Aku mengangguk. Keesokkan harinya aku membersihkan tubuh ibu dengan kain basah. Setiap gerakanku pelan, hati-hati, meskipun luka di dalam hati ini menganga. "Bu, aku tahu aku nggak sempurna. Tapi aku anakmu juga. Aku nggak pernah berhenti sayang sama Ibu," ucapku, air mata menetes tanpa bisa kutahan.
Ibu membuka matanya perlahan, menatapku dengan lemah. "Nis... kamu nggak pernah cerita apa-apa ya?" suaranya pelan, hampir seperti bisikan.
Aku menggeleng. Apa gunanya bicara, Bu, kalau setiap kata hanya dibandingkan?. Tentang rasa sakit ketika ibu memuji Satya atas hal-hal yang tak pernah aku lakukan. Tentang bagaimana bapak sering membandingkan kami di saat marah. Tentang mimpiku yang terpaksa kusimpan karena aku tahu aku bukan prioritas.
Bu, Ninis nggak pernah benci sama ibu, kok,"bisikku." Tapi kenapa Ninis nggak pernah dianggap cukup? Apa pun yang Ninis lakuin, pasti salah. Kalau Satya hebat karena tentara, Kak Nita karena perawat, Ninis apa, Bu?"
Ibu tetap diam. Aku tahu ia mendengar, tapi mungkin terlalu lemah untuk menjawab. Air mataku jatuh, tak tertahankan. "Tapi nggak apa-apa, Bu. Kalau Satya sibuk sama negaranya, dan Kak Nita sibuk sama pasiennya, Ninis aja yang jagain ibu," kataku, meski dada ini sesak.Â
"Nis, kamu marah sama ibu?" tanyanya dengan suara pelan.
Aku menggeleng. "Nggak, Bu. Ninis cuma pengen ibu tahu, Ninis juga sayang sama ibu, sama bapak. Tapi kadang, Ninis ngerasa kayak nggak pernah dilihat."
Ibu terdiam. Matanya berkaca-kaca. "Ibu tahu ibu banyak salah sama kamu. Kamu juga anak ibu, tapi ibu malah sering lupa."
Aku tersenyum pahit. Kata-kata itu tak sepenuhnya menyembuhkan, tapi cukup untuk membuatku merasa dihargai-meski hanya sesaat. Dan pertama kalinya aku merasa dilihat.Â
  Malam itu, Nita datang membawa makanan. Dia duduk di sebelahku, memelukku erat. "Kamu hebat, Nis. Apa yang kamu lakuin buat ibu, nggak ada yang bisa gantikan." Beberapa hari kemudian, Satya akhirnya datang. Dia masuk ke kamar rumah sakit, membawa buah tangan. "Gimana kabarnya, Bu?" tanyanya.
Ibu tersenyum tipis, tapi tidak semeriah biasanya. "Satya, tahu nggak? Selama kamu nggak ada, yang jagain Ibu itu Ninis.