"Belum. Ini sekalian aku foto yang perempuan," sahutku. Aku heran kenapa polisi itu bisa mengenali aku. Aku diam saja seolah aku bukan siapa-siapa.
"Siap Komandan," jawabnya tegas.
Perempuan berkulit kuning putih itu terjuntai ke bawah seperti layaknya penari sirkus yang tergantung di atas jaring pengaman dengan kepala terjuntai ke bawah. Tangannya mengisyaratkan kepasrahan. Dari dahinya masih mengalir darah segar membasahi rambutnya yang hitam. Sungguh sangat kontras warna darah dan kulit tubuhnya.
Perempuan itu berusia sekitar lima puluh tahunan. Berkulit putih bersih. Berambut pendek terawat. Mukanya bulat berhidung cukup bangir untuk ukuran perempuan berkulit kuning. Tampak tubuhnya benar-benar mulus, terawat sekali. Pasti ketika masih hidup perempuan ini senang bergaya. Pasti gaya hidupnya penuh dengan kemewahan. Itu masih bisa terlihat dari kalung bertahta berlian dan pendant yang menyentuh bibir di atas mulutnya. Seolah gambaran gemerlap kekayaan disumpalkan di mulutnya.
"Sersan. Habis identifikasi dan dokumentasi segera kalian bersihkan TKP dan visum ke RS. Khusus untuk kasus ini saya mau dilakukan di RSCM Jakarta. Siapkan helikopter dan dalam 4 jam harus tiba di Jakarta," kataku memerintahkan.
"Siap, Komandan!"
"Baiklah. Terima kasih. Good job!" kataku sambil menyalami para petugas.
Juga para intel yang selalu berambut gondrong aku tak lupa salami. Jelas mereka kaget karena aku kenali mereka. Jangankan aku, semua orang tahu, mereka selalu berambut panjang dan berkaos serta kalau duduk di warung tegal atau lapo tuak di sini, menonjolkan pistolnya yang disimpan di balik kaosnya. Lah, intel kok pengin dikenali ya. Itu kadang yang bikin saya heran. Tapi susah untuk mengubahnya.
Selesai mengambil foto perempuan itu, aku perintahkan petugas untuk membubarkan para penonton. Aku kembali ke mobil beserta perempuan cantik itu.
"Tuh, Sayang... Lihat tadi. Kematian begitu dekat," kataku.
"Iya serem," kata perempuan itu sambil merapatkan tubuhnya pada tubuhku.