"Beruntung aku pernah berada di rumah sakit sebagai calon perawat saat sebelum masuk kuliah. Walaupun hanya tiga bulan, aku bisa mengatasi bau pup. Jadi, tidak masalah," ujar Nindi bersemangat.
Dengan adanya teror tersebut, aktivitas Nindi bangun tidur pagi hari bertambah satu lagi. Berburu pup anak kucing, menutup dengan pasir kali, kemudian menyikraknya dengan sapu lidi. Setelah itu, barulah dipel dengan tambahan obat pel beraroma cemara. Beres, deh. Ketika suami terbangun, tidak ada lagi bau kotoran kucing!
Namun, teror bukan hanya perkara pup kucing. Jika Nindi keluar dari kamar ruang depan, keempat ekor anak kucing itu mengikuti ke mana pun Nindi pergi. Satu hal yang dikhawatirkan adalah jika terinjak. Belum lagi suara mengeong ribut bukan main.
"Aduuhh, ya, Tuhan. Sekali lagi mohon kesabaran," keluh Nindi mengelus dada.
"Kamu kalau ada Papa jangan ribut, ya! Bisa-bisa kamu diminta dibuang, loh!" seru Nindi meneriaki para anabul.
Tak urung Nindi tertawa juga. Ia tahu dan sadar bahwa anak kucing tidak paham bahasa yang ia gunakan. Jadi, kembali ia memohon kekuatan saja kepada-Nya. Kalau membuang anabul yang masih imut itu, ada juga perasaan takut dosa. Sungguh sangat dilematis. Itulah mengapa, kemarin malam ia berinisiatif mengunci mereka di kamar mandi. Paling tidak agar pup tidak ke mana-mana. Beruntung masih ada satu kamar mandi lagi sehingga tidak mengganggu aktivitas hayati pasangan suami istri tersebut.Â
"Eh, ke mana para setan anabul itu, Ma? Kok sepi?" tegur suami.Â
"Ahaha ... aku setrap, kumasukkan kamar mandi biar pup tidak ke mana-mana!"
"Hmm, good job! Ngomong-omong kok jadi ingat cerita di kamar mandi, ya, Ma! Tetangga kita di Klampok timur itu ayah, ibu, dan seorang lagi meninggal, semua karena jatuh di kamar mandi. Jadi, jangan lupa tetap upayakan bersih!"Â
"Tenang saja. Urusan kosek-mengosek tanggung jawab saya!" jawab Nindi tegas hingga suami memberikan acungan jempol.
"Oke, yang penting aman!" sambut suami.Â