"Ibu, aku tahu aku beda sama Kakak, tapi aku juga punya cara sendiri buat belajar dan ngerjain tugas. Aku memang nggak se-rajin Kakak, tapi aku berusaha kok buat lebih baik." Responku kepada ibu.Â
Mereka lupa bahwa aku juga punya hati dan rasa. Dan aku berakhir hanya diam tanpa suara. Yang kadang tak mampu ditahan, hanya tangis yang mampu ku suarakan. Aku berusaha selalu ada buat mereka ternyata aku tidak mendapatkan itu dari mereka.Â
  Pikiran kecilku selalu mengharap sambut hangat sepulang sekolah, atau gurauan canda yang menyejukkan sehabis makan malam. Sesekali, aku ingin mencium aroma tubuh Ibu yang menenangkan juga ingin merasakan dekap bapak yang menguatkan. Sialnya, semua hanya bualan. Pikiranku saat ini hanya,"sakitmu hari ini akan menjadi penguat dimasa depan, lelahmu saat ini akan menjadi kebanggaanmu nanti, sedihmu kali ini akan mengajarimu nikmatnya kebahagiaan esok hari, sabar yaa, kesulitan ini gaakan bertahan selamanya. kamu kuat kok jangan nyerah, semua pasti bisa terlewati."
  Semua berubah ketika ibu jatuh sakit. Satya yang diagung-agungkan mendadak hilang tanpa jejak. Mungkin urusannya terlalu banyak, atau mungkin ia hanya lelah berpura-pura jadi pahlawan. Entahlah. Nita juga sibuk dengan keluarga dan pekerjaannya. Hanya bisa menelepon. "Aku ada shift malam, Nis. Kamu kuat kan, jagain ibu dulu?" katanya dengan nada lembut.
Aku mengangguk, meski dia tak bisa melihatnya. "Iya, Kak. Aku kuat," balasku sambil menahan air mata.
Tinggallah aku-aku yang selama ini tak dianggap, mengangkat beban yang ditinggalkan mereka. Hari itu di rumah sakit, aku melihat ibu terbaring lemah. Rasanya aneh. Wanita yang selalu terlihat kuat itu kini menggantungkan hidup pada alat-alat medis. Dokter bilang ibu kena komplikasi.Â
"Bu, apa yang Ibu rasakan?" tanyaku, mencoba terdengar setenang mungkin.Â
Ibu membuka matanya perlahan. Wajahnya lemah, tapi bibirnya bergetar, seakan ingin bicara. "Nis... kamu capek, ya?"
Aku terdiam. Jarang sekali ibu bertanya seperti itu. Biasanya, yang kudengar adalah perintah atau keluhan.
"Capek? lya, Bu. Tapi nggak apa-apa, Ninis kan anak yang disuruh kuat terus," kataku sambil tersenyum tipis. Tapi senyum itu terasa hambar.
Ibu menatapku lama. "Satya... Nita... mereka nggak ada di sini, ya?"