"Oh, Ayin dan Eddy Tansil!"
"Mas, tadi aku ambil kertas kecil ini," kata perempuan cantik di sampingku.
Aku buka. Tertulis di situ, di bawah cahaya senter HP aku baca: Kami sudah muak dengan korupsi para pejabat dan hukuman kepada para koruptor ringan. Bahkan fatwa MUI dikencingi dan hukuman para koruptor cuma dua tahun. Setelah bebas mereka masih berpesta dengan hasil korupsinya. Pemiskinan koruptor hanya wacana belaka. Maka kini ini satu-satunya jalan. Kami melakukan aktivitas ekstra dan out of law. Dalam keadaan darurat ini kami akan menyelamatkan bangsa. Seperti ditulis oleh Mahfudz MD, Negara Indonesia dalam keadaan bahaya. Korupsi sebagai tindakan kejahatan luar biasa yang didasari oleh greed alias keserakahan dan bukan need, karena kebutuhan sudah menginja-injak, tatatan berbangsa dan bernegara. Maka kami akan mengeksekusi para koruptor sebelum dan setelah keluar dari penjara. Tak ada beda pelacur dan koruptor. Malah pelacur lebih terhormat daripada koruptor. Koruptor perempuan lebih hina dari pelacur.
"Wah. Bahaya nih. Presiden harus bertindak cepat!"
"Sayang, aku ngantuk. Tapi dingin di sini. Aku mau pulang ke hotel di sana," katanya sambil menunjuk sebuah hotel di tepian Danau Toba, Parapat.
Aku arahkan mobil ke sana. Kami mereguk kenikmatan cinta di tengah kesibukan kami menjalankan tugas membela Negara dan rakyat miskin. Peristiwa tadi sudah terbiasa kami lihat dan lakukan. Empat jam yang lalu kekasihkulah yang menarik picu pistol berkaliber besar ke dua tubuh yang sekarang ada di helicopter menuju Medan dan selanjutnya ke RSCM. Beberapa petugas menggantung dan menurunkan mayat itu atas perintah kami!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H