulus, terawat sekali. Pasti ketika masih hidup perempuan ini senang bergaya. Pasti gaya hidupnya penuh dengan kemewahan. Itu masih bisa terlihat dari kalung bertahta berlian dan pendant yang menyentuh bibir di atas mulutnya. Seolah gambaran gemerlap kekayaan disumpalkan di mulutnya.
"Sersan. Habis identifikasi dan dokumentasi segera kalian bersihkan TKP dan visum ke RS. Khusus untuk kasus ini saya mau dilakukan di RSCM Jakarta. Siapkan helikopter dan dalam 4 jam harus tiba di Jakarta," kataku memerintahkan.
"Siap, Komandan!"
"Baiklah. Terima kasih. Good job!" kataku sambil menyalami para petugas.
Juga para intel yang selalu berambut gondrong aku tak lupa salami. Jelas mereka kaget karena aku kenali mereka. Jangankan aku, semua orang tahu, mereka selalu berambut panjang dan berkaos serta kalau duduk di warung tegal atau lapo tuak di sini, menonjolkan pistolnya yang disimpan di balik kaosnya. Lah, intel kok pengin dikenali ya. Itu kadang yang bikin saya heran. Tapi susah untuk mengubahnya.
Selesai mengambil foto perempuan itu, aku perintahkan petugas untuk membubarkan para penonton. Aku kembali ke mobil beserta perempuan cantik itu.
"Tuh, Sayang... Lihat tadi. Kematian begitu dekat," kataku.
"Iya serem," kata perempuan itu sambil merapatkan tubuhnya pada tubuhku.
"Makanya nikmati hidup selagi masih sempat. Tak ada artinya kekayaan seberapa besarnya buat kita. Kekayaan tak bisa membeli kebahagiaan. Memang benda itu penting dalam mendukung kebahagiaan. Untuk itulah aku hadir dalam hidupmu. Aku benar-benar ingin kamu bahagia menikmati hidupmu. Aku juga bahagia menikmatimu!" jelasku merayunya.
Aku lebih suka jujur dalam berbicara. Karena sesungguhnya perempuan itu cerdas dan tahu maksud rayuan laki-laki.
"Iya, Sayang. Aku juga menikmatinya!"
"Eh, kamu tahu siapa perempuan ini. Oke kita buka dan cocokkan ya dengan yang ada di komputer," kataku. Sebenarnya sejak melihat pertama kali aku sudah tahu siapa dia.
"Nggak tahu."
Barisan perempuan koruptor muncul. Bahkan barisan foto-foto para anggota DPR yang berpotensi korupsi juga sudah masuk di komputer saya. Lengkap sudah tinggal diposting suatu saat jika diperlukan.
Aku masukkan foto yang baru saja aku ambil ke dalam komputer. Dengan cepat program identifikasi wajah menunjuk dan mencocokkan foto yang aku masukkan. Aku sejak awal sudah yakin bahwa ini bukan perampokan biasa. Bukan pembunuhan biasa. Nyatanya benar. Jika perampokan kenapa mayat digantung pada saat sudah tewas. Apa gunanya menggantung mayat yang sudah ditembak dari jarak dekat. Juga jam tangan Rolex masih tergantung di pergelangan tangan mayat laki-laki. Kalung emas berlian juga masih menggelayut di leher.
Mayat perempuan masih mengenakan kalung dan pendant. Juga cincin bertahtakan berlian. Kalau perampokan biasa tak mungkin. Apalagi kedua mayat ini ditelanjangi saat ditembak mati. Ini untuk memudahkan penggantungan dan pengikatan. Pelakunya pasti orang profesional. Tak mungkin seorang perampok mampu menembak persis di daerah T di dahi. Hanya yang terlatih yang mampu melakukan.
Kedua orang itu diikat tangannya di belakang tubuhnya pada saat ditembak. Tampaknya tidak ada penutup wajah saat ditembak mati. Raut muka kematiannya menunjukkan ketakutan luar biasa. Ini ditandai dengan warna pucat dan darah merah segar. Artinya denyut darah terpacu cepat menjelang kematiannya. Berbeda sekali kematian akibat kecelakaan dengan kematian karena kesadaran dan ketakutan luar biasa.
Pun cara penggantungan yang menghadap jalanan dengan latar belakang Danau Toba yang sepektakuler tampaknya adalah upaya disengaja. Mungkin ini semacam pameran dan peringatan bagi semua orang. Tubuh yang ditelanjangi dan digantung di keramaian sungguh menggetarkan.
Komputer akhirnya berhenti mencocokkan muka dua mayat tadi. Hasilnya tak mengejutkan.
"Oh, Ayin dan Eddy Tansil!"
"Mas, tadi aku ambil kertas kecil ini," kata perempuan cantik di sampingku.
Aku buka. Tertulis di situ, di bawah cahaya senter HP aku baca: Kami sudah muak dengan korupsi para pejabat dan hukuman kepada para koruptor ringan. Bahkan fatwa MUI dikencingi dan hukuman para koruptor cuma dua tahun. Setelah bebas mereka masih berpesta dengan hasil korupsinya. Pemiskinan koruptor hanya wacana belaka. Maka kini ini satu-satunya jalan. Kami melakukan aktivitas ekstra dan out of law. Dalam keadaan darurat ini kami akan menyelamatkan bangsa. Seperti ditulis oleh Mahfudz MD, Negara Indonesia dalam keadaan bahaya. Korupsi sebagai tindakan kejahatan luar biasa yang didasari oleh greed alias keserakahan dan bukan need, karena kebutuhan sudah menginja-injak, tatatan berbangsa dan bernegara. Maka kami akan mengeksekusi para koruptor sebelum dan setelah keluar dari penjara. Tak ada beda pelacur dan koruptor. Malah pelacur lebih terhormat daripada koruptor. Koruptor perempuan lebih hina dari pelacur.
"Wah. Bahaya nih. Presiden harus bertindak cepat!"
"Sayang, aku ngantuk. Tapi dingin di sini. Aku mau pulang ke hotel di sana," katanya sambil menunjuk sebuah hotel di tepian Danau Toba, Parapat.
Aku arahkan mobil ke sana. Kami mereguk kenikmatan cinta di tengah kesibukan kami menjalankan tugas membela Negara dan rakyat miskin. Peristiwa tadi sudah terbiasa kami lihat dan lakukan. Empat jam yang lalu kekasihkulah yang menarik picu pistol berkaliber besar ke dua tubuh yang sekarang ada di helicopter menuju Medan dan selanjutnya ke RSCM. Beberapa petugas menggantung dan menurunkan mayat itu atas perintah kami!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H