Mohon tunggu...
Nino Dumanauw
Nino Dumanauw Mohon Tunggu... -

Hanya seorang pengamat biasa.

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Bocoran Isi Kontrak BOT Hotel Indonesia dengan Grand Indonesia

9 Maret 2016   20:43 Diperbarui: 9 Maret 2016   21:00 10137
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Perjanjian kerja sama antara BUMN perhotelan, PT Hotel Indonesia Natour (HIN) dengan PT Cipta Karya Bersama Indonesia (CKBI) dan PT Grand Indonesia (GI) dipersoalkan. Pada 14 Januari 2016, Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) mengeluarkan laporan hasil pemeriksaan atas pendapatan dan kerjasama antara PT HIN dan GI (Nomor 02/Auditama VII/01/2016).  Laporan BPK, ini sampulnya:

[caption caption="Laporan BPK 14 Januari 2016"][/caption]

Sebulan terakhir, setelah isunya bergulir luas, saya menelisik isi kontrak kerjasama antara perusahaan BUMN ini dengan investornya, yaitu PT Grand Indonesia.  Inilah fakta-fakta akta perjanjian yang saya temukan.

Kerja sama Build, Operate & Transfer antara PT Hotel Indonesia Natour dengan PT Cipta Karya Bumi Indah dan PT Grand Indonesia

Badan Usaha Milik Negara PT Hotel Indonesia Natour (Persero) bekerja sama dengan PT Cipta Karya Bumi Indah (CKBI) pada 13 Mei 2004. Kerja sama ini berbentuk Build Operate Transfer (BOT). CKBI berhak mengembangkan lahan milik negara yang dikelola HIN, yakni di kawasan Hotel Indonesia. CKBI memenangi tender dari 52 calon mitra strategis karena sanggup memenuhi persyaratan nilai investasi minimum sebesar Rp1,262 triliun.

CKBI juga menunjuk PT Grand Indonesia (GI) sebagai pelaksana kerja sama ini. Jangka waku kerja sama selama 30 tahun yang dimulai sejak diterbitkan Hak Guna Bangunan atas nama GI. Sedangkan kepemilikan lahan beserta bangunan yang nanti dibangun tetap milik negara. Kerja sama ini juga mencantumkan Hak Opsi Perpanjangan selama 20 tahun.

Kewajiban GI terhadap HIN seperti tertera dalam kontrak BOT yang ditandatangani pada 13 Mei 2004 (Akta Notaris Irawan Soerodjo, SH, Msi)

GI wajib memberi kompensasi pembayaran tetap kepada HIN dengan nominal:

  • Tahun 2004 – 2012 sebesar Rp10 miliar per tahun
  • Tahun 2013 – 2017 sebesar Rp 11 miliar per tahun
  • Tahun 2018 – 2022 sebesar Rp 12 miliar per tahun
  • Tahun 2023 – 2027 sebesar Rp13 miliar per tahun
  • Tahun 2028 – 2032 sebesar Rp14 miliar per tahun
  • Tahun 2033 sebesar Rp15 miliar per tahun

GI wajib menyediakan kantor bagi HIN.

HIN mendapat ruangan kantor seluas 1.000 m2 di lokasi gedung dan fasilitas penunjang, tanpa dikenakan biaya sewa oleh GI.

GI wajib membayar seluruh biaya sewa kantor bagi HIN

Dalam hal penyediaan kantor bagi HIN dalam poin B, masih dalam tahap konstruksi, GI wajib menyediakan kantor sementara bagi kegiatan operasional HIN. GI membayar seluruh biaya sewa kantor sementara termasuk renovasi jika diperlukan sebesar Rp6,1 miliar.

Pendanaan penyelesaian tenaga kerja

GI memberikan dana kepada HIN sebesar maksimum Rp33 miliar sebagai bentuk penyelesaian pendanaan ketenagakerjaan atas karyawan HIN.

Hak opsi perpanjangan kontrak BOT

GI punya hak opsi perpanjangan kontrak BOT kepada HIN. Permintaan GI tersebut harus dibalas oleh HIN selambat-lambatnya 14 hari sejak tanggal pemberitahuan. Jika HIN menyetujui hak opsi perpanjangan yang ditawarkan, maka GI wajib membayar kompensasi sebesar Rp400 miliar ATAU 25% dari Nilai Jual Objek Pajak lahan yang berlaku pada saat hak opsi diajukan, tergantung mana yang lebih besar.

Beberapa fakta yang saya temukan dalam kontrak antara PT HIN dengan PT GI adalah:

 [caption caption="Surat Meneg BUMN dan Akta Perjanjian"]

[/caption]

HIN tidak berhak meminta kompensasi keuntungan dari pengelolaan lahan BOT kepada GI

Kerjasama HIN – GI itu adalah kerjasama Bangun, Guna, Serah (BOT) dimana HIN selaku pemilik lahan memberikan Hak Pengelolaan Lahan (HPL) kepada GI. Ini adalah BOT, bukan menyewa dengan sistem bagi hasil. Dalam kontrak BOT dinyatakan bahwa seluruh keuntungan selama masa pengelolaan adalah hak PT GI. Sebagai penerima hak BOT, GI berhak mendirikan dan mengelola gedung dan fasilitas penunjang secara komersial. Pada akhir masa BOT, GI wajib menyerahkan kembali seluruh bangunan dan fasilitas penunjang yang sudah dibangunnya kepada HIN.

PT GI mengeluarkan biaya pembangunan jauh lebih besar dari nilai investasi yang tercantum dalam kontrak (Rp1,262 T). Nilai investasi yang dikeluarkan oleh GI besarnya 4,5 kali lipat atau Rp5,5 triliun. Menurut seorang sumber, realisasi investasi tersebut sangat besar akibatnya. Boleh dibilang pihak investor masih merugi, kata dia.

Menurut dia, pada kerjasama proyek BOT aset akan dikembalikan kepada PT HIN ketika kontrak habis. HIN justru diuntungkan secara komersial karena perjanjiannya adalah BOT. Dengan modal Rp5,5 T itu, tentu nilainya akan mengalami kenaikan berkali lipat pada 12 Oktober 2055 ketika kontrak berakhir. Jadi janggal bila PT HIN mengaku dirugikan. Tentu HIN akan mendapat aset dengan nilai yang jauh lebih besar di akhir masa BOT.

Karena ini adalah kerjasama BOT, PT GI wajib membayar kompensasi tahunan. Bahkan beberapa kali mempercepat pembayaran tunai dari jadwal yang tercantum dalam perjanjian BOT. Permintaan ini disampaikan melalui memo antar direksi. Percepatan itu atas permintaan PT HIN sendiri. Alasannya pada 2005, 2006, 2007, 2014, dan 2015; PT HIN mengalami kesulitan cashflow. Sesuai kesepakatan, kata dia, GI juga telah mengalokasikan lebih dari 4% total pendapatan untuk pemeliharaan objek BOT sesuai dalam perjanjian dan telah diaduit serta dilaporkan pada HIN setiap tahun.

[caption caption="Kompensasi tahunan telah disepakati dalam akta perjanjian"]

[/caption]

[caption caption="Pasal 9.9 mengatur hak pendapatan"]

[/caption]

Berdasarkan pasal 9.9 tersebut pendapatan pengelolaan tanah, gedung dan fasilitas penunjang adalah hak GI seluruhnya dan GI konsisten dengan prinsip ini. Maka oleh karenanya GI tidak diwajibkan untuk menyerahkan laporan pendapatan maupun laba rugi dari pengoperasian obyek gedung dan fasilitas penunjang kepada HIN. Apalagi, BOT mensyaratkan, seluruh keuntungan dari pengelolaan aset yang dibangun adalah HAK dari PT GI, bukan HIN.

Kenapa HIN ribut merugi? Toh setelah periode berakhir, gedung apartemen dan perkantoran berikut penghasilan yang diperoleh dari aset  itu akan menjadi milik HIN.

Opsi Perpanjangan Justru Diusulkan oleh HIN Karena Butuh Dana Cair

Dalam kontrak BOT tertera, PT GI bisa melaksanakan Hak Opsi untuk memperpanjang jangka waktu kerjasama selama 20 tahun sejak tanggal ditandatanganinya Perjanjian BOT. Dalam kontrak, sebetulnya BOT berakhir pada  12 Oktober 2035. Lalu pada 2010 disepakati hak BOT diperpanjang 20 tahun dan berakhir pada 12 Oktober 2055. Dalam pasal 7.1.1 dinyatakan Hak Opsi Perpanjangan dapat dilaksanakan sejak tanggal efektif tetapi tidak boleh lebih lambat dari 2 tahun sebelum berakhirnya jangka waktu 30 tahun HGB atas HPL. Artinya, opsi perpanjangan bisa dilakukan sewaktu-waktu.

Ada fakta menarik. Meskipun yang berhak mengajukan perpanjangan adalah GI, ternyata yang akhirnya meminta opsi perpanjangan ini adalah PT HIN kepada PT GI melalui surat No. 1103/DIRUT/HIN/11/2010 tanggal 15 November 2010. Alasan yang dipakai oleh direksi PT HIN pada waktu mengajukan opsi itu adalah HIN membutuhkan dana untuk merenovasi hotel Inna Putri Bali dan Inna Muara Padang yang rusak karena gempa. Renovasi dua hotel ini memakan biaya kurang lebih Rp1,1 triliun. Setelah itu dana dari GI cair, PT HIN kemudian mengajukan pinjaman ke sebuah bank BUMN sebesar Rp671 miliar untuk menambah biaya renovasi.

Kerugian yang dituduhkan sebesar Rp1,29 triliun ternyata dihitung berdasarkan selisih 25% dari NJOP tanah dan bangunan pada tahun 2014 dengan Rp400 miliar yang dibayar oleh GI pada tahun 2010.  Padahal, berdasarkan perjanjian, telah disepakati bahwa PT GI wajib membayar Rp 400 miliar. Angka ini dihitung dari 25% x Rp1,54 Triliun (nilai NJOP yang berlaku pada saat opsi perpanjangan itu disepakati yaitu tahun 2010).

Dalam kontrak kerjasama seperti ini, apakah adil menghitung kompensasi dari nilai NJOP untuk masa yang akan datang?  Bukankah dalam kontrak telah disepakati NJOP yang jadi acuan adalah NJOP ketika hak opsi dilaksanakan? Apalagi yang mengajukan opsi perpanjangan adalah PT HIN sendiri dan disanggupi oleh GI. Ini adalah keputusan bisnis yang sudah ditandatangani kedua belah pihak dan diambil sesuai dengan kondisi yang berlaku saat itu (2010).

Formula perhitungan BPK ini, menurut sumber, salah. Sebab tidak benar membandingkan nilai transaksi di tahun 2010 dengan nilai tahun 2014. Kalau dihitung seperti ini, kata dia, kekurangan bayar tidak akan pernah habis sampai kapanpun karena nilai NJOP terus bertambah. Pertanyaan saya, kenapa pihak HIN yang mengajukan opsi perpanjangan dan sudah menyepakati nilai kompensasi sejak awal BOT diteken, tapi malah meributkan belakangan?

      [caption caption="Pasal 1.7 mengatur hak opsi perpanjangan"]

[/caption]

[caption caption="Pasal 11.1"]

[/caption]

Menyoal Apartemen Kempinski dan Menara BCA

HIN menuding, dua bangunan ini tidak tercantum dalam kontrak perjanjian. Perlu diketahui, pasal 1.2 (hal 7) berbunyi “Gedung dan fasilitas penunjang adalah bangunan-bangunan dan segala fasilitas pendukung yang wajib dibangun dan/atau direnovasi penerima hak BOT di atas tanah, yaitu, ANTARA LAIN, pusat perbelanjaan, hotel, dan bangunan-bangunan lainnya, berikut fasilitas parker serta FASILITAS PENUNJANG LAINNYA..”

    [caption caption="Pasal 1.2"]

[/caption]

[caption caption="Akta Notaris"]

[/caption]

Argumen PT HIN  yang mempermasalahkan pembangunan dua gedung ini terkesan janggal. Sebab, pada tanggal 11 Des 2007 (jauh sebelum opsi perpanjangan diajukan oleh PT HIN sendiri), ada pendapat hukum dari legal consultant Arie Hutagalung & Partner yang menyebutkan kata “antara lain dalam definisi tersebut membuka kesempatan dilakukannya pendirian bangunan lainnya diluar yang sudah didefinisikan. Artinya, pembangunan kantor dan apartemen di atas tanah objek kerjasama dimungkinkan.

Pasal tersebut telah dengan jelas mengatur bahwa yang dapat dibangun antara lain adalah pusat perbelanjaan, hotel, dan bangunan-bangunan lainnya. Berdasarkan definisi tersebut, menurut akta BOT, tidak mengatur secara limitatif bangunan apa saja yang boleh dibangun/diperkenankan dibangun oleh Penerima Hak BOT. Pasal tersebut hanya menyebutkan beberapa contoh bangunan diantara bangunan-bangunan yang ada lainnya. Dengan demikian, bangunan yang dapat dibangun oleh Penerima Hak BOT tidaklah terbatas pada Hotel Bintang Lima dan Pusat Perbelanjaan, tetapi dapat pula termasuk bangunan lain, yang atas pertimbangan teknis maupun komersial TIDAK MENGURANGI nilai kuantitas dan kualitas setelah terlebih dahulu memberitahukannya kepada HIN.

Benarkah PT HIN tidak tahu soal rencana pembangunan gedung kantor dan apartemen?

Ini yang menarik. HIN mengaku tidak tahu menahu pembangunan dua gedung tersebut sejak awal. Padahal, pada Agustus 2004, pihak HIN mengajukan proposal permohonan Hak Pengelolaan Lahan atas nama PT HIN kepada Badan Pertanahan Nasional. Permohonan ini adalah salah satu aspek penting yang tercantum dalam Perjanjian BOT. Tanah harus disesuaikan statusnya; yang tadinya HGB atas nama PT HIN dilepaskan haknya untuk diajukan menjadi HPL atas nama PT HIN. Selanjutnya, di atas tanah HPL itu diterbitkanlah HGB atas nama PT GI. Ini tentu dilakukan untuk menjaga tanah kepemilikan negara.

Ada fakta menarik yang saya temukan. Ternyata dalam proposal itu, pihak HIN sudah mengetahui rencana GI akan membangun gedung perkantoran dan apartemen pada April 2005. Dalam proposal dengan kop surat Inna Hotel Group itu, tertera jadwal konstruksi Mall A (September 2004), Mall B (Juli 2004), Hotel (Januari 2005), Kantor (April 2005) dan Apartemen (April 2005).

             [caption caption="Proposal Pengajuan HPL dari HIN kepada BPN"]

[/caption]

[caption caption="Rencana pengembangan dalam pengajuan HPL oleh HIN"]

[/caption]

\[caption caption="Tandatangan di atas materai Dirut HIN kepada BPN"]

[/caption]

[caption caption="Permintaan HPL"]

[/caption]

Kenapa pihak HIN mempermasalahkan pembangunan dua gedung itu padahal mereka sudah mengetahui dan mencantumkannya ke dalam proposal HPL ke Badan Pertanahan Nasional?  Padahal ketika BOT berakhir, HIN bisa diuntungkan secara komersial karena nilai kumulatif bangunan (dan lokasi) yang akan diserahkan akan jauh lebih besar dari nilai sebelum direnovasi.  

Alasan HIN  tidak mengetahui pembangunan Menara BCA juga tak masuk akal. Silakan googling dan cari alamat kantor Hotel Indonesia Natour. Anda akan menemukannya di lantai 39 Menara BCA. Kok bisa? Ya iyalah. Kan di dalam perjanjian BOT sudah disebutkan GI wajib menyediakan kantor bagi HIN. HIN mendapat ruangan kantor seluas 1.000 m2 di lokasi gedung dan fasilitas penunjang, tanpa dikenakan biaya sewa oleh GI alias GRATISAN.

[caption caption="Kantor HIN di lantai 39 Menara BCA"]

[/caption]

Pengagunan sertifikat kepada pihak ketiga

 

Dalam pasal 9.5 dalam perjanjian BOT dinyatakan “Untuk menghindari keraguan, Penerima Hak BOT berhak untuk menjaminkan hak atas tanah sebagaimana diuraikan dalam sertifikat HGB di atas HPL maupun HMASRS berikut Gedung dan Fasilitas Penunjang yang terdaftar atas nama Penerima Hak BOT untuk mendapatkan pendanaan dari pihak ketiga ...”

Dari pasal itupun sudah jelas kalau yang dapat dijaminkan HANYA HGB atas nama GI.  Sementara sertifikat HPL tanah atas nama HIN tidak pernah dijaminkan karena dipegang oleh HIN.

 [caption caption="Tentang penjaminan sertifikat"]

[/caption]

Adalah hak GI selaku pemegang hak HGB yaitu dapat melakukan penyewaan, penjualan atas unit bangunan dalam Objek BOT hanya selama Jangka Waktu HGB serta waktu perpanjangannya saja. Dimana GI wajib untuk memberitahukan kepada penyewa serta pembeli unit bangunan bahwa pada saat berakhirnya jangka waktu HGB dan perpanjangannya, maka GI wajib untuk mengembalikan unit bangunan yang disewa/dibeli oleh penyewa/pembeli kepada HIN.

Benarkah pengalihan dari CKBI ke GI sebagai pemegang BOT hanya sepihak?

Komisaris PT Hotel Indonesia Natour Michael Umbas menuding bahwa pengalihan hak BOT dari PT CKBI ke PT GI dilakukan sepihak. Padahal, berdasarkan pada persetujuan dari Menteri BUMN sesuai surat No. S-247/MBU/2004 tanggal 11 Mei 2004 sudah tercantum bahwa PT CKBI menunjuk Grand Indonesia selaku pihak yang menerima dan melaksanakan hak CKBI tersebut serta bertindak selaku Penerima Hak BOT dan bertanggungjawab penuh kepada CKBI dalam melaksanakan BOT terhadap objek BOT.  Bahkan HIN sudah menyetujui bahwa CKBI menunjuk Grand Indonesia selaku pihak yang menerima dan melaksanakan hak CKBI. (Dijelaskan dalam pasal 2.2 dan pasal 2.3).

 [caption caption="Penunjukkan GI diatur dalam akta perjanjian"]

[/caption]

HIN menyangkali isi akta perjanjian yang sah di mata hukum

Akte perjanjian ini dibuat dengan akta autentik Notaris Irawan Soerodjo, S.H, M.Si dengan nomor 141 tanggal 13 Mei 2004. Apa arti akta autentik? Akta autentik adalah akta yang memiliki kekuatan pembuktian sempurna karena itu segala pernyataan dan kesepakatan para pihak dalam perjanjian tersebut harus dianggap benar dan menjadi bukti yang sempurna. Akta ini mengikat karena para pihak dalam perjanjian itu (PT Hotel Indonesia Natour dengan PT Grand Indonesia) adalah badan hukum perdata yang memiliki posisi dan kedudukan yang sama. Kedua pihak sama-sama terikat dan tunduk pada isi kesepakatan dalam perjanjian.

[caption caption="Dasar hukum dalam KUHPerdata"]

[/caption]

Para pihak yang menandatangani perjanjian tersebut juga bertindak sebagai badan hukum perdata yang tunduk pada hukum perdata. Segala persetujuan internal antara PT HIN dengan pemerintah selaku pemegang saham adalah prosedur internal yang mengikat PT HIN. Pihak lain dalam akta tersebut mempercayai sepenuhnya segala keterangan yang dinyatakan oleh PT HIN sebagaimana tertuang dalam akta tersebut.

Semua persetujuan yang dibuat sesuai dengan hukum perdata berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya. Persetujuan itu tidak dapat ditarik kembali selain dengan kesepakatan kedua belah pihak, atau karena alasan-alasan yang ditentukan oleh undang-undang.

Lalu kenapa HIN melalui komisarisnya Michael Umbas memberi pernyataan-pertanyaan di media yang tidak sesuai dengan fakta dalam kontrak? Padahal dalam hukum perdata, akta tersebut sahih dan mengikat kedua belah pihak. Apalagi ada pasal yang menyatakan bahwa persetujuan harus dilaksanakan dengan itikad baik. Kalo belakangan menuding PT GI curang, artinya, HIN tak punya itikad baik pada perjanjian yang mereka tandatangani sendiri.

HIN tanpa disadari telah membuka borok sendiri dengan menunjukkan ketidakbecusan pengelolaan aset milik BUMN.

 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun