Mohon tunggu...
Ninik Sirtufi Rahayu
Ninik Sirtufi Rahayu Mohon Tunggu... Penulis - Penulis novel: Damar Derana, Tresna Kulasentana, Centini, Gelang Giok, Si Bocil Tengil, Anyelir, Cerita Cinta Cendana, Rahim buat Suamimu, dll. Buku solo 29 judul, antologi berbagai genre 175 judul.

Masih terus-menerus belajar: menulis, menulis, dan menulis.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Terbukalah Tingkap Langit

18 Januari 2025   09:06 Diperbarui: 18 Januari 2025   09:26 49
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Terbukalah Tingkap Langit  
Oleh: Ninik Sirtufi Rahayu

"Ma, itu loh kotorannya di mana-mana. Aku jijay!" teriak suami pagi-pagi ketika Linis baru saja keluar dari ruang depan.

Sudah lama Linis dan suami tidak tidur sekamar dengan alasan masing-masing tidak nyaman. Bunyi dengkur suami membuat Linis merasa risih karena berisik yang menyebabkan tak dapat tidur. Belum lagi, suami pun harus bolak-balik ke kamar mandi kalau berkemih di malam hari.

Sebagai seorang penulis yang terbiasa menulis di malam hari, Linis berharap bisa bekerja dengan tenang tanpa gangguan. Ia lebih nyaman menulis di malam hari dengan kondisi hening dan tenang. Ide yang datang dengan gencar terasa bisa ditulis dengan lancar. Karena itu, mereka bersepakat untuk tidur di kamar masing-masing.

Kalau Linis memilih tidur di kamar paling depan dengan toilet berada di luar, suami meminta tidur di kamar belakang yang dilengkapi  toilet. Dengan demikian, masing-masing tidak terganggu. Suami bisa tidur nyenyak, istri pun bekerja dengan tenang dan hening. Aman dan nyaman. Semua berlangsung sesuai harapan masing-masing.

"Risiko rumah berada di sebelah jembatan, ya kayak gini!" ujar Linis. 

"Iya, dari dulu aku memang berharap dekat sungai. Kupikir  .... tidak seperti ini. Kubayangkan pembuangan air dan urusan sanitasi bisa lancar," balas suami.

"Apalagi masyarakat tidak menyadari bagaimana keluhan kita. Mereka membuang sampah di sungai. Puluhan tahun tak ada perubahan sikap! Walaupun saat ini telah dipasang jaring pengaman dan pagar, mereka masih tetap begitu. Terutama kalau saat sepi ... biasanya malam hingga dini hari, entah pengendara motor, entah mobil ... selama berhenti dan ujung-ujungnya pasti buang sampah!" keluh Linis.

"Belum lagi kalau  membuang anak kucing! Ampun! Akhirnya ... kayak gini nih! Polusi suara tangis mereka membuat miris!" imbuh si suami.

"Nah, benar! Populasi kucing yang meledak harusnya diatasi juga oleh pemerintah! Makanan kucing tidak murah, kalau sakit ... gini nih, aku kerepotan juga! Kotorannya di mana-mana! Mau dibuang ke mana lagi mereka?"

"Kasihan, sih, sebenarnya. Mereka makhluk Tuhan juga. Tapi ... kita lumayan terganggu!" timpal suami.

"Iya, apalagi tahunya Papa cuma teriak-teriak! Ujung-ujungnya akulah yang harus melakukan acara rutin: bersih-bersih!"

"Kata Mama ... kasihan pada mereka dan sebagai ujian kesabaran! Ya, sudah ... yang sabar saja!"

"Baiklah! Sabar juga menghadapi teriakan Papa, 'kan? Harus kebal dengan rasa kesal dan lelah! Kesal karena kucingnya yang sakit buang air besar di mana-mana, jengah dengan perintah Papa juga!"

"Hmmm ... ya itulah yang namanya ujian kesabaran! Yang sabar saja!" Suami bukan lagi hanya menggumam, melainkan berkata lantang.

***

Kesal? Ya, benar. Sesungguhnya sangat kesal menghadapi situasi rumit ini. Namun, kapan sih belajar bersyukurnya kalau tidak melalui berbagai masalah begini? Ya, masalah yang harus diatasi dan dibereskan dengan bijak, tentu saja.

Memiliki hewan piaraan selalu dibarengi dengan risiko tertentu. Bukan hanya harus menyiapkan pakan dan papan, melainkan kalau kondisi mereka sakit, luar biasa juga. Sebenarnya, tidak berniat benar memiliki hewan piaraan. Namun, mereka datang sendiri. Entah dibuang oleh orang, tersesat, atau bagaimana. Sebagai makhluk yang paham kalau hewan itu ciptaan Tuhan, mana tega membuang mereka?

Linis hanya menangis kepada Tuhan, memohon kekuatan, kesabaran, sekaligus rezeki untuk menampung hewan-hewan yang bermasalah tersebut. Ada sih keinginan untuk membuang mereka, tetapi di dalam sanubarinya tebersit juga rasa tidak tega. Bukankah mereka ada karena diciptakan-Nya?

Konsep rumah kebun dengan banyak tanaman buah, berada dekat sungai lengkap dengan rimbun bambu liar, pasti banyak juga hewan liar seperti nyambik dan ular berbahaya. Dengan adanya kucing, beberapa kali terbukti kehadiran ular bisa terdeteksi sejak dini. Bahkan, bangkai ular yang tewas karena cakaran kucing pun ditemukan di garasi. Itulah sebabnya, Linis menganggap kehadiran kucing sebagai penjaga alam di lingkungannya.

Sayangnya, karena cuaca kurang kondusif, kucing betina yang beranak empat itu terkena penyakit. Diare! Karena itu, mereka tidak bisa mengendalikan buang air besar tetap stay di litter box yang disediakan. Inilah sumber permasalahan yang dihadapi keluarga tersebut. Dilematis! Akhirnya, Linis hanya mampu melangitkan doa, biarlah Allah yang Maha Murah memberikan kebijaksanaan dalam menyikapi persoalan hidupnya.

"Badai pasti berlalu," senandikanya.

Ia ingat pernah ada tayangan di gawainya, entah ia lupa kapan dan oleh siapa, ada satu kalimat yang diungkap: "Ini akan berlalu!" Dengan demikian, mengalami apa saja harus ingat kalimat itu.

Ketika menerima kesenangan atau kebahagiaan, begitu excited! Jangan  lupa dan jangan pernah lupa diri karena pasti akan berlalu. Jadi, kalau sedang senang, ya ... selalu ingatlah pasti kesenangan itu akan berlalu. 

Menerima kesusahan pun jangan pernah khawatir. Hal  itu, kesusahan itu pasti akan berlalu. Jangan putus asa!  Nah, jika sedang sedih pun, kita juga harus ingat bahwa kesedihan itu pasti akan berlalu. Bukankah Allah memberikan suka duka seimbang meskipun silih berganti? 
 
***

"Ma, gimana kabarnya? Mama dan Papa sehat-sehat, kan?" sebuah pesan WhatsApp bertengger di gawainya.

Karena kesibukannya, beberapa saat Linis tidak sempat membuka gawainya. Sulung yang sibuk dengan aktivitas kepindahan tugas dari Sulawesi dimutasi mendadak ke Sumatra, pasti juga tidak sempat menghubungi sementara waktu. Karena sibuk bekerja di siang hari, kalau berkabar putra kedua pun mengambil waktu malam hari. Sementara, si bungsu yang berada di luar negeri biasa berkabar pagi hari karena perbedaan waktu dua belas jam.

Karena tidak berbalas, si bungsu meminta malam hari untuk menelepon video call. Selain itu dikabarkan juga bahwa ada sedikit rezeki buat beli jajan katanya.

Demikianlah rezeki yang dilimpahkan oleh Tuhan yang tidak membiarkan hidup kedua pasangan tersebut berkekurangan. Allah mendengar doa dan mencukupkan kekurangan yang dirasakannya. Bukankah kehadiran kucing yang tidak diminta dan diharapkan itu pun menghadirkan rezeki buat manusia?

"Janganlah khawatir akan apa yang hendak kamu makan dan minum karena Allah sang sumber berkah menyediakan bagi umat-Nya. Burung pipit yang kecil, yang tidak pernah menanam pun diberi-Nya rezeki!" sebuah tayangan firman Allah lewat di gawainya.
Terhenyak. Diterimanya rezeki dan pencerahan firman tersebut dengan syukur. Haru dan syukur berbaur tak terkira.  

"Dibukakan-Nya tingkap langit dan dicurahkan-Nya rezeki!"

Begitulah tanggung jawab sang pemilik dan penjaga semesta. Soli deo gloria.

***  

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun