Karena ini adalah kerjasama BOT, PT GI wajib membayar kompensasi tahunan. Bahkan beberapa kali mempercepat pembayaran tunai dari jadwal yang tercantum dalam perjanjian BOT. Permintaan ini disampaikan melalui memo antar direksi. Percepatan itu atas permintaan PT HIN sendiri. Alasannya pada 2005, 2006, 2007, 2014, dan 2015; PT HIN mengalami kesulitan cashflow. Sesuai kesepakatan, kata dia, GI juga telah mengalokasikan lebih dari 4% total pendapatan untuk pemeliharaan objek BOT sesuai dalam perjanjian dan telah diaduit serta dilaporkan pada HIN setiap tahun.
[caption caption="Kompensasi tahunan telah disepakati dalam akta perjanjian"]
[caption caption="Pasal 9.9 mengatur hak pendapatan"]
Berdasarkan pasal 9.9 tersebut pendapatan pengelolaan tanah, gedung dan fasilitas penunjang adalah hak GI seluruhnya dan GI konsisten dengan prinsip ini. Maka oleh karenanya GI tidak diwajibkan untuk menyerahkan laporan pendapatan maupun laba rugi dari pengoperasian obyek gedung dan fasilitas penunjang kepada HIN. Apalagi, BOT mensyaratkan, seluruh keuntungan dari pengelolaan aset yang dibangun adalah HAK dari PT GI, bukan HIN.
Kenapa HIN ribut merugi? Toh setelah periode berakhir, gedung apartemen dan perkantoran berikut penghasilan yang diperoleh dari aset  itu akan menjadi milik HIN.
Opsi Perpanjangan Justru Diusulkan oleh HIN Karena Butuh Dana Cair
Dalam kontrak BOT tertera, PT GI bisa melaksanakan Hak Opsi untuk memperpanjang jangka waktu kerjasama selama 20 tahun sejak tanggal ditandatanganinya Perjanjian BOT. Dalam kontrak, sebetulnya BOT berakhir pada  12 Oktober 2035. Lalu pada 2010 disepakati hak BOT diperpanjang 20 tahun dan berakhir pada 12 Oktober 2055. Dalam pasal 7.1.1 dinyatakan Hak Opsi Perpanjangan dapat dilaksanakan sejak tanggal efektif tetapi tidak boleh lebih lambat dari 2 tahun sebelum berakhirnya jangka waktu 30 tahun HGB atas HPL. Artinya, opsi perpanjangan bisa dilakukan sewaktu-waktu.
Ada fakta menarik. Meskipun yang berhak mengajukan perpanjangan adalah GI, ternyata yang akhirnya meminta opsi perpanjangan ini adalah PT HIN kepada PT GI melalui surat No. 1103/DIRUT/HIN/11/2010 tanggal 15 November 2010. Alasan yang dipakai oleh direksi PT HIN pada waktu mengajukan opsi itu adalah HIN membutuhkan dana untuk merenovasi hotel Inna Putri Bali dan Inna Muara Padang yang rusak karena gempa. Renovasi dua hotel ini memakan biaya kurang lebih Rp1,1 triliun. Setelah itu dana dari GI cair, PT HIN kemudian mengajukan pinjaman ke sebuah bank BUMN sebesar Rp671 miliar untuk menambah biaya renovasi.
Kerugian yang dituduhkan sebesar Rp1,29 triliun ternyata dihitung berdasarkan selisih 25% dari NJOP tanah dan bangunan pada tahun 2014 dengan Rp400 miliar yang dibayar oleh GI pada tahun 2010. Â Padahal, berdasarkan perjanjian, telah disepakati bahwa PT GI wajib membayar Rp 400 miliar. Angka ini dihitung dari 25% x Rp1,54 Triliun (nilai NJOP yang berlaku pada saat opsi perpanjangan itu disepakati yaitu tahun 2010).
Dalam kontrak kerjasama seperti ini, apakah adil menghitung kompensasi dari nilai NJOP untuk masa yang akan datang? Â Bukankah dalam kontrak telah disepakati NJOP yang jadi acuan adalah NJOP ketika hak opsi dilaksanakan? Apalagi yang mengajukan opsi perpanjangan adalah PT HIN sendiri dan disanggupi oleh GI. Ini adalah keputusan bisnis yang sudah ditandatangani kedua belah pihak dan diambil sesuai dengan kondisi yang berlaku saat itu (2010).
Formula perhitungan BPK ini, menurut sumber, salah. Sebab tidak benar membandingkan nilai transaksi di tahun 2010 dengan nilai tahun 2014. Kalau dihitung seperti ini, kata dia, kekurangan bayar tidak akan pernah habis sampai kapanpun karena nilai NJOP terus bertambah. Pertanyaan saya, kenapa pihak HIN yang mengajukan opsi perpanjangan dan sudah menyepakati nilai kompensasi sejak awal BOT diteken, tapi malah meributkan belakangan?